Mentari bukan anak kemarin sore. Ibunya mengerti peristiwa hari ini adalah peristiwa kesekian yang olehnya juga dirancang. Sejak gagalnya hubungan beda iman belasan tahun lalu, Mentari seolah enggan membuka kembali hatinya, bahkan cenderung menjadi wanita keras kepala yang susah dimasuki oleh siapapun.
Perlu proses yang tidak sebentar untuk berdamai dengan dirinya.
"Bu, besok sekitar pukul 09.00, Mentari ijin ya untuk bertemu kawan di Papandayan. Sebentar..."
"Lama juga tidak apa, Nak." Ibu Rahutami menepuk paha Mentari lembut.
"Mbok, iki gedhang Kepok, ta?"
"Njih leres, Bu..."
Mentari menikmati obrolan Ibu dan Mbok Tirah, sambil menerawang apa yang akan terjadi esok hari bersama Ganesha, cowok menyebalkan yang songong itu.
***
Jam analog di pergelangan kanan tangan Mentari menunjukkan pukul 09.38. 22 menit lagi jam operasional resto baru buka dan berjumpa dengan orang yang menyebalkan dan tengil itu.
Menyebalkan? Tengil? Benarkah? Jika demikian kenapa Mentari nurut untuk datang dan memenuhi permintaan cowok itu. Cowok itu seolah memiliki tuah yang dapat membuat Mentari jadi patuh.
Sebuah resto yang estetik, yang main menunya es krim. Eksterior resto yang sangat indah. Batu alam di tembok bagian luar resto. Hijau tumbuhan nampak kontras dengan penataan ruang. Bagus. Mentari masih duduk di dalam mobil, mobil Ganesha belum tiba. Lumayan ada bahan untuk ngebully dia.