"Akhir-akhir ini, entahlah Bu. Maaf, ya Wita, jangan marah, ya. Berdasarkan pengamatan Ibu, akhir-akhir ini rupanya Wita sedang dalam pencarian jati diri. Wita gemar protes, merasa diri super, kurang menghargai baik guru maupun siswa lain. Selain itu, ia juga gemar menyangkal pendapat guru. Mungkin, dia sedang mengalami pancaroba!" lapor Bu Sri dengan tenang.
Muka Wita  cemberut dan dengan sewot ingin menyanggah. Namun, sebelum berbicara, Bu Susi sudah memberikan isyarat untuk tidak berbicara.
"Halo ... putri kembar Ibu yang cantik dan manis. Apa kabar?" sapa Bu Susi.
"Baik, Bu," jawab Wati dengan lembut.
"Baik," Wita menjawab dengan muka masam dan hati mencelos.
"Hmmm, ... mengapa sih Nak ... harus terjadi pertengkaran dengan saudara sendiri?"
Tanpa diminta Wita yang dasarnya memang suka bicara menjawab, "Saya tidak senang Bu kalau selalu disuruh-suruh! Mengapa harus saya dan saya terus?"
"Kamu itu loh, bisa tidak sih bicara yang tenang dan santun?" sergah Wati sambil memukul pundak adiknya lembut.
"Nah, gini nih Bu! Saudara saya selalu mendikte. Saya juga tidak suka!" sahut Wita dengan nada meninggi.
"Oke, oke! Sudah, ya! jangan bertengkar lagi! Dengarkan Ibu yang bicara dulu! Paham?" suara Bu Susi pun tak kalah tinggi.
Pada saat bersamaan kedua orang tua si kembar yang ditelepon agar hadir di sekolah pun telah tiba di sekolah. Bu Sri tahu tanpa kehadiran orang tua pasti permasalahan tidak akan selesai. Itu karena Wita suka ngeyel. Oleh karena itu, Bu Sri berinisiatif untuk meneleponnya. Maka dengan diantar Bu Sri kedua orang tua tersebut menuju ruang Kepala Sekolah. Orang tua itu pun sempat mendengar pertengkaran kedua putrinya.