Mohon tunggu...
Nova Bragastiani
Nova Bragastiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Unpam Jurusan Sastra Indonesia

Suka kucing, es krim stoberi, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Benar, Kan, Katakan Saja?

1 Desember 2020   05:52 Diperbarui: 1 Desember 2020   06:56 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari meninggi di langit. Panasnya terasa menggelitik kulit. Dilihat dari sudut kemiringan matahari, mungkin saat ini baru pukul sepuluh pagi. Hari bahkan belum bisa disebut siang bagi Irkala untuk duduk di sebuah kafe. Tapi di sinilah Irkala sekarang. Duduk berhadapan dengan Nana, gadis manis berambut panjang yang mengenakan blus pink, di sofa dekat pintu masuk.

"Jadi, kenapa memanggilku?" Nana menyedot minumannya, "Ngomong-ngomong, makasih, ya, Strawberry Smoothie-nya. Kamu tahu saja apa yang kusuka."

Irkala ikut menyecap Capuccino yang panasnya langsung hilang karena pendingin ruangan kafe. "Nggak pa-pa. Justru aku yang minta maaf, karena sudah memintamu ke sini, padahal kamu ada kelas hari ini. Rumah kita juga sebelahan, tapi aku malah memaksa untuk bertemu di dekat kampusmu."

Nana menggeleng sembari mengembangkan senyum manis, "Kebetulan hari ini kelas paginya batal. Dosenku ada rapat sama bidang kemahasiswaan, jadi nggak masalah. Kamu sendiri gimana? Nyaman di tempat kerjamu?"

"Bosnya galak. Kalau telat datang, pasti langsung diancam potong gaji. Selalu menyuruh lembur tiba-tiba juga." Irkala menggeleng, "Betah nggak betah, aku tetap harus kerja kalau mau punya uang. Ada adik yang bawel minta uang terus."

Nana lantas tertawa, membuat Irkala sejurus diam untuk menyimak suara renyah Nana, ekspresi wajahnya, kedua matanya yang terpejam, juga jemari lentiknya yang gadis itu gerakkan untuk menyisipkan rambut ke belakang telinganya. Itu semua, tidak lepas dari pandangan Irkala. 

Yang lebih membahagiakan lagi, kafe pagi itu sedang tak ramai. Hanya ada mereka berdua, tiga pelanggan lain, dan beberapa pegawai di konter kafe. Irkala jadi tak perlu membagikan apa yang dia lihat pada banyak orang.

"Oh, iya. Aku sekalian mau kasih ini buat kamu." Irkala merogoh saku jaket jins yang dia pakai, lalu mengeluarkan sebuah boks kecil dan menyodorkannya pada Nana.

Nana membuka kotak itu, "Stoberi?" dia mengeluarkan satu buah stoberi merah matang yang tampak menggoda untuk digigit, tapi tidak mungkin bisa karena setelah Nana menemukan garis potongan dan membukanya, "Flashdisk?"

Iya, itu hanya flashdisk.

Nana berbinar menatap Irkala dan flashdisk berbentuk buah kesukaannya bergantian, seolah barang yang dipegangnya adalah cincin berlian termahal di dunia. Namun kemudian, wajahnya kuyu. Nana memasukkan kembali flashdisk stoberi itu ke dalam kotak. "Aku... kayaknya nggak bisa terima ini."

"Eh? Kenapa?" Irkala juga jadi ikutan pundung, seakan lamarannya ditolak, meski nyatanya itu bukan cincin, dan meski nyatanya dia tidak menyatakan apa-apa.

Melihat Nana yang hanya diam, Irkala tersenyum. "Nggak mahal, kok, Na. Bentuk stoberi itu aku yang bikin sendiri pakai clay. Flashdisk-nya juga nggak terlalu mahal. Terima saja. Kata Irkani, kamu lagi butuh flashdisk, kan?"

Nana perlahan luluh dan tersenyum. "Kalau gitu... makasih, ya."

Tapi Irkala tak tahu Nana berubah pikiran karena apa. Dia juga tak tahu Nana luluh karena Irkala menyebutkan alasan yang mana.

"Na, papamu ada di rumah, kan, sore ini?"

Nana mengangguk, "Ada, kok. Kenapa?"

"Nggak ada apa-apa. Bundaku hanya ingin memastikan, kalau janjinya dengan papamu tidak batal."

"Ah, soal itu, ya?"

Irkala mengangguk lemah, "Iya, soal itu."

Lantas awan mendung mengarak di atas mereka, membawakan hujan yang siap turun kapan saja. Tiap detik yang berjalan, arakannya terasa makin pekat dan gelap, membuat keduanya terdiam dengan isi kepala masing-masing.

Itu, adalah kata ajaib yang membawa sesak dalam sekali dengar. Itu, adalah kata terlarang untuk diucap bagi siapa pun yang terlibat dalam permasalahan di dalamnya. Itu, adalah mantra yang membawakan pedih dalam dada, khususnya bagi Irkala.

Tak tahan dengan keheningan yang melemparnya dalam ruang kesendirian, Irkala memaksakan senyum. "Nana, aku boleh tanya sesuatu?"

Irkala tak tahu, kalau suaranya berhasil menarik Nana dari rasa ngilu di hatinya. Irkala juga tak tahu, kalau kalimatnya itu berhasil memalingkan sendu di dadanya. "Tentu boleh. Kamu mau tanya apa?"

"Apa kamu tahu, bagaimana caranya agar seseorang bisa bahagia?"

Nana tampak berpikir sebentar, tak siap dengan pertanyaan mendadak dari Irkala. "Hmm... melakukan apa pun yang membuat kita bahagia?"

Kalimat Nana hampir membuat Irkala menyemburkan tawa. Ah, gadis itu memang selalu bisa mengejutkannya dengan cara yang tak terduga.

Kukira dia bakal menyebutkan satu-dua kegiatan yang menyenangkan saat aku tanya begitu.

"Apa pun?"

"Iya. Apa pun." Nana menyedot minumannya tanpa melepaskan mata dari Irkala.

"Apa ada kemungkinan setelah kita melakukan semuanya, kita masih tetap tidak bahagia?"

Pertanyaan itu terasa memelintir otak Nana. Walaupun terdengar mudah, tapi berhasil membuat Nana kembali berpikir dengan wajah lucu yang membuat Irkala gemas. 

"Ng... mungkin iya, mungkin juga tidak. Semuanya tergantung pada perasaanmu. Contohnya seperti kamu yang merasa cukup hanya dengan usahamu untuk mencapai kebahagiaan itu, walau hal yang sebetulnya kamu inginkan itu belum terdekap."

Sekarang, gantian Irkala yang terdiam sebelum bilang, "Kurasa... kamu benar." 

"Eh, apanya?" kata Nana heran, seolah lupa dengan apa yang barusan dia bilang. 

"Kamunya."

"Hah?" Kedua matanya pun membulat pada Irkala, tampak menggemaskan dan membuat Nana semakin manis.

Irkala langsung tersenyum, membiarkan kebingungan Nana tak berjawab. "Na, kalau kamu sakit, apa yang akan kamu lakukan?"

"Pergi ke dokter atau minum obat, dong." Nana tampak percaya diri.

"Kalau kamu lelah?"

"Ya... tidur atau beristirahat."

"Kalau dengan tidur dan pergi ke dokter tidak menyembuhkan sakit dan lelahmu, lantas bagaimana?"

"Kenapa, sih, Irkala? Hari ini kamu menanyakan banyak hal aneh." Nana mengernyit ke arahnya, tak suka dengan abu-abu yang Irkala berikan.

"Gak apa. Jawab saja." Tapi Irkala tidak membuatkan abu-abu itu menjadi warna pasti.

"Ya... pasti resep obat yang diberikan dokter dapat menyembuhkan sakit. Kamu kenapa Irkala? Sakit?"

Irkala tersenyum, "Iya, aku sakit. Tapi nggak bakal ada dokter yang bisa menyembuhkanku."

Nana kemudian melotot, air mukanya berubah panik. "Serius?! Kamu sudah cek ke berapa dokter?! Apa hasilnya?! Kamu sakit apa?!"

"Nggak, kok. Bukan sesuatu yang serius." Irkala menunduk, "Malah sangat remeh."

"...eh?"

"Satu pertanyaan terakhir." Irkala mengembangkan senyum yang lebih lebar, berharap dapat menghilangkan rasa cemas Nana terhadapnya. Ekspresi itu tidak cocok berada pada wajah manisnya. "Na, menurutmu, kalau ada seseorang yang sedang jatuh cinta, dia harus apa?"

Pertanyaan Irkala, semakin membuat Nana bingung. Laki-laki yang sudah dikenalnya sejak SD itu, terus memutar topik pembicaraan tanpa aba-aba dan seenaknya saja. "Hmm... dia harus... menyatakannya?" jawabnya tak yakin.

"Walaupun kemungkinan besar dia akan ditolak?" Irkala mengeratkan tatapan matanya pada Nana.

"Irkala, serius, deh. Kamu kenapa? Sakit apa? Mau kutemani ke dokter sekarang juga?"

Irkala menggeleng, "Jawab saja pertanyaanku."

Dengan kebingungan yang makin menyesatkan pikirannya, Nana terpaksa menjawab, "Ya, beri tahu saja." agar Irkala berhenti bertanya.

"Kenapa? Bukannya lebih baik dipendam saja? Lagi pula, dia akan ditolak. Jadi, bukannya lebih baik cari aman dan menjaga hubungan mereka biar tetap seperti semula?"

Irkala kenapa, sih? Aneh banget!

Tapi Nana mengikuti arah pembicaraan Irkala yang semakin membuatnya tak tahu akan dibawa ke puncak yang mana. "Kalau jatuh cinta, maka beri tahu saja. Meski kemungkinan besar akan ditolak, ya, beri tahu saja. Karena setidaknya, orang yang disukainya itu akan mengetahui perasaannya. Lagian, kata orang, kalau kita menyatakan perasaan pada seseorang, orang itu akan memikirkan kita sepanjang malam, lho."

"Yang benar?" Irkala tampak gembira.

"Iya! Masa, aku bohong?" Nana bersorak dalam hati, tampaknya pertanyaan aneh dari Irkala akan segera berakhir.

"Jadi... beri tahu saja, nih?"

"Tentu! Nyatakan saja!"

"Nyatakan saja, nih?"

Nana menjadi gemas. "Iya, Irkala. Katakan saja! Tidak perlu ragu."

Irkala menggaruk lehernya. "Katakan saja?"

Untuk terakhir kalinya, Nana menatap Irkala setengah melotot. "Iya! Katakan saja!"

Dalam ketidak siapan, dalam pikiran yang belum disadarkan, Nana dikejutkan oleh satu tarikan napas Irkala yang sejurus melontarkan kalimat yang meruntuhkan semestanya.

"Nana, aku menyukaimu sejak lama. Tapi aku takut menyatakannya karena khawatir kamu akan menolakku. Lagi pula, sebentar lagi papamu dan bundaku akan menikah. Kita akan menjadi keluarga. Kita akan menjadi adik dan kakak. Kita nggak mungkin bersama. Dan kamu, Nana... kamu menyukai Irkani, kembaranku."

Nana terdiam, tidak bisa memberi respons apa-apa. Dia tampak seperti layar televisi yang di-pause. Tidak berkedip, tidak bersuara, tidak pula bergerak. Sedangkan Irkala, tersenyum menahan pahit dalam mulutnya.

"Benar, kan, katakan saja?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun