Dan hutan tropis dicintai para penjelajah
Aku ingin membentang
Seperti lengkung pelangi
Dan warna warni adalah seri diriku
Kini, mampukah kupungut serak keping hatiku
Satu persatu?
Puisi itu kutulis dalam kereta sepanjang perjalanan Jakarta-Yogya.  Air mataku meleleh.  Pertengkaran dengan Bunda dan Bapak yang melarangku jadi wartawan. Perpisahan dengan Awang Pandu.  Ah… runtuhkah dunia? Tidak. Aku mengucapkan selamat datang pada pemberontakan.  Salahkah aku jika punya keinginan? ………….
Berbulan-bulan kemudian, ketika aku sudah disibukkan dengan aktivitasku sebagai wartawan, tak kusempatkan mengingat-ngingat lagi Daeng-ku.
-----------------
Dua tahun berlalu. Kabar dari lelaki itu datang suatu pagi di bulan Februari. Â Awang Pandu-ku. Memintaku merestui pernikahannya. Dengan Astrianti. Rekan satu angkatanku. Mantan aktivis Senat Mahasiswa. Punya usaha pertanian organik sendiri. Â Aku mengucap syukur alhamdulillah. Â Dialah yang tepat untuk Daeng. Â Rasanya ya. Naluri perempuanku mengatakan begitu.
Aku menghadiri akad nikah mereka. Â Betul-betul kusempatkan hadir pagi-pagi di masjid sekalipun semalam pulang larut dengan lelah yang sangat. Â Satu jam. Â Kemudian aku harus segera pergi liputan.