Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Leleh Laksana Lilin

14 Mei 2024   02:26 Diperbarui: 14 Mei 2024   07:17 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Leleh  Laksana  Lilin

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Kenapa sih Bu, Wita mulu yang disuruh maju. 'Kan nilai Wita sudah bagus!" sergah Perwita yang menolak secara halus perintah guru matematikanya.

"Hush, jangan membantah, Dik. Kerjakan saja kenapa, sih?" cegah Purwati kembaran yang duduk di sebelahnya dengan lembut.

"Ah, Kakak selalu nggak setuju dengan keinginanku. Maksudku, kalau yang lain bisa dan mau maju untuk mengerjakan di depan ... 'kan lumayan bisa menambah nilai!" sewotnya.

Bu Sri hanya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Si kembar Perwita dan Purwati memang keduanya sama-sama pandai, tetapi perbedaan perangai mereka lumayan mencolok. Jika Wita cenderung agak ketus, sombong, dan semau gue, Wati sebaliknya. Purwati memiliki perasaan peka dan sangat halus. Jika berbicara terkesan hati-hati dan tidak asal keluar. Dipikirkannya baik-baik apakah tutur katanya akan menyinggung perasaan orang lain. Makanya, Purwati terkesan kalem, sabar, dan tidak grusa-grusu.  

"Ya, sudah. Tak apa jika Wita tidak berkenan mengerjakan di depan kelas. Bagaimana? Siapa yang ingin mencobanya?" Bu Sri menawarkan kepada seisi kelas kalau-kalau ada sukarelawan yang bersedia mengerjakan soal hitungan di papan tulis.

Namun, beberapa saat kelas hening, tak ada seorang siswa pun yang mengangkat tangan atau beranjak mengerjakan ke depan kelas.

Sebenarnya, soal yang di papan tulis adalah soal biasa yang cukup mudah. Akan tetapi, Bu Sri hanya ingin mengecek apakah ingatan siswa masih bagus terhadap soal lama tersebut.

"Bu, mohon maaf. Apakah Wati diperbolehkan mencobanya?" lirih Wati setengah berbisik kepada Bu Sri.

"Boleh ... dong, Sayang. Wati mau mencoba? Gunakan jalan  panjang, ya!" pesan Bu Sri ramah.

"Baik, Bu!" jawab Wati sambil tersenyum.

Setelah Wati selesai mengerjakan, Bu Sri bertanya kepada kelas, "Bagaimana? Ada yang ingin bertanya?"

"Lah, itu Kakak bisa! Mengapa selalu Wita kalau ada Kak Wati yang bisa, sih!" gerutu Wita setelah kakaknya duduk kembali di sebelahnya.

"'Kan yang disuruh Wita, bukan Wati!" sanggahnya kalem saja.

"Baiklah, sekarang soal berikutnya, ya!" ujar Bu Sri sambil menuliskan soal berikutnya di papan tulis.

"Baiklah, perhatikan sebentar, kemudian salin dan kerjakan di buku latihan kalian, ya!" lanjutnya.

Beberapa menit kemudian, Bu Sri meminta Fajar, siswa dengan peringkat terakhir untuk mengerjakannya di papan tulis. Soal yang dibuatnya tentu saja mudah dengan harapan siswa yang lamban pun bisa melakukannya.

"Memakai jalan panjang juga, ya Nak!" pesan Bu Sri.

"Siap, Bu!" jawab Fajar sambil mencoba mengerjakan di papan tulis.

Orang tua Fajar mengetahui kelemahan putranya di bidang hitung-hitungan. Oleh karena itu, dengan sepengetahuan wali kelas, orang tua Fajar memberikan kesempatan les privat dengan mendatangkan guru ke rumah. Karena sudah beberapa bulan mengikuti les, kini Fajar sudah jauh melampaui kemampuan kawan-kawan di kelas. Dengan demikian, Fajar bisa melakukan tugas dengan baik dan dalam waktu tidak terlalu lama.

Wita terheran-heran. Biasanya Fajar akan terdiam beberapa saat dan berujung tidak bisa melanjutkan tugas. Namun, kali ini dengan cekatan Fajar mampu menyelesaikan soal dengan benar.

Netra Wita membelalak sambil berucap, "Wow! Tumben kamu bisa, Jar!" teriak Wita spontan.

Wati pun spontan membekap mulut mungil adik kembarannya itu sambil berkata, "Hush! Kamu apaan, sih!"

"Emang, kenyataan, 'kan? Bukannya biasanya Fajar selalu nggak bisa mengerjakan, ya!" pelototnya kepada Wati.  

Pertengkaran kedua putri kembar itu pun tak terelakkan. Wita yang kukuh dengan pendapat, sementara Wati yang merasa malu karena kembarannya nyerocos berbicara tanpa berpikir apakah kata-katanya santun atau tidak, menyakitkan pendengarnya atau tidak.

