" kau selalu saja begitu---amarah juga perlu dilampiaskan ben," percikan api kekesalan itu sedikit meredup,
" jika dipendam terus, itu bisa saja membunuhmu."
Tegas very, Â dan jika ada yang menyulut percikan itu lagi, entah akan membakar dirinya atau semua orang yang dekat.
Tidak ada debat lagi yang keluar setelahnya,entah hasilnya mereka sutujui atau tidak,karena malam sudah mulai ingin mengambil giliran, Â mereka harus terburu sampai tempat yang terkahir--- harapan terakhir.
Untuk sampai tak sederhana seperti tempat yang sudah sudah. Mereka harus turun naik bus ,ikut merasakan jebakan kota---dengan kemacetannya,
Menikmati teriakan-teriakan sumbang dari pertengkaran antara pedang di sepanjang lampu merah,
Teriakan dari seorang yang kesal karena jalannya dipotong sembarangan.
Semua orang berteriak,semua tentang teriakan, Â seakan masalah akan selesai dengan teriakan ,bahkan kendaraan roda dua, tiga, Â pun empat ikut menyalak --- tanpa henti klakson sahut-sahutan dari seberang jalan.
" ini yang terakhir,"
Pada akhinya mereka menemukan tempat itu sebelum gelap benar benar tiba,
" semoga keberuntungan dipihak kita."
Beny berjalan memimpin didepan, Â karsa dan gilang memberi perhatian pada very---dia bisa kapan saja melempar bom waktu disini.
Setelah dijelaskan maksud kedatangan dengan baik oleh beny, Â pekerja disana juga membalas sopan, tidak ada omongan dibelakang atau hinaan didepan muka--- pertanda baik pikir mereka.
" aku sudah katakan, kesabaran selalu berbuah manis."
Ujar beny, duduk disofa coklat,lembuk dan tebal yang berada di ruang tunggu ---lebih nyaman dari tempat tidurnya---disana mereka diminta menunggu giliran temu oleh seorang stafnya.
" kau benar ben, Â aku sudah tidak sabar, lagu kita akan dipasarkan dan didengarkan semua orang."
Timpal gilang, memangku ukulele dikedua tangan, pandangannya tak mau jatuh dari jam dinding didepan---dimana sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit.
"dan hidup akan segera berubah tentunya."
Begitu pula karsa tangannya tak bisa dibuat diam--- gemetar, entah terlalu semangat atau gugup atau kerena tahi lalat pada sela jari-jarinya.
" kita lihat saja, Â jika yang ini juga sama, Â kalian jangan hentikan aku. "
Very belum sudi melepas amarahnya, Â tak hilang dari matanya kebencian itu.
Bahkan terlihat ia pelihara baik.
Ketiga sahabatnya dibuat cemas, Â karena hasil dari amarah very tidaklah pernah baik untuk mereka pun semua orang.
Tak lama menunggu ---akhirnya mereka diminta masuk. Perempuan ramah didepan membukakan pintu kaca tebal itu, dan mereka masuk melewatinya---tanpa lupa membalas keramahannya dengan senyuman.
Ruangan besar berhawana dingin, dengan banyaknya piagam menempeli dinding--- Â beny punya satu dirumahnya, Â hasil dia ikut lomba musik dikampung. Tanpa disangka mereka telah beridiri didalam, Â beratur seperti murid menerima rapot---kadang sesekali mata mereka menilik untuk mengagumi keantikan beberapa barang.
Didepan mereka ada dua sofa panjang saling menghadap dan dipisahkan meja bundar. dengan dua orang sepantaran umur ayah mereka, duduk menyilang  kaki dengan rokok di sela-sela jari ---mereka berikan tatapan ketika beny dan yang lain masuk.
Ada seorang lagi duduk dikursi berlengan, dibelakang meja--- terbuat dari kaca cukup tebal, berhiaskan beberapa bingkai foto, Â miniatur mainan dan ada beberapa lagi yang tidak mereka tahu namanya---terlalu banyak barang yang belum mereka kenal.
Orang ketiga itu hanya diam, tanpa menoleh, dia tampak sibuk dengan layar kecil didepan yang dia sentuh sentuh tak henti.