Kedua putri kembar menggeleng, "Belum tentu, juga!"
"Nah, mungkin saja Wita belum paham tentang perkalian, tetapi sangat paham dalam pembagian. Sebaliknya, Wati sangat mahir perkalian, tetapi lemah dalam soal pembagian. Itulah sebabnya, Bu Guru ingin mengetes dan menguji di manakah kekurangan kalian masing-masing agar bisa diterangkan atau dijelaskan lebih lanjut!" urai Pak Handono.
Selanjutnya, Bu Handono menimpali. "Lalu, mengapa Kakek Tito di kampung menjual mangga dan pisang hasil panen kepada pemborong? Mengapa tidak dikonsumsi sendiri saja buah-buahan yang dipanen itu?"
Wati menjawab dengan santai, "Kalau tidak segera dijual buah-buahan itu bisa busuk, Bu!"
"Lagian kalau dikonsumsi sendiri tentu saja bosan!" sahut Wita.
"Baik. Jawaban kalian sama-sama benar, tetapi ...."
"Hmmm ... orang lain tidak bisa memperoleh manfaatnya. Begitu, 'kan Bu? Artinya, buah-buahan itu tidak dimanfaatkan secara maksimal!" potong Pak Handono.
"Benar sekali! Oh, ya, anak-anak cantik dan cerdas! Perlu kalian ketahui, bahwa ada seorang tokoh yang menyatakan bahwa guru itu ...." Bu Sri mengemukakan perlahan sambil melihat raut muka kedua bocah itu.
Lanjutnya, "Seumpama lilin yang rela meleleh membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan orang lain. Adakah kalian pernah membaca atau mendengarnya?"
Kedua gadis kembar yang rupawan itu menggeleng perlahan serentak.
"Ya, ... tokoh tersebut bernama Mustafa Kemal Ataturk. Pernah mendengar nama itu?" lanjut Bu Susi menambahkan keterangan pernyataan Bu Sri.