“Ini berbahaya, Niang! Apalagi. Uniang sudah berumur,” ujar Naih khawatir. Tangannya yang sejak tadi melinting-linting daun enau berisi tembakau terdiam sejenak.
“Berumur, berumur! Kau menghina aku, Naih?!” seru Uniang Juwai berang. Wajahnya memerah karena tersinggung. Ia tahu kalau dirinya sudah tua, tapi jika ada yang mengatakan secara terang-terangan seperti itu, ia tetap tidak bisa terima. Sekalipun yang mengucapkannya adalah Naih, adik kandungnya sendiri.
Bukan apa-apa, selama ini perempuan berumur lebih dari setengah abad itu selalu berusaha tampil semuda dan secantik mungkin. Bahkan terakhir ia diprotes anak-anaknya karena memangkas rambutnya yang mulai beruban itu hingga sebatas bahu. Sungguh kurang pantas terlihat apalagi untuk ukuran kampung tempat tinggal mereka. Tapi Uniang Juwai tak peduli. Ia malah sangat puas dengan penampilan barunya itu. Jika orang-orang seusianya memiliki bibir merah karena mengunyah sirih, maka Uniang Juwai lebih canggih, ia memakai gincu alias lipstik. Meski murahan tapi setidaknya itu lebih hebat dibanding yang lain.
“Bukan begitu maksudku, Niang. Uniang kan saudaraku satu-satunya, wajar kan jika aku khawatir?” jawab Naih sambil mulai mengisap kretek daun enaunya dalam-dalam.
“Kalau memang kau masih merasa sebagai adikku, maka turuti semua yang kukatakan!”ketus Uniang Juwai seraya memperbaiki simpuhnya.
Naih terdiam, seperti berpikir keras.
“Kau keberatan?” tanya Uniang Juwai dengan kerlingan curiga.
Naih menggeleng. “Bukan begitu. Aku memang dukun, Niang. Tapi untuk memasang jimat pamanih itu di tubuh Uniang, terus-terang saja aku ragu. Tidak saja karena usia Uniang yang sudah melewati batas, tapi juga karena syarat dan resikonya yang berat.”
“Sekali lagi kuingatkan, jangan menyebut-nyebut soal umurku! Apa kau tidak dengar, Naih?! Aku tidak suka!” bentak Uniang Juwai dengan mata nyalang.
“Iya, iya. Tapi itu memang berkaitan dengan permintaan Uniang. Adalah kewajibanku mengingatkan.” Lelaki bernama Naih itu membela diri.
“Tapi tidak perlu sering-sering kau ulang! Aku tahu kalau aku sudah tua!” sengit Uniang Juwai marah. “Sekarang yang penting adalah, kau mau atau tidak?!”
Naih menarik napas agak panjang. Kumis dan cambangnya yang berantakan bergerak-gerak seirama dengan gigitan gusarnya pada daun enau yang terselip di bibirnya. Sesekali giginya yang menghitam karena candu tembakau menyembul di antara celah bibirnya yang juga menghitam.
“Kalau kau tidak mau, maka tidak usah memanggilku Uniang lagi! Anggap saja aku sudah mati!” kata Uniang Juwai lagi bersungut.
Naih menoleh terkejut. Ancaman kakaknya itu terdengar serius. Dan jika itu benar, maka alamat ia akan kehilangan sumber keuangan. Selama ini, Uniang Juwai lah tempat ia begantung, yang paling rajin memberinya uang. Perempuan berusia 55 tahun itu memang tak pernah pelit soal uang. Mungkin karena ia termasuk orang kaya di kampung itu dan Naih adalah satu-satunya saudara yang ia miliki.
