“Kata orang-orang kenapa tidak sakit? Malah katanya tak terasa sama sekali.”
“Kan aku sudah bilang, umur Uniang sudah tak memungkinkan lagi.”
“Sudah! Sudah! Lagi-lagi umur yang kau bicarakan! Sekarang cepat pasang! Aku tak peduli mau sesakit apapun!” Wajah Uniang Juwai memerah menahan kesal.
Akhirnya dengan sedikit mantra-mantra, mulailah Naih menusukkan jarum itu ke bagian kuduk kakaknya. Tapi baru dua detik, Uniang Juwai sudah menjerit.
“Kau ingin membunuhku, ya?!” serunya lantang.
“Kan aku sudah bilang, ini memang sakit sekali.” Naih yang duduk menghadap ke punggung kakaknya membela diri.
“Apa tidak ada penawar rasa sakitnya? Itu air apa? Bukannya air penawar rasa sakit?” Uniang Juwai menunjuk air dalam gelas yang tadi dijadikan Naih untuk mencelup jarum.
“Itu air penguat, agar jimat ini tahan sampai bertahun-tahun,” jelas Naih.
Akhirnya Uniang Juwai tak bisa berbuat apa-apa selain diam menahan sakit saat jarum itu kembali ditusukkan ke kuduknya. Detik demi detik pun berlalu. Namun ternyata Uniang Juwai tak sekuat yang dibayangkannya. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali menjerit.
“Aku tak tahan lagi! Jarum itu benar-benar celaka!” umpat Uniang Juwai sambil meraba kuduknya yang mulai meneteskan darah. Di sana masih tertancap sebuah jarum ukuran sedang. “Cepat cabut jarum itu dari kudukku!”
Naih buru-buru mencabut jarum itu disusul jeritan keras Uniang Juwai, lalu langsung memasukkan jarum itu ke dalam gelas berisi air di sampingnya.