"Nah, inilah bentuk nyata pemeliharaan Tuhan atas hidup kita!" kata Tria sambil tersenyum tipis. Ditangkupkannya kedua telapak tangannya di depan dada.
Ratih pun memeluk Tria. Â "Mbaaaakkk ... jangan segan untuk berbagi cerita apalagi cerita dukamu!"
Akhirnya, mereka berpelukan sebagaimana Po dan Lala dua tokoh teletubies yang disukai pada masa kanak-kanak.
"Terima kasih, jika tak kau seret aku untuk mengantarmu kemari, tentu dompetku tetap tak berpenghuni!" selorohnya sambil memanyunkan bibir.
"Ya, Mbak ... Tuhan menyediakan rezekimu di jalan sepi ini!" tukas Ratih. "Besok kuantar kau menjual anting ini!" sambungnya.
Malam itu, seluruh anak kost berkumpul di ruang diskusi lantai dua. Pada saat itu, Tria pesan untuk dimintakan izin tidak ikut karena sift malam. Maka, Ratih menceritakan kejadian yang menimpa Tria tadi siang. Ibu kost  terbelalak!Â
"Ya, Allah ... mengapa Tria tidak membicarakannya di sini?" teriaknya. Â "Tadi Tria memang pamit tidak ikut berkumpul karena piket di toko tempatnya bekerja," kata Bu Ginanjar, ibu indekos mereka, memberitahu yang lain.Â
"Mengapa aku kurang peka melihat perjuangan Tria?" Bu Gin pun bersenandika.
"Anak-anak, apakah kalian sepakat jika Tria Ibu bebaskan dari uang indekos?" tawarnya kepada enam anak indekos yang saat itu menghadiri diskusi mingguan.
"Setuju, Bu!" jawab mereka serempak seolah koor dengan empat suara.
"Buk, agar Tria tidak tersinggung, biarkan Tria tetap membayar uang indekosnya seperti biasa, tetapi uang itu Ibu tabung dulu. Nanti ketika kita melihat gelagat Tria sedang membutuhkan dana, Â kita sarankan datang kepada Ibu!" Â usul Nuning hati-hati.