"Kamu aneh, tadi senyum-senyum sendiri, kemudian diam nampak ketakutan, ada apa denganmu?" tanyanya memecah diam kami.
Aku tersenyum menatapnya dan mengelus telapak tangannya yang ada dalam genggamanku.
"Aku bahagia karena sudah bersamamu dan bisa selalu berada di dekatmu," kataku.
"Maaf, lepaskan tanganku, karena aku harus konsentrasi menyetir," katanya sambil menarik tangannya dengan lembut, "nanti kalau tiba-tiba ada mobil dari depan, akan berbahaya," lanjutnya menerangkan.
Aku membiarkan tangan kokoh itu lepas dan menjauh dariku. Aku diam. Tiba-tiba telapak tangannya mengelus kepalaku. Aku menoleh padanya dan tersenyum. Dia letakkan punggung jari tengahnya ke pipiku dan mengelus pipiku dengannya. Mata kami beradu.
Dia kembali mengalihkan konsentrasinya ke kemudi. Membelokkan mobilnya memasuki halaman yang luas. Ada sebuah rumah yang besar di sana. Terang rumah itu, di dalam maupun di luar rumah. Ada beberapa mobil di sana. Ada yang keluar dari pintu rumah itu, berdua, pria dan wanita. Mereka tersenyum bersama sambil bercakap-cakap. Usia mereka sudah matang, antara tiga puluh hingga empat puluh tahun. Mungkin mereka suami istri. Atau mereka sedang berpacaran. Ini hari Jumat malam, besok weekend, dan orang-orang di sini tidak bekerja pada waktu weekend, kecuali orang-orang yang bekerja dengan sistem shift.
"Ayo kita makan dulu," katanya setelah selesai memarkirkan mobilnya.
Day 5 of 30
Kami turun dari mobil dan menyusuri jalan menuju pintu masuk rumah itu. Ternyata pintu masuknya ada beberapa dan suamiku menuntunku mengelilingi halaman, memilih pintu masuk dari depan. Dia membukakan pintu untukku dan aku masuk. Dia membuka pintu lagi, dan aku masuk lagi. Ada dua pintu. Dan ternyata luas tempat makannya. Begitu privat. Sinar lampunya tak seterang sinar lampu di rumah makan-rumah makan Indonesia. Entah mataku yang sudah mulai rabun karena malam dan lapar, entah memang sinar lampunya hanya remang begitu. Lumayan penuh. Ternyata orang-orang pada di sini, pantas saja jalanan sepi dari tadi. Toby Carvery, begitu aku baca tadi. Tempat duduk penuh dan suamiku harus memesan kursi terlebih dahulu kepada cowok bule, masih muda, dan ganteng, ramah lagi, yang menyambut kami di pintu kedua di atas mejanya yang seperti mimbar khutbah Jum'ah. Kami menunggu di sana, suamiku menatapku.
Beberapa orang melintasi kami untuk keluar. Seorang wanita muda menghampiri kami dan menunjukkan kami meja di sisi jendela. Suamiku bercakap-cakap akrab dengannya. Aku hanya tersenyum melihat mereka bercakap. Setelah selesai memesan minuman, wanita itu pergi. Aku dan suamiku menuju ruang lain, ternyata semua makanan ada di sana, self service, berbagai sayuran ada di sana, kering, tanpa kuah. Aku mengikuti saja suamiku, sebab aku tidak tahu bagaimana makan makanan-makanan itu. Piringnya besar, sehingga suamiku memasukan apapun yang dia inginkan. Aku juga, karena aku ingin mencoba semua sayuran itu, aku ambil satu atau dua potong tapi rata. Kemudian kami bergeser dan saatnya memesan daging. Macam macam daging ada di sana. Daging panggang besar-besar. Bagaimana mereka bisa memasak hewan-hewan itu secara utuh begitu? Seperti pembunuhan saja pikirku. Suamiku minta kalkun panggang, aku kebingungan, aku minta saja daging sapi panggang, karena merasa heran dengan daging kalkun. Di Solo kami tidak memasak kalkun, bahkan kami menjadikannya tontonan, di sini mereka memanggangnya dan memakan dagingnya, seperti ayam raksasa, dan aku ngeri melihatnya. Daging dalamnya putih bersin, daging luarnya kecoklatan terbakar, tapi tidak ada kulitnya, atau kepalanya, atau cekernya, yang nagkring di sana. Koki yang ada di belakang meja memotong-motong daging sapi untukku, banyak. Kami saling tersenyum.
Lalu kami menuju ruang yang lain, berbagai saos ada di sana dengan wadah seperti gentong kecil yang disusun rapi di atas meja dengan sendok di masing-masing wadahnya. Suamiku mengambil saos berwarna coklat dan menerangkan padaku saos-saos itu untuk daging apa, tapi aku ikuti saja mengambil saos seperti saosnya. Dia menambahkan saos yang lain dan akupun ikuti dia. Lalu kami kembali ke meja kami di dekat jendela. Kami makan. Suamiku makan lahap sekali. Aku memakan makananku sedikit canggung, tapi aku suka, karena banyak sayuran ada di sana dan dagingnya pun tidak susah untuk dipotong, ditusuk garpu, dan dimasukkan ke dalam mulutku. Sayur-sayuran yang dipotong besar-besar menurut ukuranku itu pun sangat menggiurkan. Aku mencoletkannya ke saus yang aku ratakan di atas sayur dan dagingku tadi. Enak, dan wow, olala, pedas sekali. Aku kelabakan, untunglah wanita yang tadi menemui kami datang membawa teh padas dalam teko pesanan kami. Aku menuangkannya dan memberinya gula, lalu mengaduknya. Uap teh masih menyebar leluasa, pasti panas sekali, jadi aku membiarkannya sebentar dan memakan sayur yang lain tanpa aku colet ke saus yang membakar lidahku.