Selain itu, Uniang Juwai juga sering memanfaatkan profesi Naih sebagai dukun kampung untuk kepentingan-kepentingan pribadinya, termasuk memantra-mantrai harta kekayaannya agar terus bertambah dan terhindar dari bahaya rampok atau maling. Juga untuk menjaga agar suami barunya tak melirik perempuan lain. Naih sendiri tidak tahu, apakah mantra-mantra yang diucapkannya itu memang ada pengaruhnya atau tidak.
“Baiklah,” akhirnya Naik bersuara juga. “Tapi sebenarnya apa yang membuat Uniang mengambil keputusan ini? Bukankah Wan Madi itu cukup baik dan tidak pernah macam-macam?”
“Uwan-mu itu memang tak pernah macam-macam. Tapi bukan cuma itu masalahnya! Apa kau tidak lihat, di kampung ini sekarang banyak bermunculan janda-janda baru yang umurnya masih sangat muda-muda? Aku tidak mau uwan-mu itu sampai membanding-bandingkan aku dengan mereka. Jadi kupikir, lebih baik aku berjaga-jaga sebelum hal buruk itu terjadi,” jawab Uniang Juwai.
“Mm... begini saja,” kata Naih setelah berpikir sejenak. “Bagaimana kalau jimat yang Uniang minta itu tidak ditanam di badan, tapi di dalam rumah saja.”
“Tidak! Aku tidak mau!” sentak Uniang Juwai. “Jimat yang ditanam di badan lebih awet dan lebih jelas khasiatnya.”
“Tapi syarat dan resikonya lebih besar juga, Niang!”
“Aku tidak peduli! Soal syarat, itu urusanku. Aku yang akan memenuhi! Dan soal resiko, itu urusanmu sebagai dukun. Kau yang bertanggungjawab atas keselamatanku!” Mata Uniang Juwai membesar.
“Tapi tidak bisa begitu, Niang! Jika terjadi apa-apa, tetap saja Uniang yang akan celaka,” Naih berusaha meyakinkan.
“Cukup, Naih! Percuma kau jadi dukun bertahun-tahun jika tak bisa menyingkirkan resiko-resiko keparat itu dari uniang-mu ini!”
“Tapi, Niang...”
“Sudah! Aku mau pulang! Besok aku akan kembali kemari dan kau sudah harus menyiapkan jimat itu!” Uniang Juwai langsung bangkit dari duduknya dan melangkah cepat menuruni tangga rumah Naih.
Tinggallah Naih dengan pikiran yang kusut. Sungguh ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Kakak perempuannya itu terlalu keras untuk dilawan. Dan Naih, selalu tak kuasa menolak apapun perintahnya. Selalu patah lidah jika berdebat dengan Uniang Juwai.
@@@
“Naih! Naih!” panggil Uniang Juwai di depan tangga rumah Naih. Pintu dan jendela rumah Naih yang masih tertutup menandakan bahwa penghuninya belum bangun. Hari memang masih pagi, tapi Uniang Juwai sudah tidak sabar untuk melihat hasil kerja Naih. Tepatnya, ia sudah tak sabar untuk dipasangakan jimat pemikat itu di tubuhnya.
“Naih! Sudah bangun kau, Naih?”
Tak ada sahutan.
“Jangan-jangan masih mendengkur si Pemalas itu!” gerutu Uniang Juwai sambil bergegas menaiki tangga. Didorongnya pintu rumah Naih dengan kuat. Tidak terkunci. Rumah itu terasa pengap dan gelap. Dengan agak meraba-raba Uniang Juwai membuka jendela.
“Hei! Kenapa kau, Naih?” seru Uniang Juwai heran. Naih tampak tidur bergelung kain sarung di atas kasur tipisnya.
“Ada apa denganmu, ha?” Uniang Juwai menggoyang-goyang tubuh adiknya itu dengan agak keras.
“Aku sakit, Niang,” jawab Naih lemah.
“Berarti jimat itu belum kau kerjakan?” selidik Uniang Juwai, tetap tak lupa dengan tujuan awalnya.
