Gadis itu mengangguk, tersenyum getir.
Seingatku, tak ada laki-laki di rumah selain Ayah. Tukang kebun di rumahku hanya memiliki satu anak, balita. Skandal apa lagi ini? Apakah Ayah memiliki selingkuhan yang tidak aku kenal?
Aku tersenyum geli pada kebodohanku sendiri. Jelas saja aku tidak kenal. Walaupun ada, mana mungkin Ayah memperkenalkan aku pada selingkuhannya.
"Kamu anak walikota?" tanyaku penuh selidik. Dia hanya tertawa. Aku tidak bisa membaca maksudnya. Apakah berarti "tentu saja" atau malah "tidak mungkin"? Bisa saja gadis ini berbohong. Sebaiknya aku mengujinya untuk memastikan.
"Kamu tinggal di sana?"
"Tidak, hanya ayahku saja. Aku tinggal di rumah susun Karagan."
Dia tidak berbohong. Tentu saja aku tahu dia tidak tinggal di rumahku. Tapi, memalukan sekali jika Ayah menyimpan selingkuhan di rumah susun, bukan apartemen atau semacamnya.
Apakah Ayah memanfaatkan absurditas itu agar orang-orang tidak curiga? Dia sangat mungkin menyamar jadi warga biasa. Wajah ayahku sepertinya cukup pasaran.
"Kamu mahasiswa?" tanya gadis itu, menghentikan seru prasangkaku yang semakin liar.
"Iya, sekitar dua puluh hari lagi. Bulan depan sidang akhir."
"Penelitian tentang apa?"