"Kia! Udah jam berapa ini? Katanya mau belajar!"
"Iya, Bu! Iya!"
Aku mendengus di dalam hati. Lagi-lagi belajar. Aku muak dengan kosakata itu. Tidak bisakah sehari saja kata 'belajar' tidak keluar dari mulut orangtuaku? Aku bosan mendengarnya.
Aku hanya ingin menikmati hari-hariku sekarang. Tidak mau diganggu apalagi disuruh belajar.
Selalu begitu. Ketika lagi enak-enaknya baca novel, ibu pasti masuk ke kamarku dan ceramah panjang-lebar tentang pentingnya belajarlah, masa depanlah, pekerjaanlah, bahkan sampai melantur ke kehidupan berumah tangga, tentang bagaimana menjadi istri baik dimulai dari belajar. Menye-menyelah!
Ayah juga sama. Bedanya ayah menceramahiku dengan lebih lembut. Tapi sama saja, ketika aku lagi asyiknya scrool instagram, ayahku pasti tiba-tiba nyeletuk, "Hp lagi, hp lagi. Belajarnya kapan?" Dimana saja aku berada, mau di ruang tamu, di meja makan, di kamar. Sekali ayahku melihat aku bermain hp, dia pasti nyeletuk. Dan itu membuatku kesal.
Apasih asyiknya belajar? Kenapa orang di luar sana pada suka belajar? Itu sama sekali tidak mengasyikkan!
Hari ini aku sekolah seperti biasanya. Paginya, buk Reni datang ke kelasku.
"Anak-anak, jangan lupa besok kita ulangan, ya. Belajar. Ibuk harap kalian semua dapat nilai memuaskan."
Semua murid di dalam kelas menjawab dengan berbagai ekspresi. Kecewe, semangat, panik, juga kesal. Dan aku termasuk anak berekspresi kesal.
Bagaimana tidak? Aku hari ini berencana menamatkan novelku. Sudah 1 minggu menganggur di meja belajar. Tapi, anak kelas sebelah bilang ulangan buk Reni itu susahnya pake banget. Mana jawaban dari soalnya tidak semuanya ada di dalam buku catatan lagi.