“Niang, apa tidak sebaiknya jimat itu dipasang besok saja?” tanya Naih menawar.
“Kenapa?” Kening Uniang Juwai mengerut.
“Aku khawatir tidak bisa konsentrasi memasangnya. Tangan dan tubuhku masih gemetar. Aku harus sembuh dulu, Niang.” Naih melilitkan lagi kain sarungnya.
“Sembuh dulu? Kapan itu?” Uniang Juwai langsung terlihat gusar.
“Mudah-mudahan besok sudah sembuh,” jawab Naih sambil memandang Uniang Juwai memelas, mohon pengertian. “Sebab jika salah pasang, bisa-bisa Uniang malah kelihatan makin buruk dan tua.”
Uniang Juwai terkesiap.
“Aku serius, Niang. Sabarlah sedikit lagi,” kata Naih meyakinkan.
Akhirnya Uniang Juwai terpaksa menerima. “Baiklah. Tapi besok kau sudah harus sembuh. Aku tidak mau menunggu lagi!”
“Iya, aku janji.”
@@@
Keesokan harinya Uniang Juwai kembali ke rumah Naih, dan kali ini lebih pagi lagi. Tak lupa ia membawa sebuah rantang nasi untuk Naih, agar adiknya itu lebih bersemangat melaksanakan tugasnya.