Karena jengkel, Wita menjambak rambut kembarannya. Sementara, Wati menjerit kesakitan tanpa membalas sama sekali. Tak urung, kelas pun menjadi gaduh.

"Stop! Wati, Wita! Stop!" lerai Bu Sri kepada si duo kembar.

"Oke, anak-anak! Silakan salin dulu jawaban Fajar, ya! Ibu akan antar temanmu ini ke ruang guru dulu! Kalian bekerja dengan tenang, ya!" pesan Bu Sri sambil mengajak kedua gadis itu ke ruang kepala sekolah.

"Nah, Wati dan Wita ... kalian berdua terpaksa Ibu hadapkan kepada Kepala Sekolah karena Ibu akan melanjutkan pelajaran! Ini terpaksa Ibu lakukan agar kalian tidak ngisruh!"

"Kamu, sih!" tonjok Wita ke lengan Wati.

"Adduuuh!" jerit Wati.

Sesampai di ruang Ibu Kepala Sekolah, Bu Susi Indaryani yang sangat keibuan itu, duo kembar diserahkan oleh Bu Sri yang hendak segera kembali ke kelas melanjutkan pembelajaran. Namun, sebelum meninggalkannya, Bu Sri melaporkan masalah kepada Kepala Sekolah secara rinci dan jelas.

"Akhir-akhir ini, entahlah Bu. Maaf, ya Wita, jangan marah, ya. Berdasarkan pengamatan Ibu, akhir-akhir ini rupanya Wita sedang dalam pencarian jati diri. Wita gemar protes, merasa diri super, kurang menghargai baik guru maupun siswa lain. Selain itu, ia juga gemar menyangkal pendapat guru. Mungkin, dia sedang mengalami pancaroba!" lapor Bu Sri dengan tenang.

Muka Wita  cemberut dan dengan sewot ingin menyanggah. Namun, sebelum berbicara, Bu Susi sudah memberikan isyarat untuk tidak berbicara.

"Halo ... putri kembar Ibu yang cantik dan manis. Apa kabar?" sapa Bu Susi.

"Baik, Bu," jawab Wati dengan lembut.

"Baik," Wita menjawab dengan muka masam dan hati mencelos.

"Hmmm, ... mengapa sih Nak ... harus terjadi pertengkaran dengan saudara sendiri?"

Tanpa diminta Wita yang dasarnya memang suka bicara menjawab, "Saya tidak senang Bu kalau selalu disuruh-suruh! Mengapa harus saya dan saya terus?"

"Kamu itu loh, bisa tidak sih bicara yang tenang dan santun?" sergah Wati sambil memukul pundak adiknya lembut.

"Nah, gini nih Bu! Saudara saya selalu mendikte. Saya juga tidak suka!" sahut Wita dengan nada meninggi.

"Oke, oke! Sudah, ya! jangan bertengkar lagi! Dengarkan Ibu yang bicara dulu! Paham?" suara Bu Susi pun tak kalah tinggi.

Pada saat bersamaan kedua orang tua si kembar yang ditelepon agar hadir di sekolah pun telah tiba di sekolah. Bu Sri tahu tanpa kehadiran orang tua pasti permasalahan tidak akan selesai. Itu karena Wita suka ngeyel. Oleh karena itu, Bu Sri berinisiatif untuk meneleponnya. Maka dengan diantar Bu Sri kedua orang tua tersebut menuju ruang Kepala Sekolah. Orang tua itu pun sempat mendengar pertengkaran kedua putrinya.

"Selamat pagi, Bu. Mohon maaf kedua putri kami merepotkan, baik Ibu Guru maupun Ibu Kepala Sekolah. Sungguh, kami mohon maaf bila belum mampu mendidik kedua putri kembar kami!" Bapak Handono dan istri mengungkapkan permohonan maaf dengan santun di hadapan Kepala Sekolah.

Setelah dikemukakan permasalahan yang terjadi, Pak Handono menasihati kedua putrinya di hadapan Bu Sri dan Bu Susi.

"Anak-anak, pernah 'kan kita melihat pedagang buah-buahan di pasar?" tanya Pak Handono kepada dua putri kembarnya.

"Ya, pernah!" jawab Wita.

"Mengapa pedagang tersebut rela mengupas buah dagangannya untuk dicicipi calon pembeli? Padahal, sudah dituliskan besar-besar harga dan rasa dagangannya. Misalnya, duku manis asli Palembang! Kalian tahu mengapa?" lanjut Pak Handono.

"Yaaa ... mana percaya dengan tulisan itu, Ayah! Pasti calon pembeli ingin mencicipi! Pembeli 'kan raja!" jawab Wita spontan.

