Tria lebih tertutup. Introvert. Sementara Ratih sangat-sangat terbuka, bahkan cenderung ceriwis. Takada yang tidak diceritakan apa pun isi hati dan perasaannya kepada Tria. Namun, justru perbedaan bagai bumi dan langit inilah yang menyebabkan mereka berdua lengket seperti perangko.
Keesokaan harinya, Tria mendapat jatah libur sehari dari toko tempatnya bekerja. Hari itu kondisi dompet Tria masih stay melompong tanpa isi. Tria tidak bisa menceritakan keadaannya kepada sahabat sekamarnya itu.
Ya, Ratih memang putri tunggal. Nampaknya kondisi orang tuanya pun dapat dikatakan berada. Bagaimana tidak, ibunya seorang karyawan dinas kesehatan, sementara ayahnya memiliki usaha ternak ayam potong katanya. Karena itu, tidak heran jika Ratih tidak pernah berkekurangan.
Adapun Tria, kakek neneknya hanya pensiunan guru. Orang tuanya bercerai dan masing-masing telah menikah lagi dengan beban yang cukup berat. Karena itu, sekalipun sudah memperoleh beasiswa bidik misi, Tria harus menambah uang saku dengan mengambil pekerjaan part time. Di sela-sela jam kuliahnya, Tria menjadi penjaga toko di toko kue dan es cream terkenal di kota itu.
Dengan demikian, waktu bersama mereka hanya di malam hari. Dan malam harilah sebagai saat paling indah. Tria suka sekali mendengarkan cerita dan keluh kesah Ratih. Hilang lelah Tria ketika mendengar cerita Ratih. Dan Tria pun paling hanya tersenyum mendengar curahan hati temannya itu.
Tria sungguh kebingungan. Bagaimana dia harus membayar iuran lauk pauk untuk besok karena takada uang sepeser pun di dompetnya.
"Nak, bulan depan kami tidak kirim wesel karena sesuatu hal. Maaf, ya ... kami doakan kamu bisa mengatasi keuanganmu!" Â begitu tulisan yang tertera di resi weselnya bulan lalu. Jadi, tidak mungkin Tria meminta kepada orang tua di desa.
Noted di resi weselnya itu adalah warning agar prihatin dan berhemat. Akan tetapi, bagaimana dengan urusan peraturan di tempat indekosnya?
 Apa pun yang terjadi, sudah bulat tekadnya untuk tetap kuliah walau harus banting tulang sendiri! Sempat tebersit di hatinya untuk jujur kepada ibu indekos dan menyerahkan diri sebagai asisten rumah tangga saja di tempat itu agar memperoleh sedikit uang jasa untuk menambah pemasukannya.
Di tempat indekos itu mereka berpatungan untuk memasak dan mencuci setrika. Empat orang bergantian. Jika A mendapat bagian berbelanja, B harus memasak, sementara C bertugas mencuci, dan D menyetrika.
Setiap empat orang bergabung sehingga tugas kerumahtanggan itu terasa ringan. Setiap hari mereka mengumpulkan iuran untuk berbelanja. Petugas piket berbelanja harus pandai memilih bahan yang murah dan bergizi, lalu menyisihkan sisa uang belanja. Pada akhir bulan, uang hasil sisa uang belanja itu akan digunakan untuk aktivitas ekstra bersama, misalnya rujakan, atau yang lain.
Ini semua atas arahan ibu kost sehingga tidak boleh ada yang menolak aturan ini. Kata ibu indekos agar merasakan menjadi seorang wanita seutuhnya. "Belajar ilmu di universitas, belajar hidup mandiri di sini." Itu motto ibu indekos  yang terpampang di dinding depan rumah itu.