Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 173 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu di Kala Hujan

2 Mei 2024   00:38 Diperbarui: 2 Mei 2024   00:41 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rindu di Kala Hujan

Ah, mendung yang menggelantung sejak pagi tadi membuatku semakin gelisah. Cucian bertumpuk. Yang kemarin saja belum kering benar. Hari ini tentu tidak bisa menjemurnya. Kasihan Bi Imah yang mengurusinya.  

Sebagai anak tunggal, aku bisa saja cuek terhadap segala sesuatu di rumah karena sudah ada asisten rumah tangga. Namun, aku tetap harus belajar mengurus rumah tangga bersama Bik Imah. Antisipasi saja kalau suatu saat harus berjauhan dengan orang tua, aku harus bisa hidup  mandiri. Karena itu, seringkali aku membantu dan sekaligus berguru pada Bi Imah tentang urusan dapur. Ini kulakukan karena ibuku yang juga sebagai wanita karier jarang mengurusi dapur. 

Sementara, mendung begini mengingatkanku akan dia. Ya, aku teringat saat di taman beberapa waktu lalu.

"Mas, bagaimana jika ibumu bersikeras menentang hubungan kita?" tanyaku perlahan sambil menahan tangis.

"Aku juga bingung, Dik. Sementara cintaku hanya untukmu, tetapi satu-satunya orang tuaku tak merestuinya. Aku juga belum selesai kuliah. Jujur aku sangat bingung!"

"Baiklah. Biarlah aku mengalah. Aku tak bisa jika orang tuamu menolakku. Relakanlah aku pergi. Carilah seseorang yang memperoleh restu orang tuamu. Aku tak mau kau menjadi anak durhaka, Mas!" bisikku diiringi jatuhnya tetesan air mata.

Hujan pun turun satu-satu. Aku segera meninggalkannya dengan berlari ke arah bangunan yang beratap. Mas Dewo pun segera mengejarku.

"Dik. Tak bisa begitulah. Kamu harus menghargai perasaanku!" teriaknya sambil berlari mengejarku.

Aku duduk di bangku di tepi bangunan terdekat. Mas Dewo mengikutiku. Duduk tepat di sisiku.

"Sudahlah, Mas. Kau pasti bisa melupakanku. Aku pun akan belajar melupakanmu!" kataku sambil menatap tepat pada netranya. "Ibumu pasti memiliki alasan mengapa beliau menolakku. Barangkali itu sebagai pertanda bahwa kita memang tidak berjodoh. Maka, biarkanlah kita masing-masing berjalan mengikuti alur yang ditentukan Tuhan. Percayalah, jika hari ini kau belum dapat melupakanku, lusa pasti kau akan dimampukannya! Selamat tinggal, Mas!" lanjutku sambil beranjak meninggalkannya.

Kali ini dia terhenyak. Tak lagi mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya memandangi kepergianku dengan mata kosong.

Sejak saat itu, dengan susah payah aku berusaha melupakannya. Hari-hariku kuisi dengan berbagai kesibukan. Biasanya aku tidak pernah mengikuti les ini itu, mulai saat ini aku mengambil les apa saja dengan harapan segera mampu melupakannya.

Les yang pertama kuambil adalah les mengendarai mobil. Usiaku sudah cukup untuk memperoleh SIM. Jika ayah yang semula tidak mengizinkanku mengendarai sepeda motor, akhirnya mengizinkanku menggunakan sepeda motor untuk aktivitasku, aku yakin pasti ayah setuju aku mengambil kursus mengendarai mobil. Ini kejutan buat ayah ibu juga. Tanpa memberi tahu mereka, aku akan segera belajar. Ya, meskipun saat ini belum memiliki mobil, aku menyisihkan uang tabungan pribadiku untuk membayar kursus di salah satu tempat kursus yang jadwalnya sesuai dengan kegiatanku.

Hari pertama kursus, seorang bapak menjadi instrukturku. Beliau menanyakan alasanku mengikuti kursus. Kukatakan jujur bahwa aku sedang mengalihkan perhatianku dari kegalauan. Entahlah aku juga heran mengapa aku begitu polos dan jujur menceritakan kondisiku. Bapak itu memahaminya. Lalu beliau mengatakan bahwa untuk menguasai kendaraan, hati kita harus tenang, tidak boleh grogi dan harus tetap berkonsentrasi. Meskipun hanya satu jam setiap kali pertemuan, tetap saja aku dituntut untuk berkonsentrasi. Tanpa konsentrasi, pelajaran mengendarai kendaraan bermotor akan sangat sulit dilakukan.