"Baiklah! Demikian juga Ibu Guru di kelas. Apakah percaya begitu saja walaupun Wita mengatakan begini, 'Saya 'kan sudah bisa, Bu!' tanpa kamu menunjukkan buktinya?" lanjut Ayah lagi.

"Hmmm, yaa ... bisa jadi sih nggak percaya! 'Kan harus dibuktikan, ya!" jawab Wati dengan santai.

"Lah, kalau buktinya nilai di rapor, 'kan jelas, Ayah! Peringkat atas 'kan pasti bisa mengerjakan soal mudah!" sanggah Wita.

"Belum tentu juga, Wita!" sanggah Bu Handono.

"Sekarang Ayah mau tanya lagi. Apakah semua dagangan penjual pasti manis?"

Kedua putri kembar menggeleng, "Belum tentu, juga!"

"Nah, mungkin saja Wita belum paham tentang perkalian, tetapi sangat paham dalam pembagian. Sebaliknya, Wati sangat mahir perkalian, tetapi lemah dalam soal pembagian. Itulah sebabnya, Bu Guru ingin mengetes dan menguji di manakah kekurangan kalian masing-masing agar bisa diterangkan atau dijelaskan lebih lanjut!" urai Pak Handono.

Selanjutnya, Bu Handono menimpali. "Lalu, mengapa Kakek Tito di kampung menjual mangga dan pisang hasil panen kepada pemborong? Mengapa tidak dikonsumsi sendiri saja buah-buahan yang dipanen itu?"

Wati menjawab dengan santai, "Kalau tidak segera dijual buah-buahan itu bisa busuk, Bu!"

"Lagian kalau dikonsumsi sendiri tentu saja bosan!" sahut Wita.

"Baik. Jawaban kalian sama-sama benar, tetapi ...."

"Hmmm ... orang lain tidak bisa memperoleh manfaatnya. Begitu, 'kan Bu? Artinya, buah-buahan itu tidak dimanfaatkan secara maksimal!" potong Pak Handono.

"Benar sekali! Oh, ya, anak-anak cantik dan cerdas! Perlu kalian ketahui, bahwa ada seorang tokoh yang menyatakan bahwa guru itu ...." Bu Sri mengemukakan perlahan sambil melihat raut muka kedua bocah itu.

Lanjutnya, "Seumpama lilin yang rela meleleh membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan orang lain. Adakah kalian pernah membaca atau mendengarnya?"

Kedua gadis kembar yang rupawan itu menggeleng perlahan serentak.

"Ya, ... tokoh tersebut bernama Mustafa Kemal Ataturk. Pernah mendengar nama itu?" lanjut Bu Susi menambahkan keterangan pernyataan Bu Sri.

"Belum pernah, Bu!" jawab keduanya serempak.

"Nah, ternyata, kita masih harus banyak belajar dan membaca lagi, ya! Makanya, kita tidak perlu mengatakan 'sudah bisa' atau 'sudah paham' sebab ternyata pengetahuan kita belum seberapa. Jadilah seperti padi, kian berisi kian merunduk!" petuah Bu Susi dengan berwibawa.

"Menjadi pekerjaan rumah bagi kalian untuk mencari tahu yang belum kalian ketahui!" lanjut Bu Sri kalem.

"Sekarang, apakah kalian paham mengapa Bu Guru selalu bertanya dan menyuruh kalian mengerjakan soal baik di papan tulis maupun sebagai PR?" lanjut Bu Susi sambil menelisik wajah kedua bocah di hadapannya itu.

"Paham, Bu. Wati mohon maaf kalau selama ini kurang menghargai jasa Bu Guru!"

"Wita juga mohon maaf, Bu!"

"Nah, mulai sekarang kalian harus bisa memilah dan memilih bagaimana harus berbicara dan bertindak menghadapi situasi apa pun. Pikir itu pelita hati. Pikirkanlah apa yang hendak kalian ucapkan, jangan asal njeplak4 saja. Hal itu karena ada kalanya kata-kata kita yang kita anggap gurauan bisa menyakitkan hati siapa pun yang mendengarnya," tandas Pak Handono.

"Betul, sebab pertengkaran bisa saja terjadi karena tutur kata kita!" lanjut Bu Susi.

Tanpa terasa bel beristirahat berbunyi. Kedua orang tua berpamitan setelah mengucapkan terima kasih kepada pihak sekolah. Sejak saat itu Wita dan Wati berusaha rukun, berperangai lembut seperti putri raja yang dikehendaki kedua orang tuanya. Selain itu, juga berusaha berhati-hati dalam bertutur serta tidak sombong.

***  

KETERANGAN

grusa-grusu  tergesa-gesa, terburu-buru

nyerocos  ceriwis, terus-menerus berbicara

ngisruh membuat kisruh, ribet, kacau

njeplak menganga, asal bicara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun