Menumpang truk pasir ,rajutan mimpi dari benang empat sekawan segera akan menjadi nyata---Sekiranya itu hasil buah pikiran mereka
" apa yang akan kau lakukan setelah terkenal,kar. "
Bola liar berupa pertanyaan tak diduga melesat untuk karsa yang asik dengan dua bantang tongkat kayu kecil---sudah dikupas halus---Yang ia pukul-pukulkan pada angin.
Serupa kepunyaan tetangganya.
" aku bakal membeli peralatan drum paling mahal dan semua hal yang tak bisa kubeli selama hidup ini, kalau kau sendiri? "
Tangan dengan tongkat itu masih pada posisinya, Â ketika melesatkan kembali bola pertanyaan dari gilang .
Sedangkan yang diberikan pertanyaan mencari-cari jawaban. Gilang memetik pelan ukulelenya, seakan jawaban ada pada melodi yang dia buat.
Walaupun senar hanya tinggal tiga---satunya dia putuskan ketika cintanya berakhir---namun tak membuat melodi itu terluka. Â Masih sama indahnya meski tak lengkap.
Gilang menarik nafas panjang,dengannya petikan itu juga berhenti.
" akan aku pacari semua wanita, buat mereka yang putus dengan ku menyesal, akan ku beli semua gitar mahal didunia, Â akan ku buat rumah mewah---istana jika perlu,akan ku beli mobil ,motor , sapi, domba, kambing, babi ,dan, ... ."
" sudah cukup, Â tarik dulu nafas kau, yang ada keburu m*ti sebelum semua yang kau sebut itu terwujud. "
Potong karsa, mentertawakan gilang dengan wajahnya hitam merah, sudah sepeti cumi dibakar.
Nafasnya juga sudah tidak berpola, kiranya sedetik lagi habis kalau ia teruskan.
" jika pinta mu sebanyak itu, aku rasa tuhan akan malas untuk mengabulkannya, "
Sambung karsa melepas tawa yang tak tahan kiranya dia simpan lagi, Â sampai pipi tebal miliknya menelan kedua bola mata sipit kebanggan---ciri dia dari tanah seberang---dan menampakkan gigi kecil yang tak rata, seperti hidupnya. Â
Tawa itu juga tertular kepada beny dan very yang pilih duduk dibelakang.
Beny adalah bassist di band mereka dan very adalah vokalisnya, band yang belum bernama. belum lagi siap dengan nama, Â masih mencari yang pas kiranya, Â tapi untuk karya mereka telah hasilkan, Â bukan satu lagu namun sudah menjadi kemasan album.
Yang mereka rekam mengandalkan belas kasihan tetangga karsa ---yang meminjami karsa stick drum--- dia juga ada studio rekaman.
Tidak lengkap memang tapi cukup untuk merekam sekadar beberapa lagu.
Dan hasil panen dari pohon kerja keras , pengorbanan, Â ketekunan, Â kesabaran, Â serta belas kasihan itu yang akan mereka bawa ke kota, Â untuk mereka jajalkan pada produser besar.
" kau sendiri ben,? Â Ada yang hendak kau inginkan jikalau kita terkenal, "
Pertanyaan serupa,  namun samar very sampikan. Arah pandangannya masih  kebelakang,  tapi jelas suaranya mengarah kebeny .
Dia tahu, dirinya tak suka berhayal begitu juga beny.
" kau juga ver?"
" iya---tidak salahnya kita berhayal dulu, toh juga tak merugikan orang ben"
Very mengelak, sudut bibirnya hampir menyentuh lesung pipi pemanis wajah oval itu.
Hidung mancungnya kembang kempis pertanda sesalnya terlanjur bertanya.
" aku belum pikirkan ver, Â nanti kalau ada, kau bisa tanyakan lagi, "
Pertanyaan very masih mengambang dengan banyaknya kemungkinan jawaban.
Very tak besuara lagi, Â beny juga tidak, Â hanya karsa dan gilang yang masih belum betah pada kesunyian.
Sedangkan truk yang mereka tumpangi terus berjalan tak tau apa yang akan menghentikan. Truk pengangkut pasir yang sering melintasi desa, mereka sewa dengan harga sahabat , tidak mencari nyaman tentunya, Â hanya berharap sampai tujuan tanpa kehujanan.
**
" terimakasi banyak pak, semoga selamat sampai tujuan, "
Setibanya dikota , dipinggir jalan dekat dengan stasiun kereta dan pemberhentian bus---sesuai perjanjian mereka harus turun.
Dan truknya juga harus berjalan lagi pada tujuan mereka.
Mereka perlu mencari alamat yang diberikan sero, teman karsa si pemilik studio.
Sungguh baik anak itu, Â dia berikan tiga alamat dari produser besar---katanya---
Mereka tidak bertanya dari mana sero dapatkan alamatnya, tidak pantas curiga pada kebaikan orang, Â apalagi sero bukan sekali berbuat baik pada mereka.
" ini bukan alamatnya? "
Gilang berhenti tepat diseberang jalan.
Didepan ada gedung tinggi besar, berlipat-lipat tingginya dari pohon kelapa yang sering dipanjatnya dan lebih megah dari balai desa.
"iya betul, Â sesuai yang dituliskan"
Beny melihat sekilas kertas kecil pemberian sero. " tunggu apa lagi!"
Semangat mendorong mereka tak mau menunggu---memasuki gedung dengan deretan dinding kaca dan berhalaman seluas sawah milik pak kades itu.
" maaf, Â kalian mau cari siapa dan ada keperluan apa?"
Tanya seorang dengan seragam putih ketat yang menampakkan tubuh besar,dengan ototnya yang diperas kering--- tambah seram lagi dengan kumis tebal yang melingkar di bibir sampai dagunya,serupa fosil ulat bulu ;lebat dan menggatalkan.
" kami ingin mencari pemilik gedung ini pak, kami ingin menjual rekaman musik kami, "
" namanya siapa?"
" nama saya karsa pak, "
" bukan nama kamu!!, Â nama orang yang kalian cari, "
Jawaban karsa sedikit membuat bapak itu mengerutkan alis---matanya seraya ingin keluar dan kumisnya bergetar lunglai sehabis membentak.
Mereka semua saling pandang, Â kerena sero tak memberikan nama,dia hanya memberikan alamat---jika mengambil pilihan untuk menebak, Â kemungkinannya adalah 0,01 %, itupun jika dihitung kalau mereka tau nama-nama pekerja disana.
"maaf pak---"
Beny melirik karsa.
" kami tidak tahu namanya, yang diberi tahu dia seorang produser musik---kata teman kami"
Beny menjelasakn dengan hati-hati, agar tak menbutanya kesal lagi dan harap-harap dipersilahkn masuk.
Ada jeda beberapa detik atau menit mungkin untuk bapak itu bersuara lagi, Â dan menenangkan kumis-kumisnya.
" yasudah, kalian masuk kedalam dan tanya pada reception , dia akan mengatar kalian."
Pintanya mengarahkan telunjuk pada jalan yang harus diambil---yang mungkin adalah pintu masuk berada.
" reception itu orang mana pak ?"
Celetuk karsa , dengan inisiatif bertanya yang tidak pada waktunya.
dan bapak itu hanya mendengus kesal ---lagi kumisnya bergetar lebih kencang, Â seperti dihantam gempa dengan skala besar.
Untung saja very cepat menarik karsa sebelum kumis kumis itu lepas dari sarangnya dan menyengat.
Didalam ada lagi seorang lelaki gagah menghampiri. Berseragam lebih rapi, berkemeja, jas dan celana hitam, dan sepatu yang begitu berkilau---entah berapa kali dibilas untuk dapat kilaunya.
" permisi pak, Â kami ingin bertemu dengan pak produser"
Kata beny , dia memberi salam namun tak dibalas, tangan itu membusuk dikerumunin lalat.
Orang itu hanya diam, di jas bagian dada sebelah kiri ada sebuah tulisan " rendy" ---namanya mungkin.
Dia tak berhenti menatap,  dari bawah naik pelan  keatas,  kebawah lagi,  lagi-lagi keatas---dari mereka berempat tak ada yang tau apa yang dia cari.
" tunggu disini, Â jangan tatap barang apapun apalagi mencoba disentuh. "
Akhinya dia membuktikan diri bisa bicara, Â namun sekali bicara sangat menyakitkan---
Apa pikirnya tampang beny dan yang lain sepencuri itukah.
Ketika sudah cukup jauh, Â terlihat dia merogoh saku, Â mengambil hp---tampak dia menghubungi seseorang.
Dan dari obrolan dengan seseorang itu, Â entah dia sengaja atau dia tidak tahu suaranya terdengar--- begitu kentara dia menjelek-jelekkan beny dan yang lain, Â baik dari penampilan, Â pakaian, Â rambut, Â kulit, Â bahkan mata sipit karsa tak luput.
" apa masalah dia itu! "
Ujar karsa, Â tesinggung.
Namun tidak lama dia kembali, berjalan seakan ada mahkota dikepalanya---tak mau menuduk barang sebentar.
"kalian tidak diizinkan masuk, Â silahkan pergi sekarang!! "
Tanpa adanya sebab akibat atau penjelasan---tapi mereka diusir,
Bahkan dengan suara tergesa-gesa.
" kenapa pak!! Apa alasan kami tidak mendapat ijin? "
Suara very sedikit tinggi,menekan, Â dan memaksa, Â membuat sejajar dengan lawan bicaranya---bahkan tatapannya tak lepas dari pria lebih tinggi sejengkal darinya itu.
" saya bilang tidak ya tidak ,"
Dia tidak mau kalah " tidak perlu ada alasan! "
" sudah ver kita pergi saja, Â masih ada tempat lain yang bisa kita tuju, "
"iya ver, Â jangan membuat masalah disini."
Gilang menengahi membantu beny untuk menenangkan very.
Suka atu tidak mereka jelas harus segera keluar dari sana, Â karena izin tidak mereka kantongi, ditambah mereka tidak kenal denga siapa produser itu---untuk berharap belas kasihan itu tak mungkin.
Percobaan pertama sangat buruk---yang ada dibenak mereka semua.
Tapi masih ada dua kesempatan lagi, " kali ini tak boleh gagal" ujar karsa
Dengan bekal tekad mereka kembali mencari alamat kedua mengikuti petunjuk dari kertas kecil  pemberian sero.
Ternyata pencariannya tidak susah, Â alamat itu dekat , hanya beberapa meter saja ---mungkin ini salah satu kemudahan dari tuhan, dengan sisanya akan mereka terima lagi nanti.
**
" sialan!!, Â mereka semua sama saja, coba tidak ada pembatas itu, Â sudah kupukul dia."
Kali ini very  kesal sungguhan. Mungkin darahnya sudah mendidih, melumatkan tulang, daging dan syaraf warasnya.
Bukan tanpa alasan, Â tempat kedua nyatanya serupa dengan yang pertama---lebih buruk lagi, Â mereka bukan hanya tidak bisa memasuki gedung, tapi melewati gerbang pun tidak diperbolehkan.
Dengan tambahan dihina langsung didepan muka ---pria berjas tadi lebih baik kiranya, dia hanya bicara dibelakang.
Dan hanya satu alasan kenapa very tak bisa memukulnya, hanya karena gerbang pembatas itu, Â jika tidak mungkin hal yang sulit digambarkan akan terjadi.
" sudah ver, "
Beny merangkulnya "kita lanjut jalan lagi, Â masih ada satu tempat yang perlu kita datangi."
Senyumnya tidak kehilangan harapan, Â pribadinya yang selalu optimis dalan keadan apapun adalah obat untuk para sahabatnya.
" kau selalu saja begitu---amarah juga perlu dilampiaskan ben," percikan api kekesalan itu sedikit meredup,
" jika dipendam terus, itu bisa saja membunuhmu."
Tegas very, Â dan jika ada yang menyulut percikan itu lagi, entah akan membakar dirinya atau semua orang yang dekat.
Tidak ada debat lagi yang keluar setelahnya,entah hasilnya mereka sutujui atau tidak,karena malam sudah mulai ingin mengambil giliran, Â mereka harus terburu sampai tempat yang terkahir--- harapan terakhir.
Untuk sampai tak sederhana seperti tempat yang sudah sudah. Mereka harus turun naik bus ,ikut merasakan jebakan kota---dengan kemacetannya,
Menikmati teriakan-teriakan sumbang dari pertengkaran antara pedang di sepanjang lampu merah,
Teriakan dari seorang yang kesal karena jalannya dipotong sembarangan.
Semua orang berteriak,semua tentang teriakan, Â seakan masalah akan selesai dengan teriakan ,bahkan kendaraan roda dua, tiga, Â pun empat ikut menyalak --- tanpa henti klakson sahut-sahutan dari seberang jalan.
" ini yang terakhir,"
Pada akhinya mereka menemukan tempat itu sebelum gelap benar benar tiba,
" semoga keberuntungan dipihak kita."
Beny berjalan memimpin didepan, Â karsa dan gilang memberi perhatian pada very---dia bisa kapan saja melempar bom waktu disini.
Setelah dijelaskan maksud kedatangan dengan baik oleh beny, Â pekerja disana juga membalas sopan, tidak ada omongan dibelakang atau hinaan didepan muka--- pertanda baik pikir mereka.
" aku sudah katakan, kesabaran selalu berbuah manis."
Ujar beny, duduk disofa coklat,lembuk dan tebal yang berada di ruang tunggu ---lebih nyaman dari tempat tidurnya---disana mereka diminta menunggu giliran temu oleh seorang stafnya.
" kau benar ben, Â aku sudah tidak sabar, lagu kita akan dipasarkan dan didengarkan semua orang."
Timpal gilang, memangku ukulele dikedua tangan, pandangannya tak mau jatuh dari jam dinding didepan---dimana sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit.
"dan hidup akan segera berubah tentunya."
Begitu pula karsa tangannya tak bisa dibuat diam--- gemetar, entah terlalu semangat atau gugup atau kerena tahi lalat pada sela jari-jarinya.
" kita lihat saja, Â jika yang ini juga sama, Â kalian jangan hentikan aku. "
Very belum sudi melepas amarahnya, Â tak hilang dari matanya kebencian itu.
Bahkan terlihat ia pelihara baik.
Ketiga sahabatnya dibuat cemas, Â karena hasil dari amarah very tidaklah pernah baik untuk mereka pun semua orang.
Tak lama menunggu ---akhirnya mereka diminta masuk. Perempuan ramah didepan membukakan pintu kaca tebal itu, dan mereka masuk melewatinya---tanpa lupa membalas keramahannya dengan senyuman.
Ruangan besar berhawana dingin, dengan banyaknya piagam menempeli dinding--- Â beny punya satu dirumahnya, Â hasil dia ikut lomba musik dikampung. Tanpa disangka mereka telah beridiri didalam, Â beratur seperti murid menerima rapot---kadang sesekali mata mereka menilik untuk mengagumi keantikan beberapa barang.
Didepan mereka ada dua sofa panjang saling menghadap dan dipisahkan meja bundar. dengan dua orang sepantaran umur ayah mereka, duduk menyilang  kaki dengan rokok di sela-sela jari ---mereka berikan tatapan ketika beny dan yang lain masuk.
Ada seorang lagi duduk dikursi berlengan, dibelakang meja--- terbuat dari kaca cukup tebal, berhiaskan beberapa bingkai foto, Â miniatur mainan dan ada beberapa lagi yang tidak mereka tahu namanya---terlalu banyak barang yang belum mereka kenal.
Orang ketiga itu hanya diam, tanpa menoleh, dia tampak sibuk dengan layar kecil didepan yang dia sentuh sentuh tak henti.