Baiklah. Aku justru hendak mengalihkan kesedihan dan kegalauanku. Aku pun berkonsentrasi penuh saat diberinya teori dan sekaligus praktik menjalankan kendaraan. Bersyukur, hari pertama aku bisa mengatasinya. 

Saat pulang dari tempat kursus, tanpa sengaja aku melihat dia sedang berjalan menuju kampus. Aku berusaha tidak menyapanya. Sengaja sepeda motor yang kukendarai kualihkan menuju tempat lain dahulu. Lalu, aku singgah di kantin agar dia berlalu dari penglihatanku.

"Loh, Nin. Tumben sendiri? Mas Dewo mana?"  tanya Rianti beruntun. Aku hanya tersenyum tanpa menjawabnya.

Ya, siapa pun tak boleh tahu kalau aku sudah berniat meninggalkannya. Itu tekadku. Biarlah orang tahu dengan sendirinya tanpa aku memberitahu.

"Kau pesan apa, Nin?" tanya Rianti lagi.

"Biasa, gado-gado!"

"Ok. Hari ini aku mentraktirmu!" 

"Serius?" 

"Iya, apa kamu lupa kalau hari ini aku berulang tahun?"

"Ohh, ... maaf! selamat ulang tahun, ya Rin! Semoga semua yang kauharapkan tercapai!"  ujarku.

"Amin!" jawabnya dengan senyum khasnya. Senyum yang membuat semua orang tergila-gila karena dihiasi gingsul yang menambah manis penampilannya.

Usai menikmati gratisan aku berpamitan. Kali ini aku tidak jadi ke kampus. Aku akan melanjutkan ke tempat kursus sulam pita di Jalan Argopuro.

Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tepat  tiga bulan aku meninggalkan Mas Dewo. Musim hujan masih belum berakhir. Kursusku menyetir sudah selesai. Karena itu, aku melaporkan kepada ayah bahwa aku sudah bisa mengendarai mobil. Maka, aku meminta izin untuk meminjam mobil ayah di hari Minggu besok karena ingin melancarkan penguasaan mengendarai mobil.

"Wah, hebat! Ok, kau boleh meminjam mobil, tetapi harus dengan sopir! Bagaimana?"

"Lah, apa gunanya aku lulus ambil SIM A, Ayah?"

"Ya, nanti kamu boleh memegangnya ketika di tempat sepi. Biar sopir baru kita membawamu ke tanah lapang atau tempat terbaik untuk melancarkan keterampilanmu!" kata ayah tegas.

Hari Minggu yang kutunggu pun tiba. Pagi itu seseorang datang mencari ayah. Penampilannya sangat rapi. Tampaknya dia pemuda baik-baik. Ternyata, ayah memperkenalkannya sebagai sopir barunya. Setelah berbicang-bincang sebentar, ayah mengizinkan aku dan dia berjalan ke mana pun mau. Ayah sudah menceritakan bahwa aku hendak memperlancar kemampuan menyetir. Ia  pun menyanggupi akan menjadi instrukturku.

"Maaf, Mbak. Sementara mobilnya saya bawa dahulu. Nanti di tempat yang akan saya tunjukkan, silakan Mbak yang membawanya!" katanya sambil merunduk santun.

Aku cuma mengangguk mengiyakan. Jika ayah sudah akrab dengannya, aku belum kenal  sama sekali. Sambil mengendarai mobil, dia menceritakan bahwa ayahku adalah orang baik. Ayahkulah yang menolongnya hingga dia menyelesaikan kuliahnya. Dengan sesekali menjadi sopir pribadinya itu, dia bisa membiayai kuliahnya. Kedua orang tuanya sudah tiada, sementara dia masih memiliki seorang adik lelaki yang duduk di bangku akhir SMP. Kini setelah wisuda, ayahku memintanya menjadi sopir pribadinya. Apalagi, selain ayah dan ibu, aku pun harus diantar jemput olehnya. Maka resmi sejak hari ini dialah yang akan mengantarkan kami ke mana pun kami mau.

Nama panggilannya Prima. Lengkapnya Prima Wisesa. Wajahnya lumayan tampan. Dia telah mengantongi ijazah sarjana dengan predikat cumlaude dari perguruan tinggi negeri ternama. Sambil menunggu panggilan kerja, dia menerima tawaran ayah untuk menjadi sopir pribadi kami. 

Aku pun dipersilakan mencoba mengendarai kendaraan di perumahan sepi. Jalannya lumayan bagus. Ada yang lurus dan panjang, ada juga putaran yang tepat sekali untuk berlatih mengendarai mobil. Katanya, Prima dulu juga belajar di tempat itu.

Sebelum aku memulai, dia memberitahukan jurus jitunya untuk berkendara. Aku pun menyimak saja, hitung-hitung menambah pengetahuan. Akhirnya, aku berhasil menundukkan mobil ayah meskipun masih belum sehalus Prima. Tak mengapa. Masih ada kesempatan untuk berlatih sampai aku diizinkan ayah untuk membawanya sendiri.

Sampai di rumah ayah mencecar dengan pertanyaan, "Bagaimana, Prim. Sudah mantapkah Ninoy mengendarai mobil?"

"Sudah lumayan, Pak!" jawab Prima santun.

Aku hanya tersenyum, "Masih ada waktu untuk belajar lagi, kan?" sergahku.

"Ya, tentu saja masih. Nanti biar Prima yang mengatur waktunya. Sesuaikan dengan jadwal kuliahmu, Nin!" kata ayah sambil menatap netra Prima.

Aku langsung menyerbu meja makan. Bik Imah pasti sudah membuatkan sup buntut seperti yang kupesan pagi tadi. Dua hari ini Ibu sedang berada di rumah nenek di kampung, jadi seperti biasa, Bi Imahlah yang menangani urusan dapur.

 Hari itu, hari Senin. Gerimis terus-menerus sejak dini hari membuat pagi menjadi cukup dingin. Aku ada kuliah pagi. Saat ayah ke kantor diantar Prima, aku pun ikut serta. Biarlah mengantar ayah dahulu, baru lanjut mengantarku ke kampus. 

Turun dari mobil, tepat di pintu gerbang kampus, aku melihat Rianti berjalan beriringan dengan Mas Dewo. Aku tidak jadi turun. Aku meminta Prima untuk menuju tempat kami berlatih mobil.

"Mas, aku latihan mobil aja deh. Nggak usah masuk. Mata kuliahnya ringan, kok!" alasanku. Prima diam, tetapi netranya memancarkan rasa sesal melihatku bermalasan kuliah.

"Sebenarnya bukan urusanku, tetapi aku sungguh sangat kecewa jika Mbak tidak bersedia kuliah. Bukankah orang tua pun berharap Mbak berhasil menggapai cita-cita? Mbak enak, loh! Semuanya sudah tersedia! Tinggal menjalaninya saja, mengapa harus malas?" ujarnya sambil menghela napas.

"Sebenarnya... aku sedang berusaha meninggalkan seseorang. Jadi, aku harus membatasi pertemuanku dengannya!" kataku tergagap saat duduk kembali di jok belakang.

"Ohh, ... apakah dengan begitu Mbak mengorbankan masa depan? Jika nilai kuliah hancur, bagaimana? Itu artinya pahlawan kalah perang!" ujarnya. 

"Aku tahu, usia kita palingan berbeda tiga tahunan. Aku pun tahu tak seharusnya masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan Mbak. Akan tetapi, aku juga tidak mau ikut andil dalam ketidakberhasilan Mbak karena bagaimana pun aku telah menjadi bagian dari keluarga Mbak. Apa aku bisa diam saja?" lanjutnya.

"Seandainya Mbak gadis kecil, pastilah sudah kugendong kuantar masuk kelas karena itu merupakan tanggung jawabku. Nah, karena Mbak sudah sebesar ini, apakah aku harus menggendongmu? Katakan padaku, bagaimana aku harus bertanggung jawab?"

"Hmm ...!" geli juga aku mendengar pertanyaan terakhirnya.

