Ia pun tak peduli ketika Uniang Juwai bergegas bangkit sambil kembali meraih rantang nasinya dengan gerakan kasar. Rantang yang belum sempat disentuh oleh Naih.
“Jadi kau benar-benar tidak mau memasang jimat itu untukku?” tanya Uniang Juwai di dekat pintu. Naih hanya diam sambil membuang muka. Rupanya ia masih marah.
“Baiklah. Tapi kau tidak akan kubagi hasil penjualan durian dekat bukit!” ancam Uniang Juwai sambil bergegas turun. Terus-terang ia masih penasaran pada jimat itu dan berharap Naih mau mengalah.
“Aku akan memasangnya jika hasil panen cengkeh tempo hari juga Uniang bagi denganku!” seru Naih dari atas rumahnya. Kepalanya tampak menjulur sedikit di sudut jendela. Rupanya jiwa parasit Naih terusik juga.
Uniang Juwai memandangnya dari halaman dengan wajah agak kecut. “Kau boleh ambil nanti petang di rumahku. Tapi ingat, setelah itu jimat itu harus kau pasang!”
“Tinggalkan juga rantang nasi itu!”
Uniang Juwai melengos jengkel, merasa dipermainkan oleh adiknya sendiri. Tapi ia tak lagi berkata apa-apa selain meletakkan rantang nasi bawaannya itu di atas anak tangga paling bawah. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya dengan agak menghentak. Diam-diam Naih menarik senyum penuh kemenangan.
@@@
“Uniang benar-benar sudah siap?” tanya Naih sambil memegang sebuah jarum yang disebutnya jimat pamanih itu.
“Siap apalagi? Sudah dari bulan lalu aku siap!” Uniang Juwai yang duduk bersimpuh membelakanginya menjawab tak sabar. “Semua syarat yang kau minta juga sudah kupenuhi. Habis sudah uangku!”
“Tapi pemasangan jimat ini sangat sakit. Uniang tak boleh menjerit,” kata Naih lagi sambil mencelupkan jarum di tangannya ke dalam segelas air.