Naih menelan ludah. Ternyata kakaknya itu lebih memikirkan jimat pesanannya dibanding keadaan dirinya yang sedang sakit. Tepatnya pura-pura sakit, demi menghindari urusan jimat pesanan kakaknya itu.
“Sudah. Semalaman aku mengerjakannya,” jawab Naih kemudian dengan suara pelan.
Wajah Uniang Juwai menyeri lega. “Syukurlah. Berarti kau hanya kelelahan karena bergadang semalaman. Tapi kau tetap bisa memasang jimat itu, kan?”
“Dalam keadaan sakit begini?” Mata Naih mengerjap kaget.
“Apa salahnya? Ini kubawakan nasi untukmu. Setelah makan nanti, kau akan merasa lebih sehat. Ayo, makan!” ujar Uniang Juwai sambil membantu Naih bangun. Lelaki berusia 40 tahunan itu lagi-lagi hanya bisa menurut.
Naih tampak terpaksa menghabiskan nasi yang dibawakan kakaknya. Sebenarnya ia memang sangat lapar tapi karena pikirannya terus tertuju pada jimat pemikat itu, seleranya seakan hilang.
“Nah, sekarang bagaimana?” tanya Uniang Juwai setelah Naih menyelesaikan suapan terakhirnya.
“Agak baikan,” jawab Naih singkat.
“Apa kubilang, kau pasti akan lebih sehat. Kau hanya kelelahan.”
“Niang, apa tidak sebaiknya jimat itu dipasang besok saja?” tanya Naih menawar.
“Kenapa?” Kening Uniang Juwai mengerut.
“Aku khawatir tidak bisa konsentrasi memasangnya. Tangan dan tubuhku masih gemetar. Aku harus sembuh dulu, Niang.” Naih melilitkan lagi kain sarungnya.
“Sembuh dulu? Kapan itu?” Uniang Juwai langsung terlihat gusar.
“Mudah-mudahan besok sudah sembuh,” jawab Naih sambil memandang Uniang Juwai memelas, mohon pengertian. “Sebab jika salah pasang, bisa-bisa Uniang malah kelihatan makin buruk dan tua.”
Uniang Juwai terkesiap.
“Aku serius, Niang. Sabarlah sedikit lagi,” kata Naih meyakinkan.
Akhirnya Uniang Juwai terpaksa menerima. “Baiklah. Tapi besok kau sudah harus sembuh. Aku tidak mau menunggu lagi!”
“Iya, aku janji.”
@@@
Keesokan harinya Uniang Juwai kembali ke rumah Naih, dan kali ini lebih pagi lagi. Tak lupa ia membawa sebuah rantang nasi untuk Naih, agar adiknya itu lebih bersemangat melaksanakan tugasnya.
“Kurasa sakitku ini agak lama, Niang. Soalnya aku kan jarang sakit,” kata Naih ketika Uniang Juwai sudah duduk di hadapannya.
“Jangan terlalu melebih-lebihkan, Naih! Kalau ingin bermanja-manja jangan denganku, tapi cari istri!” sembur Uniang Juwai gemas.
Naih meringis. “Kalau aku punya istri, aku tak kan mau lagi jadi dukun. Aku juga tak kan menggantungkan hidupku lagi pada Uniang. Aku akan bekerja keras demi anak dan istriku.”
“Hah! Kenapa baru sekarang kau punya pikiran seperti itu, Naih?” Uniang Juwai tak kuasa menahan tawanya.
“Kenapa Uniang tertawa?” Naih memandangnya tak suka.
“Jika suratan tanganmu memang hanya jadi dukun kampung, maka itulah yang akan kau jalani seumur hidup. Dan jika suratan tanganmu pula menjadi bujang lapuk, maka selamanya kau akan jadi bujang lapuk. Naih, Naih, berangan-angan sajalah kerja kau!” Uniang Juwai tersenyum mengejek sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Uniang jangan asal bicara! Aku memang tak punya apa-apa sebagai modal hidup selain berdukun, tapi Uniang juga lihat diri Uniang sendiri!” Naih tampak tersinggung.
