Menangkup Badai, Menangkap Berkat Â
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Kondisi Widuri setelah perawatan kian membaik. Ada belasan jahitan di pergelangan tangan kiri yang harus dirawat secara teliti. Bersyukur sekali nyawanya masih bisa diselamatkan. Namun, dokter baik hati yang merujuk ke salah seorang psikolog meminta agar masalah yang dialami ditutup rapat-rapat hingga gadis itu benar-benar sembuh, baik secara fisik maupun secara rohani.
Di sisi lain, oleh sang psikolog yang menangani, disarankan agar seseorang yang membuatnya merasa terpuruk untuk sementara tidak menyambanginya di rumah sakit. Ternyata, salah seorang tersebut adalah Wangi.
Sangat kaget ketika keluarga melarangnya untuk tidak menjenguk di rumah sakit. Padahal, menurut Wangi, justru di saat kesakitan dan dalam kesendirian tersebut, Widuri memerlukan teman mengobrol. Ternyata, apa yang disangkanya baik dan benar, justru tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, Wangi pun pasrah.
***
"Suster ...," sapa Wangi pada Suster Kepala yang sudah dianggap sebagai pengganti ibunya.
Cukup lama chat di WhatsApp tersebut tidak dijawab. Sementara, Wangi sibuk menata kata, apa yang hendak disampaikannya sebagai curahan isi hati.
"Ya, Sayang ...," jawab sang suster yang melegakan hatinya.
"Angi  mau mengganggu, jam berapa Suster ada waktu untuk bincang santai dengan Angi?"
"Kamu bisanya kapan? Suster selalu ada dan siap mendengarkan keluh kesahmu, Nak!"
"Hari ini Suster. Hari ini Angi mau curhat penting!" jawabnya segera.
"Baiklah, Suster tunggu di kolam koi seperti biasa, ya!"
"Tunggu, Angi berangkat dulu, ya. Ini masih siap-siap nih, Suster!"
"Hati-hati di jalan, Nak. Kusebut namamu di dalam doa, Tuhan Yesus memberkatimu selalu."
"Amin! Baik, Suster, nasihat selalu Angi ingat!" balas Wangi sigap.
Sekitar kurang lebih setengah jam kemudian, sampailah  Angi di pelataran susteran. Angin semilir membelai dedaunan dan merontokkannya satu demi satu. Sisa hujan semalam masih tampak di sana-sini.
Rerumputan basah. Titik-titik air kemilau bergemerlapan ditimpa mentari pukul tujuh pagi. Burung-burung gereja berseliweran menangkap laron yang beterbangan di angkasa. Indah sekali.
Hening memenuhi ruang leluasa yang berada di depan dan samping kiri asrama putri sekaligus susteran di Jalan Panderman itu. Agak menjorok ke timur deret sekolah dari TK, SD, hingga SMP pun sedang hening-heningnya. Mungkin masing-masing kelas sedang asyik belajar, atau bahkan masih dalam mode doa. Seolah-olah semesta menyambut kehadiran sosok gadis manis yang sedang galau tingkat dewa.
"Ah, ... sepi sekali!" Wangi tengak-tengok sambil berjalan mengitari taman samping, mencari-cari sosok yang dirindukannya.
***
Beberapa saat kemudian, Wangi menemukan sosok berseragam putih dengan senyum ramah merekah sedang membaca di kolam koi.
"Oh, ... Angi lupa kalau janji ketemuan di sini!" peluk Angi terhadap seorang biarawati yang sangat menyayanginya itu.
"Ah, kamu!" cubit mesra sang suster memanjakan si gadis manis.
"Kau sudah sarapan, belum? Mau sarapan dulu, apa gimana?" lanjutnya.
"Ah, iya ... hehe. Suster tahu aja, sih!"
"La ... itu, Suster dengar ada ayam berkukuruyuk di perutmu, kan?" candanya tersenyyum lebar.
"Iiih, ... hahaha ... ketahuan, deh!" sambut Wangi manja.
"Yuk, kalau gitu ... kita cari bubur ayam dulu di Telomoyo. Atau barangkali kamu kepingin pecel Kawi, Nok?" tatap mesra sang suster sungguh mendamaikan hati Wangi yang sedang bergolak.
"Aih, ... mana yang cocok dan Suster inginkan saja. Jangan khawatir, dua porsi pun bisa masuk di perut ini!" sambut Wangi sambil menepuk perutnya dengan lucu. Tak urung sang suster pun tertawa membahana.
"Ahaha ... iya, iya! Dasar perut karet!" potongnya.
Setengah jam kemudian, makanan sesuai pesanan sudah tersaji di atas meja, di sebuah depot makan yang cukup laris dan legendaris. Wangi memesan nasi pecel dengan lauk paha ayam goreng dan perkedel. Sementara sang suster menikmati nasi gudeg, katanya sambil bernostalgia karena beliau memang asli wanita Yogjakarta.
Setelah selesai menikmati sarapan pagi, suster membawa Wangi ke perpustakaan daerah yang tak jauh dari sana. Sengaja diajak berjalan kaki sekitar setengah kilometer karena berpikir bahwa di tempat itu pasti suasananya sangat mendukung sehingga tidak seorang pun mengetahui keberadaan mereka berdua. Suster begitu memikirkan area privasi Wangi yang sudah dianggapnya sebagaimana putri kandungnya sendiri. Sekalipun bukan anak secara biologis, hati sang suster memang sudah terpikat oleh Wangi lengkap dengan keberadaan diri dan kondisinya saat ini.
*** Â
"Kamu mau cari novel dulu, apa kita langsung diskusi saja, Nok?" mendengar panggilan sayang sang suster pun hati Angi langsung meleleh.
"Suster ... karena ini sangat urgent, bolehkah membacanya Angi pending saja, dulu?"
"Okelah, tidak masalah. Namun, tak ada salahnya juga kan kalau kita meminjam buku?"
"Baiklah, Suster!"
Setelah mencari buku dan mendaftarkannya, kedua wanita beda usia ini segera mencari tempat paling nyaman. Di mana lagi kalau bukan di pojok baca yang menggunakan sistem bangku lesehan dengan kasur busa buat pantat itu? Maka, Angi mengambil dua bantal sekaligus. Satu buat sang Suster, dan satu lagi buat dirinya.
Setelah menata tempat duduk mencari posisi paling enak, segera meluncur permintaan bunda rohani tersebut dengan lembut.
"Coba ... sekarang uraikan masalahmu agar Suster bisa tahu dan dapat membantumu, Nok!"
*** Â
"Ohh, begitu. Jadi, kalau problemnya seperti itu, ya sudah ... sebaiknya Angi pamit baik-baik kepada keluarga. Bilang saja ada tugas tertentu dari misionari sehingga kamu akan diizinkan meninggalkan mereka. Namanya dora sembodo, Nok! Berdusta, tetapi demi kebaikan."
"Siap, Suster!"
"Tidak perlu kamu uraikan secara detail alasan asli yang kamu miliki, intinya ... segera tinggalkan tempat itu, sebelum sepupumu balik ke rumah. Kalau tidak, Suster khawatir ... malapetaka itu bisa saja kapan pun terulang kembali. Melihat Angi masih di rumah itu, pasti akan menimbulkan kesal. Padahal, emosi dan hati sepupumu itu harus tetap dijaga agar sestabil-stabilnya. Menurut Suster, sih ... jalan satu-satunya kamu harus kembali pada kami!"
"Ada dua pilihan. Kamu bisa mengabdi di susteran, di asrama ini, sambil bantu-bantu mengawasi anak-anak asrama, mungkin memberi les buat anak-anak SMP atau SD. Bisa juga membantu-bantu urusan konsumsi. Nah, silakan pilih sesuai minatmu saja!" lanjut sang biarawati dengan lembut dan berwibawa.
"Kalau di panti, apakah masih ada peluang Angi untuk belajar dengan baik mempersiapkan pemerolehan beasiswa perguruan tinggi, Suster?"
"Oooh, itu! Senyampang kamu bisa mengatur waktu antara belajar dan bekerja, Suster yakin, bisa, kok! Kalau saat guru menjelaskan materi, kamu menyimak dengan sebaik-baiknya, tidak melamun, materi kamu serap maksimal, bukankah di rumah atau asrama tinggal mengulang saja? Intinya, ya ... saat dijelaskan itu kamu pahami. Jika kurang paham, segera tanyakan sampai kamu benar-benarr mengerti!"
"Oh, begitu. Terima kasih banyak atas tips, trik, dan resep belajarnya, Suster! Akan Angi laksanakan sebaik-baiknya!"
 "Hmmm ... kamu, ya! Bisa aja bikin Suster bahagia!" ulas sang Suster tersenyum manis.
***
to be continued
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H