" permisi pak, kami ingin... ."
" rupanya benar kampungan. "
Diamnya nyatanya menyelidiki, tak ada sangka dia memotong ucapan beny dengan kalimat itu.
Bahkan beny harus mencerna sebentar apakah itu benar, Â atau kupingnya kebanyakn kotoran hingga salah mendengar.
" kalian tak punya malu?"
Pria ber-usia itu menedekat pada dua teman atau rekan kerjanya atau entah siapa---yang duduk disofa ---menyalakan sebatang rokok dan dengan sengaja membuat asap mengarah pada beny dan yang lainnya---meski tidak sampai.
" maksud bapak apa ?"
Ujar very masih dengan baik, tidak langsung lugas menaikkan nada suara--- namun tak benar-benar menghilangkan nada tegasnya.
" lihat kalian ini, Â datang seperti gembel, Â pakain compang camping---tidak pernah diganti? " matanya masih menyidik.
"rambut kusut, bau tidak karuan, sudah selayak penghuni selokan;tepatnya tikus selokan, apa kalian tidak berkaca sebelum berani masuk kesini."
Hinaan itu berlanjut menyamar dalam tawa mengejek, begitu keras, hingga bukan fisik lagi yang terluka namun hati yang disayat
" bisa bayangkan musik apa yang mungkin dibuat oleh gembel seperti kalian? "
Ujar temannya.
" kuwalitas sampah pastinya, tak mungkin mereka bisa membuat lagu---atau kiranya musik di kepala mereka adalah suara panci yang dipukul- pukul"
Dibalas lagi oleh teman satunya, saling bersahutan dan selepasnya selalu disambung dengan tawa yang keras.
Seakan beny dan yang lain adalah bahan humor bagi mereka---lelucon yang layak untuk ditertawakan.
" sialan!!! Â Mulut kalian sepertinya harus diberi pelajaran, Â "
Kemarahan very kini telah sempurna. Ditendangnya meja didepan itu, sampai membuat beberapa barang diatasnya jatuh, pecah, yang juga membuat tawa diwajah keriput itu hilang.
" ver, Â sudah cukup."
Ujar beny.
" jangan halangi!! ,atau kalain juga aku pukul." Â very bersikeras, mencoba melepaskan tangan beny, Karsa dan gilang---yang mencoba menenangkan.
Apa yang bisa membuat badai di lautan reda? hanya lautan itu sendiri.
Pun very dia tidak akan berhenti sebelum dia mau berhenti.
" dasar tikus perusuh , pergi!!! , pergi kalian dari sini sekarang, Â sebelum kesabaran saya habis dan mengusir kalian dengan paksa. "
Antara geram ingin memukul tapi tidak berani, Â bapak itu hanya menuang emosinya dalam teriakan.
Tangannya terangkat menunjuk kearah pintu keluar, dari matanya yang melotot seakan penuh dengan kata-kata cacian.
Sedangkan sisa tawa dari kedua temannya kini hanya tinggal senyuman---tentu bukan senyuman ramah.
"kaki ku tidak akan melangkah keluar dari pintu itu, sebelum kesarangkan pukulan pada wajah mereka!!"
Tangan very gemetar, tidak kuat manahan emosinya yang membeludak, Â kata-kata yang keluar itu seakan pasti dia lakukan---bukan lagi ancaman--- tanpa barang sedetikpun melepas pandangan dari ketiga pria ber-usia didepannya.
Seperti singa yang telah menandai mangsanya.
" permisi pak, Â anak pak roberto sudah tiba."
Perempuan yang sama tadi masuk, tanpa ketukan dipintu, Â tanpa juga peduli apa yang terjadi dia berikan informasi.
" owh iya, persilahkan masuk dan satu lagi panggil satpam kesini, "perintahnya.
 " baik pak."
 Perempuan itu pergi,  masih tanpa menoleh pada beny dan yang lain---seperti mereka tak pernah ada.
