Mohon tunggu...
Nora Oya
Nora Oya Mohon Tunggu... Buruh - “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito.” - Dalai Lama

rakyat biasa, ibu seorang putra, yang pecinta binatang, pemerhati budaya dan pecinta wastra

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tujuan Wisata di Kota Tangerang yang Sebenarnya Bisa Ditata Lebih Baik!

4 Desember 2019   00:01 Diperbarui: 4 Desember 2019   22:08 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Tanjung Pasir (foto : tangselmedia.com)

Sudah tetap hati ini. Minggu  pertama Desember ini  akan diisi dengan mengunjungi beberapa wilayah  heritage di Tangerang.

Hari masih pagi, matahari masih hangat lembut. Ketika jalur bebas hambatan kami tempuh. Jalanan masih kosong melompong. Sehingga perjalanan sangat lancar.

Kami tiba di Tangerang sekitar Pasar Lama lalu parkir di parkiran halaman Pendopo Kabupaten, yang difungsikan sebagai tempat parkir selama hari libur kerja, karena  memang diizinkan oleh pemda, sebagai ganti parkir di pinggir jalan yang cenderung penuh. 

Sebenarnya kami sudah janjian dengan seorang teman yang tinggal di Tangerang, dia bersedia menjadi penunjuk jalan. Eeeh secara tiba-tiba dia ada pekerjaan dan baru bisa bergabung siang harinya. 

Blusukan

Pasar Lama Tangerang (sumber: poskotanews.com)
Pasar Lama Tangerang (sumber: poskotanews.com)

Diujung jalan masuk pasar dari arah pendopo kabupaten ada plang kecil bertuliskan "Museum Benteng Heritage" dengan panah penunjuk arahnya. Sambil ngobrol dan mengira-ngira dan agak-agak sok tahu kami mengikuti arah panah. 

Tapi, entah kenapa sampai ujung jalan habis pun, gak juga kami temui bangunan yang pantas disebut museum atau papan petunjuk bangunan museum. 

Sambil terbingung-bingung kami  balik  menyusuri jalan semula. Ketika seorang tukang parkir sambil senyum-senyum menyapa, "Mau kemana Bu?"

"Museum...." (jawab saya, sambil nyengir)

"Mau nanya gak? atau mau nyari aja?" (tukang parkir sambil senyum-senyum)

"ha ha ha..iya pak, nanya deh...di mana museumnya?" ( seraya menahan malu).

"ha ha ha..ibu belok kanan...terus aja...agak di tengah, nanti sebelah kanan ya.."(tukang parkir dengan maklum).

Kami belok kanan dari arah yang semula salah tadi. Ternyata masuk ke pasar! Jalanannya sempit dan becek pula. Di kiri dan kanan penuh penjual mulai dari kue basah, ikan, buah, sayur mayur, ayam mentah sampai ayam matang berbumbu, daging sapi sampai daging babi.

Dengan kondisi pasar tradisional yang seadanya ini  tentu saja pasar sangat tidak nyaman, kotor, becek dan bau. 

Sambil bertanya-tanya dalam hati, di mana museumya? sudah sampai belum? atau jangan-jangan sudah terlewat! Sembari mata tetap jelalatan dan kepala sibuk tolah toleh melihat isi dagangan di kiri dan kanan. 

Secara tak sengaja mata saya tertumbuk pada tulisan kecil diatas kertas yang ditempel di dinding sebuah bangunan kuno dan  cukup "kumuh", jam buka : Senin - Jumat....bla bla bla. Spontan saya bertanya pada seorang bapak penjual barang kelontong persis di depan pintu pagar bangunan, 

"Pak...ini museumnya?",

"Iya bu..betul"

"Belum buka ya pak?"

"Belum bu...nanti jam sepuluh". 

Oh baiklah. Jika demikian kami akan cari sarapan dulu. Karena memang belum sempat sarapan. Perjalanan Jakarta-Tangerang via jalan bebas hambatan cuma satu jam.

Tadi memang kami belum sempat lapar. Sekarang baru terasa. Kami putuskan cari sarapan di luar dan sejauh mungkin dari pasar. Bau dan becek pasar akan sangat mengganggu selera makan pastinya.

