“Aku sakit, Niang,” jawab Naih lemah.
“Berarti jimat itu belum kau kerjakan?” selidik Uniang Juwai, tetap tak lupa dengan tujuan awalnya.
Naih menelan ludah. Ternyata kakaknya itu lebih memikirkan jimat pesanannya dibanding keadaan dirinya yang sedang sakit. Tepatnya pura-pura sakit, demi menghindari urusan jimat pesanan kakaknya itu.
“Sudah. Semalaman aku mengerjakannya,” jawab Naih kemudian dengan suara pelan.
Wajah Uniang Juwai menyeri lega. “Syukurlah. Berarti kau hanya kelelahan karena bergadang semalaman. Tapi kau tetap bisa memasang jimat itu, kan?”
“Dalam keadaan sakit begini?” Mata Naih mengerjap kaget.
“Apa salahnya? Ini kubawakan nasi untukmu. Setelah makan nanti, kau akan merasa lebih sehat. Ayo, makan!” ujar Uniang Juwai sambil membantu Naih bangun. Lelaki berusia 40 tahunan itu lagi-lagi hanya bisa menurut.
Naih tampak terpaksa menghabiskan nasi yang dibawakan kakaknya. Sebenarnya ia memang sangat lapar tapi karena pikirannya terus tertuju pada jimat pemikat itu, seleranya seakan hilang.
“Nah, sekarang bagaimana?” tanya Uniang Juwai setelah Naih menyelesaikan suapan terakhirnya.
“Agak baikan,” jawab Naih singkat.
“Apa kubilang, kau pasti akan lebih sehat. Kau hanya kelelahan.”