Hanya saja, harapanku pupus saat melangkah masuk. Di dalamnya, tidak ada tanda-tanda manusia. Tipikal gubuk-gubuk di film horor: berdebu, penuh sarang laba-laba, dilengkapi tikus besar hilir mudik.
Aku sadar, makhluk sejenis Om Jay bisa berada di mana saja. Bukan tidak mungkin saat ini dia mendiami gua-gua laiknya pertapa. Lintasan kami bisa bersinggungan, kapanpun, tanpa ada pertemuan. Persis novel roman sebelum telepon genggam digunakan. Dua orang kekasih yang gagal bertemu hanya karena terhalang sebuah pilar.
"Andre," Seorang pemuda berkacamata, menyodorkan tangan.
"Eh, hmm ... Jay" jawabku gelagapan. Sapaannya membuat pikiranku kembali berpijak.Â
Aku hampir lupa sedang berada dalam rombongan open trip yang diadakan Yovan, temanku yang sedang merintis usaha pemandu perjalanan. Dia tak pernah alpa mengajakku bergabung sebagai pembantu umum dan penunjuk jalan.
Padahal, sudah berkali-kali kuperingatkan, aku bisa tiba-tiba menghilang. Tak ingin terikat dengan jadwal, apalagi mengurus orang-orang. Tujuan langkah-langkahku tidak akan bisa ditawar.
Untuk menghindar dari kerecokan, aku enggan memperkenalkan diri sebagai Reno. Wajah dan namaku terlalu viral pasca kepergian Ayah. Reno Arka Jayanto lahir baru. Tidak ada lagi pemuda berwajah pucat, lemah, dan hedonis, anak mantan walikota.Â
Aku memanjangkan rambut hingga sebahu, membiarkan kulit terbakar matahari, tidak peduli pada kumis dan janggut yang tumbuh tak beraturan. Mengaku bernama Jay pada setiap orang. Tidak ada yang tahu identitas asliku, kecuali Yovan.
Meski kuakui, tidak buruk juga sih, berada di antara manusia. Mereka membantuku tetap waras. Sejenak mengistirahatkan otak dari tampuk awang-awang. Banyak suara yang bisa didengar. Lebih baik daripada terus berharap batu-batu mampu menjawab pertanyaan.
Menyaksikan mereka, rasanya sama dengan menontoni linimasa yang tak pernah aku tengok entah sejak kapan. Pembicaraan tak pernah jauh dari lelucon baru di media sosial, dan sedikit persoalan negara. Mereka hanya memindahkan percakapan senada dari tengah kota ke hutan belantara.
Setiap kali Ayah kembali melintas dalam pikiran, aku beringsut menjauh. Menjajaki dedaunan basah yang hampir tak pernah diinjak. Menelisik celah-celah tak terjamah. Bahaya dan ketakutan tercoret dari daftar pertimbangan.Â