Setelah kekacauan yang dibuat very, Â pandangn ketiga orang itu sedikit melunak--- bisa dibilang takut , kerena mereka juga tampak menjaga jarak dari very yang berusaha ditenangkan.
" sudahlah ver, Â jangan kau buat masalah," beny memohon, "kita sudah kehilangan banyak, Â jangan kau tambah lagi. "
Sepertinya dia sudah tidak betah disana, selain tidak kuat lagi menahan very dengan emosinya, Â juga karena hinaan itu terus mendengung dikupingnya.
Dengan dibantu karsa dan gilang, diseretnya tubuh very.
"cari tempat asal kalian, tak pantas kalian berada disni, dasar gembell!! "
Tidak mau kiranya bapak itu kehilangan kesempatan untuk menghina---dia masih sisipkan cacian--- padahal beny sudah mengalah keluar.
Mungkin mereka akan berhenti jika kata makian itu telah mengupas tulang-tulang beny dan yang lainnya--- tanpa banyak yang mereka dapat perbuat, hanya bisa lenyap dibalik pintu kaca itu.
**
Di gang kecil yang berdekatan dengan tempat tadi, mereka berempat melampiaskan kecewa, Â kesal, Â marah, Â sedih, Â tak tahu jika dicampur dalam wajan akan jadi apa semua emosi itu---mungkin hidangan penuh kebencian.
Yang sangat jauh dari hayalan.
" brengsekkk!! Â Masih juga kalian hentikan aku, Â "
Malang nasib tembok didekat very itu, Â harus merasakan kerasnya hantaman. Â
Bahkan tembok bata itu bergetar, Â beberapa serpihan jatuh dikepalalnya.
Dan darah juga memebekas disana ---bekas luka ditangannya terbuka lagi.
" apa?, Â apa yang kau dapat jika pukul orang orang itu, Â lagu kita akan diterimanya? Tidak, Â yang ada mereka bisa penjarakan kau---Kau mendekam dipenjara sedangkan mereka leluasa tertawa, apa itu yang kau mau?"
Kecewa beny begitu kentara, bukan hanya pada orang orang itu, Â tapi juga pada dirinya, karena ketidak berdayaan ini.
Dipegangi pipi sahabatnya itu, Â mencoba membuat sadar kekerasan tak mampu selesaikan masalah.
" beginikah orang kota? Â seperti mereka tidak pernah mengenyam bangku sekolah, Â apa pantasnya merka duduk diukursi itu, "
Ujar karsa , kehilangan mimpi di awal percobaannya. Bukan, ini bukan awal namun bisa jadi yang terkahir, Â semua uang, Â semangat, Â kerja kerasnya hanya dibayar lunas oleh hinaan mentah---hanya sia sia.
Bukan karsa saja yang bertaruh segalanya pada mimpi ini, Â tapi semuanya, Â terutama beny. Â Dia menjual motor , tabungan terkuras habis--- melawan pada ibunya, Â satu satunya keluarga yang seharunya dia percaya dari awal.
beny teringat ucapan itu, Â suara ibunya sebelum ia putuskan berangkat kekota " mimpi orang desa seperti kita tak akan berharga bagi mereka nak, Â mereka hanya akan mengangap kamu sebelah mata."
Seharunya dia percaya itu, lebih baik
bertani didesa,hidup seperti orang biasa. dengan sepeda motornya saja dulu dia bisa bahagia.
" sebaiknya kita cari tempat istirahat untuk malam ini, Â aku rasakan susah jika kita pulang sekarang---jarang ada mobil lewat desa kalau malam selarut ini. "
Sisa suara beny yang keluar terserak lemas, Â sementara semangat dan optimisnya hilang dari mata coklatnya itu, namun masih dia paksakan untuk tidak juga mempengaruhi yang lain.
**
Mereka lupa akan waktu, Â entah sudah jam berapa, yang pasti sudah gelap gulita.
Langit tak memberi belas kasihan, Â cahaya bulan dan bintang pun ia sembunyikan.