“Kenapa dengan diriku?”
“Apa Uniang tidak sadar dengan umur? Sebentar lagi mau masuk liang kubur tapi masih sibuk dengan penampilan. Yang namanya umur, jika sudah tua, tetap saja tua! Mana bisa dirubah jadi muda! Dan yang namanya wajah, jika memang sudah buruk dari sananya, maka akan tetap saja buruk selamanya!”
“Kurang ajar kau, Naih! Tak kuberi uang lagi, baru tahu rasa kau!” bentak Uniang Juwai dengan mata nyalang.
“Uniang yang memulai! Meski aku orang miskin, tapi aku tidak sudi dihina terus!” Naih tak mau kalah. Sebagai laki-laki, harga dirinya tersentil juga oleh kata-kata kakaknya yang kasar itu. Seperti Uniang Juwai yang begitu marah jika soal umurnya disebut-sebut, maka bagi Naih soal julukan bujang lapuk itu adalah hal yang paling sensitif untuk diungkit-ungkit.
Ia pun tak peduli ketika Uniang Juwai bergegas bangkit sambil kembali meraih rantang nasinya dengan gerakan kasar. Rantang yang belum sempat disentuh oleh Naih.
“Jadi kau benar-benar tidak mau memasang jimat itu untukku?” tanya Uniang Juwai di dekat pintu. Naih hanya diam sambil membuang muka. Rupanya ia masih marah.
“Baiklah. Tapi kau tidak akan kubagi hasil penjualan durian dekat bukit!” ancam Uniang Juwai sambil bergegas turun. Terus-terang ia masih penasaran pada jimat itu dan berharap Naih mau mengalah.
“Aku akan memasangnya jika hasil panen cengkeh tempo hari juga Uniang bagi denganku!” seru Naih dari atas rumahnya. Kepalanya tampak menjulur sedikit di sudut jendela. Rupanya jiwa parasit Naih terusik juga.
Uniang Juwai memandangnya dari halaman dengan wajah agak kecut. “Kau boleh ambil nanti petang di rumahku. Tapi ingat, setelah itu jimat itu harus kau pasang!”
“Tinggalkan juga rantang nasi itu!”
Uniang Juwai melengos jengkel, merasa dipermainkan oleh adiknya sendiri. Tapi ia tak lagi berkata apa-apa selain meletakkan rantang nasi bawaannya itu di atas anak tangga paling bawah. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya dengan agak menghentak. Diam-diam Naih menarik senyum penuh kemenangan.
@@@
“Uniang benar-benar sudah siap?” tanya Naih sambil memegang sebuah jarum yang disebutnya jimat pamanih itu.
“Siap apalagi? Sudah dari bulan lalu aku siap!” Uniang Juwai yang duduk bersimpuh membelakanginya menjawab tak sabar. “Semua syarat yang kau minta juga sudah kupenuhi. Habis sudah uangku!”
“Tapi pemasangan jimat ini sangat sakit. Uniang tak boleh menjerit,” kata Naih lagi sambil mencelupkan jarum di tangannya ke dalam segelas air.
“Kata orang-orang kenapa tidak sakit? Malah katanya tak terasa sama sekali.”
“Kan aku sudah bilang, umur Uniang sudah tak memungkinkan lagi.”
“Sudah! Sudah! Lagi-lagi umur yang kau bicarakan! Sekarang cepat pasang! Aku tak peduli mau sesakit apapun!” Wajah Uniang Juwai memerah menahan kesal.
Akhirnya dengan sedikit mantra-mantra, mulailah Naih menusukkan jarum itu ke bagian kuduk kakaknya. Tapi baru dua detik, Uniang Juwai sudah menjerit.
“Kau ingin membunuhku, ya?!” serunya lantang.
