Dia menanggalkan jas hitamnya dan membawanya keluar ruang makan, aku mengikutinya. Dia medekati pintu dapur yang agak menjorok ke dalam tadi dan mengambil sebuah hanger yang bertengger di sana. Dia rapikan jasnya dan meletakkannya di hanger susun yang terkait di pintu dapur itu. Aku tidak melongok ke dapur, aku hanya menungguinya di depan pintu ruang tamu. Dia menuntunku menuju tangga, mempersilahkan aku mendahuluinya menaiki tangga. Di ujung tangga ada pintu, aku menoleh ke kiri dan ke kanan, banyak sekali pintu di sini. Ada dua pintu di sisi kiri aku berdiri, satu pintu di depanku, satu pintu di samping kananku dan dua pintu di belakangku. Ini rumah apa, pikirku tak mengerti. Mengapa banyak sekali pintu di rumah ini. Dan yang tersisa hanya jalan menuju pintu-pintu itu dengan pagar kayu di depannya. Semua pintu terbuka, kecuali pintu di depanku. Aku tak tahu harus menuju ke mana. Suamiku sudah memegang punggungku dengan satu tangan dan pundakku dengan tangan yang lain. Dia menuntunku menuju pintu di sisi kanan, tepat arah jalan membelok ke kanan. Aku dirangkulnya menuju pintu itu. Dia menyalakan lampu, berjalan masuk mendahuluiku, dan menutup gorden di jendela besar di depan pintu kami masuk kamar ini. Ada pintu lagi, saat aku menoleh ke kiri. Di depannya almari berpintu kaca yang besar. Di samping almari yang menyentuh langit-langit kamar itu, berdiri almari kayu setinggi leherku dan di atasnya bertengger televisi. Di sampingnya ruang kosong dengan tempat sampah di bawah. Di depan almari kaca ada tempat tidur berukuran double dengan dua bantal di sana, tidak ada guling. Tempat tidur ini diapit oleh meja nakas berwarna hijau agak keabuan di sisi kiri dan kanan. Nakas di dekat pintu masuk lebih besar. Di atas nakas-nakas itu bertengger lampu dan jam di sisi dekat jendela, radio di sisi dekat pintu.
Suamiku menyuruhku meletakkan ransel dan mengajakku membersihkan diri. Aku mengikutinya memasuki pintu di samping alamari. Shower room. Shower di ujung sana, dengan gorden plastik berwarna hijau bunga-bunga yang tertutup. Sementara toilet dan wastafel berjajar di depan pintu. Ada jendela di atas wastafel dan toilet. Jendela dengan dua pintu. Ada meja marmer berwarna coklat muda di samping wastafel, di belakang toilet, memanjang hingga ke samping pintu, ditutup dengan pintu-pintu penyimpanan di bawah marmer coklat itu. Bersih. Rapi. Memang tidak tercium bau harum, tapi toilet ini pun tidak berbau. Dia menyuruhku mencuci muka di wastafel, sementara dia buang air di toilet di sampingku. Aku mencuci muka dengan sabun yang sudah tersedia di sana. Ketika dia sudah selesai dengan hajatnya, dia mencuci tangan di wastafel yang sama denganku menggunakan sabun cair berwarna kuning yang bertengger di sisi kiri wastafel, di atas meja marmer. Lalu dia mengambil sikat gigi untukku, dari alamri kecil di dekat pintu. Kami menggosok gigi bersama. Dia mencuci muka saat aku duduk di toilet untuk buang air kecil. Aku mencuci tangan dengan sabun dan dia mengeringkan muka serta tangannya dengan handuk yang terlipat rapi di gantungan dinding di depan jendela. Dia memberikan handuk itu padaku saat aku sudah selesai mencuci tangan, lalu dia mengeringkan wastafel dengan handuk yang lain. Kami mengembalikan handuk-handuk itu pada gantungan handuk di dinding kamar mandi, lalu melangkah keluar. Di samping tempat tidur, di depan almari kaca yang besar, dia menaggalkan kaos kakinya, lalu kemejanya. Aku menatapnya. Dadanya putih dan lapang. Ada rambut-rambut halus di sana. Dia menatapku sambil tersenyum dan tangannya terus melucuti pakaiannya. Aku tersenyum menatapnya.
"Ayo, tanggalkan pakaianmu, Love," katanya padaku sambil mendekatiku.
"Tidak, nanti aku akan kedinginan," sahutku yakin akan hawa di negara ini.
Dia menyentuh kemejaku sambil berkata,
"Kamu tidak akan tidur dengan semua pakaian ini di tubuhmu."
Aku diam saja saat ia mulai melucuti pakaianku. Satu demi satu pakaianku tanggal. Ia memelukku erat, meraih daguku dan menciumi bibirku. Dia mengangkatku dan meletakkanku di atas tempat tidur. Dia menatapku. Aku pun menatapnya. Dia melepaskan kaos kakiku, mengelus kakiku hingga ke atas. Aku diam saja sambil terus menatapnya dengan senyuman, hingga keesokan harinya aku terbangun dalam pelukannya di bawah selimut tebal yang hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H