"Kok bisa!" Hanya itu yang berputar-putar di kepalaku.
Namun, mau bagaimana, toh sudah kuingatkan jauh sebelumnya untuk mengakhiri hubungan terlarang itu. Ternyata firasatku benar. Sang pacar bukanlah pemuda baik-baik walau mengakunya sebagai mahasiswa perguruan tinggi swasta terbesar di kotaku dan putra seorang bupati nun di daerah timur sana.
***Â
Sampai hari itu hatiku tergerak untuk menengok ke rumah sakit dan langsung kuambil alih tugas untuk menungguinya di rumah sakit.
Pulang sehari usai melahirkan, langsung kembali opname. Berarti opname yang kedua setelah menjalani operasi hamil di luar kandungan saat itu. Ini opname di rumah sakit lain, setelah melahirkan anak keduanya. Konon kabarnya si orok yang baru lahir dibawa oleh ayahnya.
Dan anak angkatku ini langsung menderita sakit yang tidak kuketahui. Awalnya kukira stress berat karena kisah hidupnya yang memilukan itu. Aku maklum. Awalnya meski menjaganya di senja hingga pagi hari kukira sakit biasa saja. Sakit karena hati dan jiwanya tergoncangkan sehingga raganya tak kuat menahan beban. Ya, awalnya betapa kurang pandainya aku membaca situasi. Ahhh, ....
***
Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya kesadarannya sudah sangat menurun. Yang kutahu, dia selalu berhitung, tetapi melompat-lompat tidak beraturan. Begitu terus-terusan diulang-ulangnya. Seolah mengigau. Padahal, itu pertanda kesadarannya tidak stabil!
Sungguh, aku sangat awam dan perawat pun tidak mengatakan apa-apa tentang sakitnya kepadaku. Yang kutahu, selain diinfus, ada bantuan oksigen yang kadang dipasang, kadang dilepas.
Aku menungguinya, kadang mengajaknya sedikit berbicara, berdoa, dan bernyanyi memuji Tuhan karena kebetulan dipan di samping sedang kosong. Namun, sore itu ada pasien seorang ibu sepuh masuk ke ruangan kami. Dan malam ini, dia berpamitan padaku untuk tidur.
Kemarin malam, sebelum tidur, dengan terengah-engah seolah dia ingin mengatakan sesuatu. Ketika kupancing, "Kamu mikir apa?" dia mengangguk lemah sambil menatapku cukup lama.
"Maa ..., " bisiknya hampir tak terdengar.