Aku tak dapat menemui mereka karena rupanya kondisi Rianti kurang baik. Rianti  segera didorong dilarikan ke ruang operasi. Beberapa jam kemudian, bayi Rianti lahir dengan cara operasi caesar. Namun, kudengar kondisi Rianti kritis karena pendarahan dan hipertensi.
Pembukaan jalan lahirku satu jam yang lalu sudah mencapai angka tujuh. Rasa sakit luar biasa tetap menyerangku. Aku bersyukur sebab dengan demikian, putra kami akan segera lahir. Aku tetap berjalan-jalan ditemani ibuku. Hanya di seputaran halaman rumah sakit karena hujan masih belum reda juga.Â
Pamungkas sudah mampu mengantar jemput kami sehingga bisa kami mintai tolong ini itu. Maka aku memintanya untuk membelikan makanan favoritku: aneka sayur di Depot Santai.Â
Setelah Pamungkas datang, aku pun makan dengan lahap sekali. Aneh. Rasanya sangat enak. Ibuku senang karena dengan demikian aku punya tabungan energi untuk melahirkan putraku dengan cara biasa. Lima jam setelah itu, putra pertamaku lahir dengan lancar. Putraku lahir di senja hari! Sempurna! Syukur kusampaikan kepada-Nya.
Keesokan harinya Mas Prima datang dari ibukota. Â Saat di ruang rawat inap, diciumnya keningku dengan penuh syukur dan haru, katanya, "Terima kasih, ya Mbak. Aku telah beroleh seorang kesatria darimu!" aku tertawa.Â
"Ahh, ... nggak mau dipanggil Mbak lagi!" seruku sambil kupukul badan kekarnya. Suamiku yang suka bercanda, "Katanya harus tetap dipanggil Mbak?" kami pun tertawa berderai. Di saat kami bercanda, muncullah Mas Dewo mengucapkan selamat kepada kami dengan muka sedih.Â
"Semoga Mbak Rianti segera pulih, Mas!" kusambut tangan Mas Dewo di hadapan suamiku. Mas Dewo hanya mengangguk lemas. Namun, ternyata beberapa saat setelah itu kudengar kabar duka. Rianti, sahabatku, telah meninggalkan suami dan anaknya yang baru dilahirkannya.
Atas izin suami dan seluruh keluargaku, aku memberikan ASI-ku untuk bayi sahabatku Rianti yang telah berpulang. Bersyukur, ASI-ku melimpah sehingga bisa dikonsumsi oleh bayiku dan bayi sahabatku. Ketika saatnya membawa bayiku pulang, yang oleh suami dan ayahku diberi nama Anugrah Prima Putra, aku kepikiran dengan bayi Rianti.Â
Kulihat Mas Dewo pun seperti masih shock dan trauma. Aku ingin membawanya pulang juga. Maka, aku merajuk kepada suami dan seluruh keluargaku untuk membawanya serta agar aku tidak kesulitan untuk memberinya ASI. Untunglah, suamiku mengizinkan dan Mas Dewo pun membolehkannya. Maka, selain membawa Nugi, sulung kami, kami juga membawa pulang ke rumah kami bayi Mas Dewo yang belum diberinya nama itu.Â
Hujan mengguyur bumi sangat derasnya. Kami sampai di rumah dengan selamat membawa dua orang bayi sekaligus. Sungguh, tak kuduga bahwa aku bisa menerima dua orang bayi sekaligus. Apalagi satu di antanya adalah putra mantan pacarku. Sesuatu yang aduhai, bukan?Â
Sebulan kemudian, Mas Dewo dan ibunya datang ke rumah kami hendak menjenguk bayinya. Dengan menangis, ibu Mas Dewo mengucapkan terima kasih kepadaku. Di situlah Mas Dewo jujur kepada ibunya bahwa akulah yang beliau tolak saat itu. Dipeluknya aku sambil meminta maaf. Aku hanya tersenyum, kataku, "Semuanya ada yang mengatur, Bu! Ibu tidak perlu khawatir. Saya tulus mencintai anak ini sebagaimana anak kandung saya sendiri! Biarkanlah dia bersama kami sampai suatu saat Mas Dewo memperoleh pengganti ibunya!"Â