Setelah kenyang sarapan roti cane dan martabak telor Aceh kami bertanya lagi, kebetulan pada seorang bapak penjual somay,

"Pak..betul ini jalan ke Kelenteng?" sambil kembali menunjuk arah ke Pasar Lama.

"iya Bu...ini lurus terus aja.."

Kembali sambil mengerenyitkan hidung kami masuk ke dalam pasar. Berjalan terus hingga bersirobok dengan sebuah Kelenteng, dengan nama  Bun Tek Bio.

Hari masih pagi tetapi sudah banyak orang bersembahyang di Bun Tek Bio.  Seperti Kelenteng dimanapun,  Bun Tek Bio juga ramah kepada setiap pengunjung, walaupun kami tidak ikut melakukan seremonial sembahyangan.  

Tidak ada pandangan galak, tidak ada hardikan karena kami salah masuk misalnya. Tidak ada larangan jika kami mau foto. Selalu dijawab dengan ramah ketika bertanya. Menggambarkan tempat ibadah yang menetramkan hati seperti juga ajarannya yang cinta damai.

Setelah puas dengan kelenteng. Lagi, mata tertumbuk papan bertuliskan Toko Obat Tradisional Hok Ho Tong dari depan kelenteng. Iseng, kami hampiri, sempat juga salah sasaran, kembali bertanya, setelah dijawab, "Sebelah sana Bu....itu ada plangnya...".

Ya ampuuuuun, padahal gede loh plangnya! Sembari ngobrol-ngobrol dengan om yang punya toko, tanya-tanya, akhirnya kami tinggalkan toko  setelah menghabiskan beberapa ratus ribu untuk belanja obat tradisional.

Sambil menyusuri jalanan pasar yang becek dan bau kami kembali ke Museum Benteng Heritage. Sudah buka! Ternyata kami pengunjung pertama di hari Mingggu itu.

Setelah membayar fee masuk sebesar Rp. 30.000,- per orang. Dengan ditemani guide berkeliling lah kami di museum sambil diceritakan mengenai sejarahnya.

Selesai kunjungan, lanjut makan siang,  yaitu Enci Suka Ria di jalan Soleh Ali, ketupatnya katanya enak, tapi sayang kami nggak kebagian. Cuma kebagian nasi uduknya. Lumayan sih!

Pantai Tanjung Pasir di Kecamatan Teluk Naga merupakan objek terakhir yang kami kunjungi sebelum kembali ke Jakarta. Sempat terjebak macet di ,  di beberapa titik sepanjang jalan, karena terjadi pengumpulan masa, maklum sedang berlangsung pemilihan kepala daerah.

Jalanannya mulus walaupun sempit. Pemakai kendaraan motor roda dua agak kurang disiplin dan ngawur, sehingga terasa lelah karena perlu konsentrasi tinggi mengemudi.

Saya akan  ceritakan ulang dengan  detil  objek wisata yang kami kunjungi ya, ditambah data yang diperoleh dari beberapa sumber agar lebih lengkap.

Cina Benteng

Masyarakat Cina Benteng (foto:pribadi)
Masyarakat Cina Benteng (foto:pribadi)

Sebutan Cina Benteng adalah sebutan untuk komunitas Tionghoa di Tangerang yang penampilan fisiknya sudah tak tampak seperti orang Cina.

Nama 'benteng' merujuk pada benteng Belanda yang dibangun VOC di bagian timur Sungai Cisadane yang mengelilingi daerah tersebut pada tahun 1684. Dikenal juga sebagai Benteng Makasar.

Etnis Tionghoa di Tangerang ini merupakan keturunan imigran Cina Hokkian, yang konon pertama kali datang di kawasan Tangerang pada 1407 dan masuk melalui Teluk Naga sebelum  VOC datang.

Peleburan budaya Tionghoa pun terjadi sejak dulu antara lain melalui kuliner, bangunan rumah dan juga musik gambang kromong.

Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin.

Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri. Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang. Sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.

Sejarah  Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana.

Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Pasar Baru pada tempo dulu adalah merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.

Selain di Kampung Sewan yang terletak di belakang Bendungan Pintu Air Sepuluh, keturunan etnik Tionghoa di Tangerang ini juga tersebar di Teluk Naga. Dulu sebagian dari mereka merupakan petani.