Hanya lampu lampu jalanan yang membuat bayangan terlihat, namun tidak membuat arah menjadi jelas.
Pada emperan toko, di dinding besi yang dingin, alas yang keras, atap seng yang meringkik ditimpa angin, Â disanalah nasib mereka sekarang mengumpulkan sisa-sisa uang untuk makan hari ini dan pulang besok pagi.
Perut-perut itu tak mau diam barang sebentar---namun  mereka tidak salah ---dari siang belum dikasih makan, tentu mereka berteriak-teriak.
Dengan pembagian bijak mereka pisahkan uang itu, sedikit untuk makan malam ini sisanya untuk bekal pulang besok.
" biar aku dan karsa yang beli, kalian lelah, Â istiharatlah dulu. "
Ujar gilang,  mereka pergi  mencari makanan yang sekiranya murah, dan mengenyangkan untuk dapat tidur tanpa kelaparan malam ini.
Tersisa beny dan very yang duduk berjarak bayangan, namun saling berdiam diri ;tak ada kata yang keluar , tanpa juga saling bertatap---bisu dalam keramaian kota.
Namun tidak lama beny mencoba memulai.
" kau ingat pertanyaan kau siang tadi ver? ---apa keiingan ku setelah terkenal, "
Pandangan kusut beny mampu ditangkap oleh very, Â tidak ada beny yang dulu ia kenal didalamnya.
" kau tak perlu jawab ben, Â kau lihat sendiri kan,kita tak mungkin akan terkenal, "
" tapi aku ingin menjawabnya, "
Beny diam ---menatap jalanan menabung kata.
" aku dari dulu selalu ingin memiliki sebuah tempat--- tempat untuk mengajar  dan membuat anak- anak seperti kita setidaknya punya masa depan yang lebih baik ver, tidak lagi takut bermimpi atau ditertawakan karena memilikinya,"
Beny diam lagi, tampak air mata menggenang, menunggu jatuh.
"sebuah tempat  dimana aku dapat berbagi ver,  mendengar anak-anak itu bercerita mimpinya, medengar mereka bisa dengan lantang memberi tahu dunia, kalau mimpi orang desa juga sama berharganya. "
Sekarang giliran very yang terdiam, antara memilah kata untuk merespon atau dia  kehilangan kata itu disuatu tempat dikepalanya.
Tanpa disengaja air dimatanya muncul kepermukaan, namun dia masih mengelak dengan menyalahkan debu yang masuk.
" apa kau bisa wujudkan mimpi itu ver?"
" maksud kau apa ben?"
Very tak tahu kemana arah perbincangan ini.
" uang ku sudah habis ver, Â tak ada sisa.
Sekarang aku malu jika harus pulang bertemu ibuku seperti ini, aku rasa tak akan mampu wujudkan mimpi itu, "
Suara itu semakin layu, Â seperti kenanga yang tak disingghi hujan.
Dan dia masih bisa menahan air mantanya untuk tak jatuh
" bisa ben, kau bisa wujudkan mimpi itu---ada aku, kita wujudkan sama-sama. Â masalah ibu dan uang nanti aku temani kau bicarakan dengan ibu mu."
Untuk pertama kali kata yang keluar dari mulut very sedikit bijak, selebihnya biasanya hanya umpatan amarah.
Dia rangkul beny---sedikit aneh dan janggal---namun dia simpan dulu gengsi itu.
Lebih penting sekarang adalah mengembalikan semangat sahabatnya.
" sudah ben, kau jangan buat aku menangis disini--- aku akan cari air dulu agar kau bisa tenang, "
Very beranjak melepas rangkulannya, namun sebelum itu ditahan oleh beny.
" kau janji ya ver ,"
" tentu, Â kapan aku pernah khianti omongan ku sendiri, "
" terimakasi  ver, aku bisa lega sekarang. "
Mendengarnya beny tersenyum lagi, sekarang beny yang dulu ada dalam senyum itu---lebih lepas, seakan dia telah melepaskan semua,hingga menyisa kebahagian dalam lengkung bibirnya.
