"Aku tidak bisa begitu saja masuk dalam keluarga yang kurutuki selama belasan tahun. Aku butuh restu dari Ayah kamu."
Hela napas panjang mencukupkan percakapan kami, serta tanda kepasrahanku pada keputusannya. Tak henti aku melempar kalimat tanya.
Apakah Ayah pernah berniat pulang? Atau dia ingin selamanya hilang? Apakah kami harus menunggu? Atau benar perlukah sebuah pencarian?
"Eh, eh, itu siapa?" Jeritan seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah pohon besar.Â
Nyala api unggun yang baru saja kupandangi mengganggu penglihatan. Cepat, aku menatap Yovan. Aku yakin dia memikirkan hal yang sama.
Tanpa pikir panjang, aku sigap berlari menuju pohon yang ia tunjuk. Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan kegelapan, mataku menangkap bayang hitam manusia. Baru saja aku akan mengikutinya, Yovan mencengkram tanganku.
"Ren, tunggu dulu. Jangan sembarangan. Hutan belantara, gelap gulita, kamu mau apa?!" sergahnya.
Aliran darahku berdesir hebat. Aku merasa berdiri di bibir jurang. Kakiku serasa menggantung. Tenggorokanku tersekat. Kalap. Aku lupa cara mengucap kata.
Setiap sel dalam tubuhku mengabarkan satu hal.
Aku berada di ujung pencarian.
***