Setelah rumah dan sawahnya terkena gusur untuk proyek pembangunan bandara Soekarno Hatta, mereka pun pindah ke Kampung Sewan pada 1970an. Dulu tempat tinggal mereka adalah yang sekarang menjadi landasan kapal (bandara), lalu digusur dan pindah ke Kampung Sewan.

Kelenteng 

Bagian dalam Kelenreng Boen Tek Bio (foto: pribadi)
Bagian dalam Kelenreng Boen Tek Bio (foto: pribadi)

Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).

Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam. 

Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang adalah yang pertama berdiri diantara tiga kelenteng tertua di Tangerang. Komunitas Tionghoa di Petak Sembilan mendirikan kelenteng ini waktu itu dalam bentuk yang masih sangat sederhana. 

Kemudian pada tahun 1844 kelenteng mengalami renovasi dengan mendatangkan ahli bangunan dan kelengkapan kelenteng dari Tiongkok.

Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang, yang berarti tempat ibadah sastra kebajikan, merupakan kelenteng berpengaruh bersama dengan Kelenteng Boen Hay Bio (berdiri 1694) dan Kelenteng Boen San Bio (1689).

Museum Benteng Heritage

Museum Benteng Heritage (foto: pribadi)
Museum Benteng Heritage (foto: pribadi)

Berdasarkana penuturan  guide,  bangunan ini dibangun pada abad ke-17 sebenarnya terdiri dari tiga bangunan berderet. Bangunan ini dijual oleh keluarga pemilik sebelumnya yang telah menempati selama delapan generasi  kepada Udaya  Halim atau Lim Cin Peng dengan kondisi yang tidak terawat.

Lantai bagian bawah asli dari tercota cina sebagai bahan barter kayu dari Indonesia. Sedangkan lantai di tingkat atas dari kayu jati.

Koleksi yang ada di dalam museum antara lain kebaya encim, timbangan opium , uang kuno, serta perabot tua.  koleksi kamera dan gramafon tua, serta piringan hitam langka.

Kecap dari Tangerang 

Kecap Benteng dari Tangerang (foto: travellingyuk.com)
Kecap Benteng dari Tangerang (foto: travellingyuk.com)

Selain timbangan yang menjadi simbol perdagangan di Pasar Lama, museum juga menyimpan koleksi botol kecap.

Ada  label Ketjap Benteng Teng Giok Seng yang diproduksi di Benteng Tangerang. Ada juga  Ketjap Siong Hin atau SH. Pabrik kecap ini masih ada sampai sekarang.

Kecap Benteng didirikan oleh Teng Hay Soey pada 1882 dan diteruskan oleh Teng Giok Seng. Tahukah anda bahwa Kecap Benteng merupakan kecap tertua yang masih beroperasi dan saat ini menggunakan merek Cap Istana.

Selain itu, ada juga kecap buatan Siong Hin (SH) yang mulai diproduksi pada tahun 1920 oleh Lo Tjit Siong.

Kecap Benteng SH pertama kali dibuat dan dipopulerkan oleh masyarakat Cina Benteng yang ada di daerah Tangerang. Meskipun bermunculan jenis dan merek, kecap benteng tetap jadi primadona di daerah Tangerang dan sekitarnya. Kecap benteng ini terdiri dari dua jenis, kecap manis dan kecap asin.

Kecap Siong Hin lebih banyak dipakai untuk aneka jajanan, seperti mie bakso, mie ayam, dan bermacam gorengan, karena rasanya yang gurih dan manis. Sedangkan untuk masakan yang diolah, Kecap Benteng yang banyak dipilih.

Salah satu produk kecap nasional yang ternama saat ini, yakni Kecap Bango, awalnya pun berasal dari Tangerang. Kecap Bango awalnya merupakan sebuah industri rumah tangga yang dimulai pada 1928 oleh Tjoa Pit Boen.

Akhirnya pada tahun 1992, PT Unilever Indonesia mengakuisisi merek dan usaha Kecap Bango, serta resmi menjadi salah satu produk PT Unilever Indonesia pada 2001.

Pintu Air Sepuluh

Pintu Air Sepuluh (foto:pribadi)
Pintu Air Sepuluh (foto:pribadi)

Pintu Air  Sepuluh ini sebenarnya adalah bendungan yang berfungsi untuk mengatur aliran air irigasi. Ketika di Tangerang masih banyak terdapat sawah. Disebut juga dengan Bendungan Pasar Baru Irigasi Cisadane.

