“Cukup, Naih! Percuma kau jadi dukun bertahun-tahun jika tak bisa menyingkirkan resiko-resiko keparat itu dari uniang-mu ini!”
“Tapi, Niang...”
“Sudah! Aku mau pulang! Besok aku akan kembali kemari dan kau sudah harus menyiapkan jimat itu!” Uniang Juwai langsung bangkit dari duduknya dan melangkah cepat menuruni tangga rumah Naih.
Tinggallah Naih dengan pikiran yang kusut. Sungguh ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Kakak perempuannya itu terlalu keras untuk dilawan. Dan Naih, selalu tak kuasa menolak apapun perintahnya. Selalu patah lidah jika berdebat dengan Uniang Juwai.
@@@
“Naih! Naih!” panggil Uniang Juwai di depan tangga rumah Naih. Pintu dan jendela rumah Naih yang masih tertutup menandakan bahwa penghuninya belum bangun. Hari memang masih pagi, tapi Uniang Juwai sudah tidak sabar untuk melihat hasil kerja Naih. Tepatnya, ia sudah tak sabar untuk dipasangakan jimat pemikat itu di tubuhnya.
“Naih! Sudah bangun kau, Naih?”
Tak ada sahutan.
“Jangan-jangan masih mendengkur si Pemalas itu!” gerutu Uniang Juwai sambil bergegas menaiki tangga. Didorongnya pintu rumah Naih dengan kuat. Tidak terkunci. Rumah itu terasa pengap dan gelap. Dengan agak meraba-raba Uniang Juwai membuka jendela.
“Hei! Kenapa kau, Naih?” seru Uniang Juwai heran. Naih tampak tidur bergelung kain sarung di atas kasur tipisnya.
“Ada apa denganmu, ha?” Uniang Juwai menggoyang-goyang tubuh adiknya itu dengan agak keras.