Terpaksa aku menelan imbas. Diwaspadai di kampus seolah aku adalah lipas. Dijauhi seakan aku berbau lindi.
Tak apalah, tinggal revisi terakhir hingga sidang akhir. Aku harus tahan dengan gaung-gaung nyinyir. Oportunis, apatis, pragmatis, petis, kubis. Apalah julukanku dalam rapat-rapat para aktivis bau amis.
Disangkanya Ayah dulu tak sama saja? Semasa mahasiswa, Ayah tak pernah absen berorasi saat aksi. Kurasa itu berguna, sebagai latihan memberi janji basi demi mendapat kursi.
Hujan.Â
Satu gagak terakhir nampak di ujung ranting, siap mengepak sayap. Aku mengikutinya, berbelok menuju utara. Lurus jauh, hingga tercium aroma laut. Kali ini, tanpa wangi membebaskan.
Sesak.Â
Perahu-perahu nelayan remuk bagai rongsokan. Tak mampu berlayar meski muson barat telah terlewat. Gerombolan alat berat menjajah garis pantai. Barisan tentara berjaga, mengintai.
Masih tersisa jejak demonstrasi di sana-sini. Kertas-kertas putih berserakan. "STOP REKLAMASI. NELAYAN MATI OLEH PEJABAT TAK BERHATI" Ditorehkan tinta merah, nyaris serupa darah. Para wartawan berjajar bosan di trotoar. Lapar menunggu berita.
Kalau dipikir-pikir, para aktivis itu ada benarnya. Proyek ini terlalu naif jika mengaku tak memihak penguasa, atau pengusaha. Tapi ... siapa peduli. Jika pengusaha semakin sejahtera, nantinya nelayan-nelayan itu bisa bekerja pada mereka.
Aku tidak perlu ambil pusing.
***