Cerita sebelumnya.....
Sambil mengulurkan tangannya, "Sorry yang kemarin... ospek!" Mata Ganesha menjadi lebih jenaka.
Mentari bingung dibuatnya. Hari itu dia menggunakan celana olahraga pendek berwarna khaki dan kaos putih. Sneakers buatan dalam negeri.
"Gak lucu!" Mentari menampik uluran tangan Ganesha.
"Minggir, gak? Pilih kutendang atau kuinjak!"
Posisi tangan Ganesha memang di posisi yang membuat Mentari tidak nyaman. Tangan itu seperti hendak merengkuhnya.
"Janji dulu, besok pukul 09.30 datang ke Papandayan. Aku lepas!"
"Aneh! Ada kewajiban apa untuk nurut pada Anda?"
"Fine, gak ada pilihan..." Ganesha bergeming.
"Lepas...!"
"Janji, besok 09.30 di Papandayan! Anda berhutang pada ini...!" Ganesha menunjuk mobilnya.
"Ok, lepasin...!"
***
Mentari berlari kecil setelah adegan itu. Ecosport titaniumnya menjadi shelter terbaik, melindungi dari semua rasa yang dia tahan. Mobilnya dipacu dengan cukup kencang senada dengan degup jantungnya. Terlihat buliran keringat menetes pelahan di kening kanan Mentari.
Adegan beberapa menit yang mengubah situasi hati dan perasaan dia pagi itu. Tangan yang memegang kencang kemudi basah berkeringat. "Ya, Tuhan, apa ini?" Mentari mengambil beberapa lembar tissue wajah dan mulai menenangkan diri.
Ada sesuatu yang aneh yang dia dia rasakan di dalam batinnya. Berusaha untuk menenangkan diri, mengucapkan rapal Doa Bapa Kami. Spontan, mengalir. Tidak pernah seaneh ini. Sepasang mata itu seolah mengikuti Mentari. Mentari berjuang untuk mengusirnya!
Beberapa saat kemudian suara notifikasi pesan berbunyi. Nomor tak dikenal berisi foto lokasi dan bertuliskan 09.30 tepat, di sini. Â "Orang itu lagi!", Mentari berbisik.
Mentari melambatkan laju mobilnya, lalu kemudian menghentikannya, di tepi Jalan Telaga Bodas. Pohon-pohon besar itu memberikan efek segar bagi 'hatinya' yang sedang gak karuan. Rasa itu aneh sekali, kesal tetapi ada semburat rasa yang berlawanan, tetapi juga ingin diusirnya jauh.
Tak terasa, air mata itu menetes, semakin deras. Tak disekanya dibiarkan mengalir.
***
Langkah gontai Mentari memasuki halaman rumah Ibu Rahutami.
"Ndhuk, sudah pulang?"
"Sudah, Bu. Mentari mandi dulu ya, Bu." seraya mencium tangan Ibunya, Mentari berjalan menuju bagian tengah rumah yang sejuk dan asri itu.
Ibu Rahutami seolah mengerti ada sesuatu yang berbeda dari Mentari. Mbok Tirah dari kejauhan mengangguk pada Ibu Rahutami seolah keduanya menyiratkan pikiran yang sama.
Dua ketukan di pintu kamar Mentari, memecah keheningan rumah nomor 77 A itu.
"Mbak, minum wedang jahe dulu, ya. Mbok sudah buatkan yang sapisial, hehe."
"Njih, Mbok Tirah. Terima kasih, sapisialnya, hehe." Mentari muncul dengan membukakan pintu kamarnya. Kepalanya terbungkus handuk merah. Dia melangkah keluar sambil membawa cangkir keramik berisi wedang jahe gula aren buatan Mbok Tirah.
Mentari menyeruput sedikit wedang beraroma pekat jahe itu.
Mata Mentari menyapu halaman belakang rumah. Sambil menikmati kesejukan suasana pagi jelang siang itu. Satu per satu tanaman di depan pandangannya dinikmatinya. Ibunya sangat menyukai dunia tanaman.
Mulai tanaman obat hingga tanaman hias ada di sana. Hijau dan berwarna-warni, koleksi tanaman kesukaan Ibu.
Beberapa di samping rumah ada tanaman buah. Jambu, Jeruk, Srikaya, ada Jambu Air juga. Tanaman-tanaman itu belum lama, kisaran empat tahun lalu baru ditanam. Beberapa sudah bisa diicipi buahnya.
Buah karya tangan dingin, Ibu.
Sentuhan tangan di pundak Mentari membuyarkan lamunannya.
"Ono sing mbok pikir, Ndhuk?"
"Mboten wonten, Ibu.."
Senyuman Ibu terlihat mengembang. Mentari membalas tersenyum.
"Udah hampir 38 tahun jadi anak Ibu. Ibu jauh lebih pintar, dong. Ibu tau."
Mentari tertawa menanggapi jawaban Ibu yang setengah percaya menanggapi jawaban anak sulungnya.
Mbok Tirah tetiba muncul sambil membawa piring coklat berisi pisang goreng buatannya.
"Nih, kesukaan Mbak Mentari. Sapisial lagii, Mbok buat. Ini tadi adonan tepungnya dicampur dengan gula aren dan esen kayu manis."
"Wah, Mbok Tirahhh aku padamuuuu...."
Mentari nyomot satu buah pisang dan mulai melahapnya. Jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul 11.27. Ketiganya lebur menikmati hangat pisang goreng. Ada renyah tawa Mentari yang lama dirindukan oleh Ibu.
Perempuan 37 tahun jalan itu sangat tertutup pada Ibunya. Namun demikian kasih sayang Ibu Rahutami seolah mampu menembus semua pikiran Mentari. Semua, tanpa terkecuali.
Mentari bukan anak kemarin sore. Ibunya mengerti peristiwa hari ini adalah peristiwa kesekian yang olehnya juga dirancang. Sejak gagalnya hubungan beda iman belasan tahun lalu, Mentari seolah enggan membuka kembali hatinya, bahkan cenderung menjadi wanita keras kepala yang susah dimasuki oleh siapapun.
Perlu proses yang tidak sebentar untuk berdamai dengan dirinya.
"Bu, besok sekitar pukul 09.00, Mentari ijin ya untuk bertemu kawan di Papandayan. Sebentar..."
"Lama juga tidak apa, Nak." Ibu Rahutami menepuk paha Mentari lembut.
"Mbok, iki gedhang Kepok, ta?"
"Njih leres, Bu..."
Mentari menikmati obrolan Ibu dan Mbok Tirah, sambil menerawang apa yang akan terjadi esok hari bersama Ganesha, cowok menyebalkan yang songong itu.
***
Jam analog di pergelangan kanan tangan Mentari menunjukkan pukul 09.38. 22 menit lagi jam operasional resto baru buka dan berjumpa dengan orang yang menyebalkan dan tengil itu.
Menyebalkan? Tengil? Benarkah? Jika demikian kenapa Mentari nurut untuk datang dan memenuhi permintaan cowok itu. Cowok itu seolah memiliki tuah yang dapat membuat Mentari jadi patuh.
Sebuah resto yang estetik, yang main menunya es krim. Eksterior resto yang sangat indah. Batu alam di tembok bagian luar resto. Hijau tumbuhan nampak kontras dengan penataan ruang. Bagus. Mentari masih duduk di dalam mobil, mobil Ganesha belum tiba. Lumayan ada bahan untuk ngebully dia.
Ketukan kaca mobil di bagian belakang membuat Mentari memutar badannya. Ternyata Ganesha. Tumben dia gak menggunakan mobilnya.
Mentari membuka pintu mobil. "Aku lebih dulu datang.." Mentari memulai pembicaraan dengan nada ketusnya.
"Saya tidak punya banyak waktu. Minta tolong tidak usah bertele-tele!"
Masih judes dan galak Mentari menanggapi Ganesha.
Ganesha bukan marah atau jengkel, wajahnya semakin terlihat jenaka. Tidak seperti hari kemarin.
"Mari..." Ganesha menggandeng tangan Mentari dengan bebas.
"Ih, orang ini!" Mentari makin sewot dan berusaha untuk melepaskan genggamannya.
Beberapa pelayan sudah rapi menyambut tamu. Mentari urung melakukan gerakan untuk melepaskan genggaman Ganesha dan memilih untuk mengikuti langkah Ganesha.
"Pak Ganesha? Sudah reservasi tempat ya, Pak?"
"Benar.."
Pelayan menunjukkan tempat di mana kami bisa melihat pemandangan yang cukup menyenangkan.
Kami duduk berhadapan. Ganesha menyodorkan menu.
Aku memesan Choco Nougat dengan Cashew. Ganesha memesan Vanilla Cookie.
"Julian Ganesha Sembiring..." Ganesha memerkenalkan dirinya dengan resmi tetapi dengan wajah yang sangat jenaka. Aku tidak menanggapi uluran tangannya.
"Mentari, aku minta maaf. Sikapku tidak selayaknya kemarin. Mari rekonsiliasi."
"Maaf, Ganesha. Apa maksudmu? Mengapa minta maaf?"
"Entah, aku tidak sepantasnya melakukan itu padamu... Aku bilang kemarin ospek, kan...?"
"Perlakuanku kemarin tidak pantas, tetapi tanggung jawabmu terhadap mobilku masih berlaku....."
"Berapa?" Mentari dengan cepat meluncurkan kalimat yang sepertinya belum selesai.
"Nah, ini lho. Semua bisa selesai dengan uangmu, ya?"
"Ganesha, aku tidak mau main-main. Seriuslah, aku tidak punya banyak waktu. Selesaikan segera."
Ganesha memandangku dengan tajam tapi penuh dengan kharisma teduh. Mengapa wajahnya tegas tetapi juga menenangkan.
"Mentari, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Mari ikut denganku Kamis depan. Bersamaku."
Kata-kata dan wajah itu membuat Mentari jadi salah tingkah. Pandangan mata Ganesha yang tajam dan fokus membuat Mentari tidak bisa menolak.
"Berikan alamatmu..."
Mentari masih diam tidak menanggapi permintaan Ganesha.
"Mentari, berikan alamatmu. Kamis depan aku jemput.."
"Permisi, Pak Ganesha. Ini pesanannya.... "
Pelayan resto menyelamatkan sesi yang gak karu-karuan (sesi dua itu) untuk Mentari. Dua cup es krim sudah tersaji di atas meja.
"Mas, minta tolong ada kertas dan bolpoin?"
"Oh ada, Pak. Sebentar saya ambilkan.."
"Terima kasih, Mas."
"Kamis depan aku jemput, aku akan minta ijin Mama."
Mentari terkejut, Ganesha seolah mengenal Ibu Rahutami dengan baik. Koq bisa? Ada apa?
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H