“Aku minta kembali semua uangku yang kau jadikan syarat itu! Percuma saja kerjamu! Aku tak sudi lagi meminta jimat darimu!” hardik Uniang Juwai marah. Setelah itu ia cepat-cepat pergi meninggalkan rumah Naih. Sebelah tangannya masih tampak mengusap-usap kuduknya yang sakit.
Naih memandang kepergian kakaknya dengan seulas senyum puas. Sungguh ia sendiri tak pernah mengerti kenapa nasib mengantarnya pada profesi dukun seperti sekarang. Sekadar membaca-baca mantra dan memberi air penawar mungkin masih bisa ia lakukan karena itu tak beresiko apa-apa. Jika pun gagal, Naih punya segudang alasan untuk membela diri.
Tapi untuk memasang jimat pemikat di tubuh seperti permintaan kakaknya? Sungguh Naih jadi kelimpungan. Ia tak pernah tahu-menahu cara memasangnya dan ia juga takut dengan resikonya. Bagaimana jika terjadi infeksi atau bahaya lainnya? Bisa-bisa hidupnya berakhir di penjara.
Dan jika memang ia mampu membuat jimat pemikat, untuk apa ia repot-repot memberikannya pada orang lain? Bukankah ia sendiri lebih membutuhkan jimat itu untuk mendapatkan seorang istri? Setidaknya agar julukan bujang lapuk yang menyebalkan itu segera enyah dari dirinya. Tapi apa daya seorang Naih? Ia selalu saja lebih suka tidur sampai siang, mengandalkan isi perutnya dari pemberian Uniang Juwai, dan mengisi hari-hari dengan berangan-angan kosong.
“Air penguat...” gumam Naih sambil mengangkat gelas di sampingnya. Hatinya terasa geli. Sebab air dalam gelas itu hanya air cuka untuk lebih menimbulkan rasa sakit. Dengan begitu, Uniang Juwai pasti tak kan mampu bertahan lama. Dan ia telah berhasil. Berhasil bebas dari keinginan kakaknya yang aneh-aneh itu.
Tapi kapan ia akan berhasil bebas dari statusnya sebagai parasit yang penuh angan-angan, sebagai dukun tanpa masa depan, dan sebagai bujang lapuk tanpa harapan? Sungguh Naih tak punya jawaban apa-apa, hanya matanya yang terus memandangi jarum di dalam gelas itu dengan tatapan nanar. Dan seulas senyum kemudian terukir di bibirnya yang kering menghitam, senyum yang kali ini terlihat getir. (NoS)
Uniang: Kakak perempuan
Pamanih: Pemikat, pemanis
Uwan: Abang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H