Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jimat Pemikat

2 Februari 2017   15:52 Diperbarui: 3 Februari 2017   02:34 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ini berbahaya, Niang! Apalagi. Uniang sudah berumur,” ujar Naih khawatir. Tangannya yang sejak tadi melinting-linting daun enau berisi tembakau terdiam sejenak.

“Berumur, berumur! Kau menghina aku, Naih?!” seru Uniang Juwai berang. Wajahnya memerah karena tersinggung. Ia tahu kalau dirinya sudah tua, tapi jika ada yang mengatakan secara terang-terangan seperti itu, ia tetap tidak bisa terima. Sekalipun yang mengucapkannya adalah Naih, adik kandungnya sendiri.

Bukan apa-apa, selama ini perempuan berumur lebih dari setengah abad itu selalu berusaha tampil semuda dan secantik mungkin. Bahkan terakhir ia diprotes anak-anaknya karena memangkas rambutnya yang mulai beruban itu hingga sebatas bahu. Sungguh kurang pantas terlihat apalagi untuk ukuran kampung tempat tinggal mereka. Tapi Uniang Juwai tak peduli. Ia malah sangat puas dengan penampilan barunya itu. Jika orang-orang seusianya memiliki bibir merah karena mengunyah sirih, maka Uniang Juwai lebih canggih, ia memakai gincu alias lipstik. Meski murahan tapi setidaknya itu lebih hebat dibanding yang lain.

“Bukan begitu maksudku, Niang. Uniang kan saudaraku satu-satunya, wajar kan jika aku khawatir?” jawab Naih sambil mulai mengisap kretek daun enaunya dalam-dalam.

“Kalau memang kau masih merasa sebagai adikku, maka turuti semua yang kukatakan!”ketus Uniang Juwai seraya memperbaiki simpuhnya.

Naih terdiam, seperti berpikir keras.

“Kau keberatan?” tanya Uniang Juwai dengan kerlingan curiga.

Naih menggeleng. “Bukan begitu. Aku memang dukun, Niang. Tapi untuk memasang jimat pamanih itu di tubuh Uniang, terus-terang saja aku ragu. Tidak saja karena usia Uniang yang sudah melewati batas, tapi juga karena syarat dan resikonya yang berat.”

“Sekali lagi kuingatkan, jangan menyebut-nyebut soal umurku! Apa kau tidak dengar, Naih?! Aku tidak suka!” bentak Uniang Juwai dengan mata nyalang.

“Iya, iya. Tapi itu memang berkaitan dengan permintaan Uniang. Adalah kewajibanku mengingatkan.” Lelaki bernama Naih itu membela diri.

“Tapi tidak perlu sering-sering kau ulang! Aku tahu kalau aku sudah tua!” sengit Uniang Juwai marah. “Sekarang yang penting adalah, kau mau atau tidak?!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun