"Oh, ... Angi lupa kalau janji ketemuan di sini!" peluk Angi terhadap seorang biarawati yang sangat menyayanginya itu.
"Ah, kamu!" cubit mesra sang suster memanjakan si gadis manis.
"Kau sudah sarapan, belum? Mau sarapan dulu, apa gimana?" lanjutnya.
"Ah, iya ... hehe. Suster tahu aja, sih!"
"La ... itu, Suster dengar ada ayam berkukuruyuk di perutmu, kan?" candanya tersenyyum lebar.
"Iiih, ... hahaha ... ketahuan, deh!" sambut Wangi manja.
"Yuk, kalau gitu ... kita cari bubur ayam dulu di Telomoyo. Atau barangkali kamu kepingin pecel Kawi, Nok?" tatap mesra sang suster sungguh mendamaikan hati Wangi yang sedang bergolak.
"Aih, ... mana yang cocok dan Suster inginkan saja. Jangan khawatir, dua porsi pun bisa masuk di perut ini!" sambut Wangi sambil menepuk perutnya dengan lucu. Tak urung sang suster pun tertawa membahana.
"Ahaha ... iya, iya! Dasar perut karet!" potongnya.
Setengah jam kemudian, makanan sesuai pesanan sudah tersaji di atas meja, di sebuah depot makan yang cukup laris dan legendaris. Wangi memesan nasi pecel dengan lauk paha ayam goreng dan perkedel. Sementara sang suster menikmati nasi gudeg, katanya sambil bernostalgia karena beliau memang asli wanita Yogjakarta.
Setelah selesai menikmati sarapan pagi, suster membawa Wangi ke perpustakaan daerah yang tak jauh dari sana. Sengaja diajak berjalan kaki sekitar setengah kilometer karena berpikir bahwa di tempat itu pasti suasananya sangat mendukung sehingga tidak seorang pun mengetahui keberadaan mereka berdua. Suster begitu memikirkan area privasi Wangi yang sudah dianggapnya sebagaimana putri kandungnya sendiri. Sekalipun bukan anak secara biologis, hati sang suster memang sudah terpikat oleh Wangi lengkap dengan keberadaan diri dan kondisinya saat ini.