"Selamat pagi, Bu. Mohon maaf kedua putri kami merepotkan, baik Ibu Guru maupun Ibu Kepala Sekolah. Sungguh, kami mohon maaf bila belum mampu mendidik kedua putri kembar kami!" Bapak Handono dan istri mengungkapkan permohonan maaf dengan santun di hadapan Kepala Sekolah.
Setelah dikemukakan permasalahan yang terjadi, Pak Handono menasihati kedua putrinya di hadapan Bu Sri dan Bu Susi.
"Anak-anak, pernah 'kan kita melihat pedagang buah-buahan di pasar?" tanya Pak Handono kepada dua putri kembarnya.
"Ya, pernah!" jawab Wita.
"Mengapa pedagang tersebut rela mengupas buah dagangannya untuk dicicipi calon pembeli? Padahal, sudah dituliskan besar-besar harga dan rasa dagangannya. Misalnya, duku manis asli Palembang! Kalian tahu mengapa?" lanjut Pak Handono.
"Yaaa ... mana percaya dengan tulisan itu, Ayah! Pasti calon pembeli ingin mencicipi! Pembeli 'kan raja!" jawab Wita spontan.
"Baiklah! Demikian juga Ibu Guru di kelas. Apakah percaya begitu saja walaupun Wita mengatakan begini, 'Saya 'kan sudah bisa, Bu!' tanpa kamu menunjukkan buktinya?" lanjut Ayah lagi.
"Hmmm, yaa ... bisa jadi sih nggak percaya! 'Kan harus dibuktikan, ya!" jawab Wati dengan santai.
"Lah, kalau buktinya nilai di rapor, 'kan jelas, Ayah! Peringkat atas 'kan pasti bisa mengerjakan soal mudah!" sanggah Wita.
"Belum tentu juga, Wita!" sanggah Bu Handono.
"Sekarang Ayah mau tanya lagi. Apakah semua dagangan penjual pasti manis?"