PAMIT TIDUR
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Sekitar jam delapan malam. Biasanya jika tidur, ia tak pernah memberi tahu. Kalaupun tidur, hanyalah tidur-tidur ayam saja. Atau karena daya pengaruh penidur. Â Akan tetapi, kali ini sungguh sangat berbeda. Ada sesuatu yang aneh, sayangnya aku tak dapat menyingkapnya. Ada suatu perbawa atau bahkan penyihir agar aku semakin terlena terkena dampaknya. Hmmm, ... misteri yang secara otomatis membungkamku.
"Ma, aku ngantuk ...," katanya lirih.Â
Aku jawab dengan anggukan sambil mengelus anak rambutnya yang acak-acakan. Infus dan tabung oksigen masih menempel di tubuhnya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang.
"Tidurlah, jangan pikirkan apa pun lagi. Bebaskan hati dan pikiranmu tentang semuanya!"
"Baik, Ma. Mama nggak tidur ...?" tanyanya dengan tatap sayu. Aku menggeleng pelan.
"Tidurlah, mama menungguimu!"
Dia mengambil napas dalam lalu mengambil posisi tidur paling nyaman. Miring, membelakangi aku! Slang infus masih setia menemaninya sejak sepuluh hari lalu. Tabung oksigen pun masih dipasang agar sewaktu-waktu sesak napas bisa teratasi.
Namun, tangan dan kakinya sudah tidak diikat lagi sehingga leluasa untuk bergerak. Ya, saat kesadarannya menurun, gerakannya tak terkontrol sehingga terpaksa kedua tangan dan kakinya diikat di ranjang. Pagar ranjang pun dipasang untuk menjaganya agar tidak terjatuh.
***
Hingga dua hari dirawat di rumah sakit, aku tak menggubrisnya. Di antara kami ada gap alias jurang pemisah lumayan dalam. Namun, beberapa tetanggaku mengabarkan hal yang sama: akulah yang dicari, selalu ditanyakan, dinanti-nanti, dan dirindukannya. Dipesannya setiap yang datang untuk memberitahukan halnya kepadaku! Ketika itulah jiwaku terusik.