"Kamu lupa kalau dia kembaran Ayah? Tidak akan jauh bedalah."
"Kalau tidak ketemu juga, bagaimana?"
"Sudah tiga tahun pencarian tanpa hasil, aku sih tidak masalah dengan tiga tahun lagi kalau ada hasilnya," jawabku yakin.
"Ini demi Neira ya?"
"Demi kita semua," sahutku seraya memanggul tas keril biru yang telah dipenuhi berbagai perlengkapan.
Membawa restu Ibu, aku pergi tanpa pedoman apa-apa selain naluri semata. Aku yakin, Om Jay yang menyimpan kunci pencarian. Lorong gelap tanpa tanda pengenal.Â
Di hari aku menemukannya, aku akan menemukan Ayah.
***
Mobil biru sudah menunggu di depan gerbang. Aku memandang lurus ke puncak berkabut di selatan Karagan. Percakapan dengan adikku telah berselang belasan bulan.Â
Tak terhitung kali ini pendakian keberapa. Tujuh gunung di sekitar Karagan telah habis kujelajahi. Sosok yang kucari masih bersemayam serupa bayangan dalam pikiran.Â
Hingga, suatu momen dua bulan lalu. Di tengah hujan deras, aku menemukan gubuk reyot di kaki Gunung Parung dengan ukiran MJ pada pintunya. Aku pernah melihat huruf yang mirip pada jam tangan, topi, dan buku catatan milik Om Jay.