" permisi pak, kami ingin... ."
" rupanya benar kampungan. "
Diamnya nyatanya menyelidiki, tak ada sangka dia memotong ucapan beny dengan kalimat itu.
Bahkan beny harus mencerna sebentar apakah itu benar, Â atau kupingnya kebanyakn kotoran hingga salah mendengar.
" kalian tak punya malu?"
Pria ber-usia itu menedekat pada dua teman atau rekan kerjanya atau entah siapa---yang duduk disofa ---menyalakan sebatang rokok dan dengan sengaja membuat asap mengarah pada beny dan yang lainnya---meski tidak sampai.
" maksud bapak apa ?"
Ujar very masih dengan baik, tidak langsung lugas menaikkan nada suara--- namun tak benar-benar menghilangkan nada tegasnya.
" lihat kalian ini, Â datang seperti gembel, Â pakain compang camping---tidak pernah diganti? " matanya masih menyidik.
"rambut kusut, bau tidak karuan, sudah selayak penghuni selokan;tepatnya tikus selokan, apa kalian tidak berkaca sebelum berani masuk kesini."
Hinaan itu berlanjut menyamar dalam tawa mengejek, begitu keras, hingga bukan fisik lagi yang terluka namun hati yang disayat
" bisa bayangkan musik apa yang mungkin dibuat oleh gembel seperti kalian? "
Ujar temannya.
" kuwalitas sampah pastinya, tak mungkin mereka bisa membuat lagu---atau kiranya musik di kepala mereka adalah suara panci yang dipukul- pukul"
Dibalas lagi oleh teman satunya, saling bersahutan dan selepasnya selalu disambung dengan tawa yang keras.
Seakan beny dan yang lain adalah bahan humor bagi mereka---lelucon yang layak untuk ditertawakan.
" sialan!!! Â Mulut kalian sepertinya harus diberi pelajaran, Â "
Kemarahan very kini telah sempurna. Ditendangnya meja didepan itu, sampai membuat beberapa barang diatasnya jatuh, pecah, yang juga membuat tawa diwajah keriput itu hilang.
" ver, Â sudah cukup."
Ujar beny.
" jangan halangi!! ,atau kalain juga aku pukul." Â very bersikeras, mencoba melepaskan tangan beny, Karsa dan gilang---yang mencoba menenangkan.
Apa yang bisa membuat badai di lautan reda? hanya lautan itu sendiri.
Pun very dia tidak akan berhenti sebelum dia mau berhenti.
" dasar tikus perusuh , pergi!!! , pergi kalian dari sini sekarang, Â sebelum kesabaran saya habis dan mengusir kalian dengan paksa. "
Antara geram ingin memukul tapi tidak berani, Â bapak itu hanya menuang emosinya dalam teriakan.
Tangannya terangkat menunjuk kearah pintu keluar, dari matanya yang melotot seakan penuh dengan kata-kata cacian.
Sedangkan sisa tawa dari kedua temannya kini hanya tinggal senyuman---tentu bukan senyuman ramah.
"kaki ku tidak akan melangkah keluar dari pintu itu, sebelum kesarangkan pukulan pada wajah mereka!!"
Tangan very gemetar, tidak kuat manahan emosinya yang membeludak, Â kata-kata yang keluar itu seakan pasti dia lakukan---bukan lagi ancaman--- tanpa barang sedetikpun melepas pandangan dari ketiga pria ber-usia didepannya.
Seperti singa yang telah menandai mangsanya.