“Kurasa sakitku ini agak lama, Niang. Soalnya aku kan jarang sakit,” kata Naih ketika Uniang Juwai sudah duduk di hadapannya.
“Jangan terlalu melebih-lebihkan, Naih! Kalau ingin bermanja-manja jangan denganku, tapi cari istri!” sembur Uniang Juwai gemas.
Naih meringis. “Kalau aku punya istri, aku tak kan mau lagi jadi dukun. Aku juga tak kan menggantungkan hidupku lagi pada Uniang. Aku akan bekerja keras demi anak dan istriku.”
“Hah! Kenapa baru sekarang kau punya pikiran seperti itu, Naih?” Uniang Juwai tak kuasa menahan tawanya.
“Kenapa Uniang tertawa?” Naih memandangnya tak suka.
“Jika suratan tanganmu memang hanya jadi dukun kampung, maka itulah yang akan kau jalani seumur hidup. Dan jika suratan tanganmu pula menjadi bujang lapuk, maka selamanya kau akan jadi bujang lapuk. Naih, Naih, berangan-angan sajalah kerja kau!” Uniang Juwai tersenyum mengejek sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Uniang jangan asal bicara! Aku memang tak punya apa-apa sebagai modal hidup selain berdukun, tapi Uniang juga lihat diri Uniang sendiri!” Naih tampak tersinggung.
“Kenapa dengan diriku?”
“Apa Uniang tidak sadar dengan umur? Sebentar lagi mau masuk liang kubur tapi masih sibuk dengan penampilan. Yang namanya umur, jika sudah tua, tetap saja tua! Mana bisa dirubah jadi muda! Dan yang namanya wajah, jika memang sudah buruk dari sananya, maka akan tetap saja buruk selamanya!”
“Kurang ajar kau, Naih! Tak kuberi uang lagi, baru tahu rasa kau!” bentak Uniang Juwai dengan mata nyalang.
“Uniang yang memulai! Meski aku orang miskin, tapi aku tidak sudi dihina terus!” Naih tak mau kalah. Sebagai laki-laki, harga dirinya tersentil juga oleh kata-kata kakaknya yang kasar itu. Seperti Uniang Juwai yang begitu marah jika soal umurnya disebut-sebut, maka bagi Naih soal julukan bujang lapuk itu adalah hal yang paling sensitif untuk diungkit-ungkit.