“Kan aku sudah bilang, ini memang sakit sekali.” Naih yang duduk menghadap ke punggung kakaknya membela diri.
“Apa tidak ada penawar rasa sakitnya? Itu air apa? Bukannya air penawar rasa sakit?” Uniang Juwai menunjuk air dalam gelas yang tadi dijadikan Naih untuk mencelup jarum.
“Itu air penguat, agar jimat ini tahan sampai bertahun-tahun,” jelas Naih.
Akhirnya Uniang Juwai tak bisa berbuat apa-apa selain diam menahan sakit saat jarum itu kembali ditusukkan ke kuduknya. Detik demi detik pun berlalu. Namun ternyata Uniang Juwai tak sekuat yang dibayangkannya. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali menjerit.
“Aku tak tahan lagi! Jarum itu benar-benar celaka!” umpat Uniang Juwai sambil meraba kuduknya yang mulai meneteskan darah. Di sana masih tertancap sebuah jarum ukuran sedang. “Cepat cabut jarum itu dari kudukku!”
Naih buru-buru mencabut jarum itu disusul jeritan keras Uniang Juwai, lalu langsung memasukkan jarum itu ke dalam gelas berisi air di sampingnya.
“Aku minta kembali semua uangku yang kau jadikan syarat itu! Percuma saja kerjamu! Aku tak sudi lagi meminta jimat darimu!” hardik Uniang Juwai marah. Setelah itu ia cepat-cepat pergi meninggalkan rumah Naih. Sebelah tangannya masih tampak mengusap-usap kuduknya yang sakit.
Naih memandang kepergian kakaknya dengan seulas senyum puas. Sungguh ia sendiri tak pernah mengerti kenapa nasib mengantarnya pada profesi dukun seperti sekarang. Sekadar membaca-baca mantra dan memberi air penawar mungkin masih bisa ia lakukan karena itu tak beresiko apa-apa. Jika pun gagal, Naih punya segudang alasan untuk membela diri.
Tapi untuk memasang jimat pemikat di tubuh seperti permintaan kakaknya? Sungguh Naih jadi kelimpungan. Ia tak pernah tahu-menahu cara memasangnya dan ia juga takut dengan resikonya. Bagaimana jika terjadi infeksi atau bahaya lainnya? Bisa-bisa hidupnya berakhir di penjara.
Dan jika memang ia mampu membuat jimat pemikat, untuk apa ia repot-repot memberikannya pada orang lain? Bukankah ia sendiri lebih membutuhkan jimat itu untuk mendapatkan seorang istri? Setidaknya agar julukan bujang lapuk yang menyebalkan itu segera enyah dari dirinya. Tapi apa daya seorang Naih? Ia selalu saja lebih suka tidur sampai siang, mengandalkan isi perutnya dari pemberian Uniang Juwai, dan mengisi hari-hari dengan berangan-angan kosong.
“Air penguat...” gumam Naih sambil mengangkat gelas di sampingnya. Hatinya terasa geli. Sebab air dalam gelas itu hanya air cuka untuk lebih menimbulkan rasa sakit. Dengan begitu, Uniang Juwai pasti tak kan mampu bertahan lama. Dan ia telah berhasil. Berhasil bebas dari keinginan kakaknya yang aneh-aneh itu.
Tapi kapan ia akan berhasil bebas dari statusnya sebagai parasit yang penuh angan-angan, sebagai dukun tanpa masa depan, dan sebagai bujang lapuk tanpa harapan? Sungguh Naih tak punya jawaban apa-apa, hanya matanya yang terus memandangi jarum di dalam gelas itu dengan tatapan nanar. Dan seulas senyum kemudian terukir di bibirnya yang kering menghitam, senyum yang kali ini terlihat getir. (NoS)
Uniang: Kakak perempuan
Pamanih: Pemikat, pemanis
Uwan: Abang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H