Bendungan ini di bangun tahun 1928 dan mulai di operasikan tahun 1932. Bendungan tersebut mampu mengairi +/-1.500 Ha sawah yang berada daerah kota dan kabupaten Tangerang.

Bendungan ini lebih di kenal dengan sebutan "Bendungan Pintu Air Sepuluh"atau"Sangego". Bendungan ini memiliki sepuluh buah pintu air yang lebarnya masing-masing sepuluh meter. Konon pemerintah Belanda sampai perlu mendatangkan para pekerja yang berasal dari kota Cirebon ketika membangun bendung ini. 

Terdapat 10 pintu air dari besi dengan 11 tiang penopangnya, konstruksi terbuat dari beton bertulang, pada sisi utara dan selatan bangunan terdapat rel lori yang digunakan untuk mendistribusikan pintu air pengganti jika ada pintu air yang rusak.

Pantai Tanjung Pasir di Teluk Naga

Dari Tangerang pusat, pantai ini memiliki jarak sekitar 25 kilometer dan bisa diakses dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Untuk akses yang paling mudah menuju pantai ini adalah melalui pintu belakang bandara (M1). Ikuti saja jalan menuju ke utara, yaitu ke Kampung Melayu. Dari Kampung Melayu, ambil belokan ke kanan dan cari plang penunjuk arah Tanjung Pasir.

Pasirnya hitam. Berderet warung-warung jualan makanan dan kelapa muda. Jika lihat kondisi pantai ini ingat kondisi pantai-pantai zaman dulu yang seadanya. Tanpa fasilitas publik yang memadai. 

Sampah berserakan. Bau kotoran kambing. Berjalan dari parkiran ke pantai harus dengan konsentrasi tinggi dan memilih yang akan dipijak. Kondisi parkiraan yang seadanya, tanah becek karena habis hujan dan rumput yang tumbuh tidak rata.

Pantai Tanjung Pasir (foto : tangselmedia.com)
Pantai Tanjung Pasir (foto : tangselmedia.com)

Saran dan Kritik

Tangerang memang mempunyai potensi wisata yang baik. Hanya sangat disayangkan kurangnya penataan yang baik. Seperti Pasar Lama. Alangkah baiknya jika para pedagang dikembalikan berjualan di dalam rumah, seperti asalnya. 

Sehingga jalanan yang memang sempit tidak terganggu. Lalu yang selalu menjadi masalah krusial adalah kebersihan. Bayangkan di ruang tunggu Museum Benteng Heritage tercium bau busuk pasar! 

Muka bangunan museum pun tertutup habis oleh pedagang. Bukan kah lebih kalau para pedagang ditertibkan dan kebersihan (termasuk becek dan bau) terjaga. 

Sudah tidak masanya pasar itu identik dengan becek dan bau. Banyak contoh-contoh pasar  bersih yang bebas dari kondisi becek dan bau menyengat. Apalagi kalau bisa dikembalikan seperti suasana asalnya. Makin menarik, yekaaannn...!

Pantai Tanjung Pasir pun demikian. Jika kebersihan parkir dijaga sehingga kotoran kambing tidak mendominasi aroma udara akan lebih baik. Juga lubang-lubang kubangan air di tempat parkir. Juga diperlukan penertiban pungutan parkir dan tanda masuk. 

Dengan harga yang lumayan. Perorang sepuluh ribu dan per mobil juga sepuluh ribu, alangkah baiknya kalau pungutan itu sebagian dikembalikan untuk perbaikan infrastruktur. 

Semua bisa kok dilakukan secara swadaya tanpa harus menunggu Pemerintah Daerah turun tangan. Toh kalau pengunjung banyak datang, masyarakat setempat juga yang untung. 

Coba  contoh deh pengelolaan objek-objek wisata di wilayah Gunung Kidul Yogyakarta. Rata-rata dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat.  Tak perlu studi banding ke luar negeri lah. Tengok aja provinsi tetangga.

Semoga Kota Tangerang bisa lebih bersolek sehingga potensi yang ada bisa berimbang dengan kondisi dan pelayanan yang terbaik  yang bisa dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun