"Eh? Kenapa?" Irkala juga jadi ikutan pundung, seakan lamarannya ditolak, meski nyatanya itu bukan cincin, dan meski nyatanya dia tidak menyatakan apa-apa.
Melihat Nana yang hanya diam, Irkala tersenyum. "Nggak mahal, kok, Na. Bentuk stoberi itu aku yang bikin sendiri pakai clay. Flashdisk-nya juga nggak terlalu mahal. Terima saja. Kata Irkani, kamu lagi butuh flashdisk, kan?"
Nana perlahan luluh dan tersenyum. "Kalau gitu... makasih, ya."
Tapi Irkala tak tahu Nana berubah pikiran karena apa. Dia juga tak tahu Nana luluh karena Irkala menyebutkan alasan yang mana.
"Na, papamu ada di rumah, kan, sore ini?"
Nana mengangguk, "Ada, kok. Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa. Bundaku hanya ingin memastikan, kalau janjinya dengan papamu tidak batal."
"Ah, soal itu, ya?"
Irkala mengangguk lemah, "Iya, soal itu."
Lantas awan mendung mengarak di atas mereka, membawakan hujan yang siap turun kapan saja. Tiap detik yang berjalan, arakannya terasa makin pekat dan gelap, membuat keduanya terdiam dengan isi kepala masing-masing.
Itu, adalah kata ajaib yang membawa sesak dalam sekali dengar. Itu, adalah kata terlarang untuk diucap bagi siapa pun yang terlibat dalam permasalahan di dalamnya. Itu, adalah mantra yang membawakan pedih dalam dada, khususnya bagi Irkala.