Dua tahun berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku. Saat wisudaku, ternyata Prima beroleh cuti dan bisa menghadirinya tanpa memberitahuku sebelumnya. Lengkaplah kebahagiaanku.Â
Kami berfoto ria bersama. Lengkap. Ada kedua orang tuaku. Ada Mas Prima yang tiba-tiba saja hadir, dan ada juga Pamungkas adiknya yang setia membersamainya. Saat berfoto bersama itulah akhirnya aku tahu bahwa ternyata Rianti dan Mas Dewo pun sudah sampai tahap akhir. Mereka berdua akan segera melangsungkan pernikahan.Â
Maka, aku bersyukur sekali ada Mas Prima, yang ternyata lebih tampan dari Mas Dewo, selalu berada di sampingku dengan mesra. Bahkan, sesekali Mas Prima melingkarkan tangannya ke pundak atau pinggangku. Memelukku mesra seolah tidak ingin berpisah lagi.
"Selamat ya, Nin. Pacarmu tampan sekali!" bisik Rianti sambil memelukku tatkala mereka berdua terpisah dari Mas Dewo.Â
Aku hanya tersenyum dan memintanya datang ke rumah untuk merayakan syukuran. Aku juga memperkenalkan Mas Prima kepada Rianti.Â
"Ini, Mas Prima, calon suami aku!" kataku kepada Rianti, "Dan ini Rianti, teman aku Mas!" kataku kepada Mas Prima saat terpisah dari Mas Dewo yang sedang berfoto bersama keluarga besarnya.Â
Setelah  wisuda usai, kedua orang tuaku ternyata memprakarsai dan mengacarai kami untuk melangsungkan pernikahan sederhana. Ternyata, diam-diam orang tua kami telah mendaftarkan pernikahan kami tersebut sehingga benar-benar merupakan surprise bagi kami berdua.Â
 Setahun berikutnya. Aku sedang menunggu persalinan di sebuah rumah sakit bersalin. Hujan mengguyur bumi sejak semalam. Ibuku menungguiku dengan sabar, sementara Mas Prima masih belum bisa datang. Urusan kantor belum beres katanya dan baru besok bisa memperoleh izin.
Hujan begitu derasnya. Bunyi dentingnya riuh di atap seng beranda rumah sakit itu. Aku sedang berjalan-jalan menunggu pembukaan jalan lahir. Tiba-tiba rasa rindu menyergapku. Aku rindu dan teringat saat Mas Prima menyatakan cintanya di dalam mobil kala itu. Aku rindu sekali. Pria santun yang telah setahun menikahiku dan tiga bulan terakhir harus terpisah dariku ini sungguh membuatku tersanjung bagai seorang ratu. Aku harus rela menahan rindu hanya karena ingin lahiran di kota asalku.Â
Tiba-tiba seorang pasien baru datang. Semua nakes tergopoh-gopoh mempersiapkan kedatangannya yang dirujuk dari tempat lain. Ya, ampun! Pasien itu Rianti diantar Mas Dewo!
"Ya, Tuhan. Dunia begitu sempitnya!" bisikku.