Aku sedang dalam proses seleksi di sebuah koran nasional. Melamar jadi wartawan. Dengan niat penuh. Meski pekerjaan tetap sebagai dosen kujalani. Aku kepingin jadi wartawan. Kepingin sekali. Kurasa aku akan menyesal seumur hidup jika hanya melewatkan hidupku di kampus dan laboratorium. Terlalu banyak rasanya sesuatu di luar sana yang ingin kujelang. Egois, barangkali. Benarkah?……
Aku diam-diam. Karena Bunda pasti tidak setuju. Diam-diam aku juga ragu Awang Pandu akan tetap pada niatnya melamarku, seandainya aku tetap nekat jadi wartawan.
Dalam tiap kesempatan, Awang Pandu kembali menanyakan perihal pernikahan. “Apa yang membuatmu ragu, Alila? Bilang saja.”
Aku diam.
“Daeng, aku kan tidak cantik. Tidak kaya. Kenapa aku?”
“Ada pertanyaan lain yang lebih serius gak sih. Masa seperti itu ditanyakan,” ujarnya. Awang Pandu memandangiku. Berusaha mencari senyumku. Sekarang, dia sudah berani menggenggam jemariku lebih lama. Duduk dekat-dekat. Merangkul bahu. Uh, dulu mana berani.
“Aku bertanya serius.”
“Aku menjawab apa adanya.”
“Bohong.”
“Terserah.”
“Daeng….”