Keramain kota tak juga reda, semakin gelap semakin berisik kota ini, sangat jauh dengan didesa yang setelah sisa cahaya mentari terakhir orang-orang sudah akan meringkuk diranjang mereka---
Hanya terdenger suara jangkrik menggelar pesta.
Dikota ini waktu tak luput diubahnya,  siang adalah waktu  mereka tidur dan malam adalah untuk bangun.
Truk-truk besar melintas, berisikan berton-ton barang, bahkan mobil yang hampir seukuran truk itu sendiri mampu diangkutnya, bus juga sama; tanpa memandang apakah muat atau tidak asalakan masih ada tempat, mereka akan naikkan penumpang---meski harus duduk diatapnya.
Disini kehereran itu telah menjadi biasa,
Orang tak lagi peduli dengan hal-hal kecil---mereka begitu menyibukkan diri dengan hidup masing-masing.
Dikeramaian yang tadinya normal menjelama semakin padat,orang-orang berlari, Â berterik---mobil diam tak lagi berjalan.
Mereka menuju satu titik, dipinggiran jalan, beberapa meter dari emperan toko --- dimana empat sahabat itu akan istirahat.
"permisi buk, keramaian apa ya disana?"
Tanya very, Â setelah membeli air, dia tak sengaja melihat ibuk-ibuk datang dari arah kerumunan itu.
" itu nak, Â ada yang bunuh diri---ditabrak mobil"
Ibu itu mencoba mengatur nafas untuk bercerita, terlihat juga dia menahan mual.
" mari nak, Â ibu tidak kuat melihatnya, "
" iya buk, Â terimakasi ."
Very dibuat penasaran, kakinya tanpa diminta menuju keramaian itu. Â
Dia mencoba melihat dari balik punggung orang-orang , menggeser, Â mendorong untuk dapat melihat apa yang terjadi.
Namun begitu sulit karena semua orang berdesak---tak mau kalah.
Yang pada akhirnya membuat very menyerah pada rasa penasarannya.
Tapi ketika dia berjalan menjauh , ada sesuatu yang tidak asing dia temukan, Â sesuatu yang sangat dia kenal ---sebelah sendal beny--- berisi bercakan darah.
Very melihat kearah beny terakhir ia tinggalkan---beny tidak ada disana.
" permisi!!! "
" permisii!! "
Very belari lagi pada keramaian itu, , menyingkirkan orang yang berkumpul dengan paksa, Â
"maaf, permisi! "
Dia hanya berharap pikirannya salah .
Namun tidak ---apa yang dia pikiran benar---
Itu adalah beny.
" bennnnn!! "
Very berlutut meraih sahabatnya yang sudah berlumuran darah---hampir semua tubuhnya penuh dengan darah.
" ben, Â bangun ben, Â kau jangan bercanda!"
Diguncang-guncangkannya tubuh beny, Â namun tidak banyak membantu.
Diceknya detak nadi---jatungnya tak lagi betedak--- Â semakin jadi tangis very diatas tubub sahabatnya, terisak-isak tangis tumpah begitu saja, tidak lagi peduli gengsi atau mata yang memandangi.
" ben, tega kau tinggalkan aku ben? bagaiman mimpimu, Â mimpi kita, semua cerita yang belum kita wujudkan,"
Dirangkulnya wajah beny dalam pelukan---wajah itu masih tersenyum seperti ia lihat beberapa menit lalu.
"siapa lagi yang akan menenangkanku ben---tak ada."
Pelukan very semakin erat didalam
darah dan air mata yang tak lagi bisa kenali, menyatu dan jatuh membuat jalannya sendiri.
Kenangan-kenangan yang melintas membuat kehilangan itu semakin menyayat.
Dalam air mata yang penuh teriakan,
Dan bibir yang diam---luka itu bersembunyi--- Tanpa ada pelampiasan karena kematian tidak berwujud.
Mimpi itu telah kehilangan satu lengannya,
Maka dia tak akan lagi menjadi sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H