"Biasa sajalah, Mbak. Nggak usah dipikir. Tetap saja kuliah dengan biasa saja. Jangan korbankan kuliahmu! Tunjukkan kalau Mbak dewasa dalam berpikir!" 

Aku hanya diam. Maka lanjutnya, "Ikutlah kuliah. Aku akan menunggu Mbak di sini! Hanya sembilan puluh menit, kan?" aku mengangguk. "Nah, silakan Mbak kuliah dulu. Berkonsentrasilah. Setelah selesai, segera kita belajar mobil. Bagaimana? Atau Mbak saya ajak ke tempat yang indah. Setuju?"

Akhirnya, aku pun ikuti apa katanya. Entahlah, seperti punya magnet saja! Setelah mendengar betapa sulitnya dia harus menjalani hidup tanpa orang tua, aku jadi semakin paham bahwa bagaimana pun aku tak boleh lagi bermalas-malasan kuliah. Walau alasanku tidak mau bertemu dengan Mas Dewo, aku harus mempersiapkan hatiku untuk tetap bertahan pada prinsip. Jika aku yang memprakarsai perpisahan, akulah yang harus menunjukkan nyaliku. 

Usai kuliah, Rianti mengejarku. "Nin, terima kasih, ya! Atas semua pengorbananmu, kini semuanya boleh terjadi!" aku terperangah. Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya.

"Apaan, sih? Aku nggak ngerti, deh!" sergahku, "Lagian aku keburu, Rin!"

"Oh, ya sudahlah!"  seru Rianti karena aku pun segera berlari meninggalkannya.

Aku segera menuju tempat parkir. Dengan senyum khasnya Prima membukakan pintu bagiku. Akan tetapi, kali ini aku ingin duduk di jok depan bersebelahan dengannya. Jadilah kami menuju tempat berlatih biasanya. Keterampilanku semakin meningkat. Harapanku, setelah bisa mengendarai sendiri, aku akan memberikan surprise untuk ibuku. Aku akan mengajaknya berkeliling kota.

Hujan masih menyerbu. Sesuai janjinya, setelah itu ternyata Prima membawaku ke suatu tempat. Ternyata, dibawanya aku ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana. Ada satu set meja kursi tamu model kuno, tetapi masih layak digunakan. Maka, Prima pun mengajakku masuk duduk di sana. 

Dipayunginya aku menuju rumahnya. Hanya adiknya, Pamungkas, yang masih mengerjakan pekerjaan rumah berada di situ. Prima yang telah membelikan oleh-oleh berupa makanan untuk adiknya itu memintanya segera makan. Maka, setelah mengulurkan tangan menyalamiku, segera Pamungkas menyantap makan siangnya.

"Seperti inilah kondisi kami, Mbak! Mohon maaf!" katanya sambil membungkuk. Mataku pun nanar karena kelenjar air mataku mendesakkan airnya. Kata 'seperti ini' sungguh sangat mengiris hatiku. Maka, tetiba otakku menyeruakkan kata, "Jika kondisinya seperti ini telah melahirkan seorang pemuda santun yang telah berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat mencengangkan, lalu bagaimana dengan aku?" kuusap mukaku dengan saputangan yang kuambil dari tas kecilku agar tak tampak olehnya kalau aku menangis.

Untunglah hujan turut andil membasahi rambut dan mukaku sehingga kalaulah aku mengelap mukaku tak tampak benar air mataku. Tiba-tiba saja aku salut akan perjuangannya dan berjanji tidak akan menyia-nyiakan kuliahku hanya karena seseorang. Hujan masih lumayan deras. Namun, kami bertekad hendak pulang. 

Saat di mobil menuju pulang, di tengah jalan yang sepi, tiba-tiba Prima meminggirkan kendaraan dan mematikan mesin. Dimundurkanlah posisi kursi hingga menjauh dari kemudi.

"Seandainya aku sudah memperoleh pekerjaan, apakah Mbak tetap bersedia menjadi temanku?" tanyanya.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Ya, Mbak. Maafkan aku. Aku tahu, aku ini hanya sopir pribadi keluarga Mbak. Tetapi, aku ingin lebih dari itu. Seandainya aku sudah bekerja, apakah Mbak bersedia menerimaku sebagai calon suami? Jujur, sejak pertama bertemu, aku selalu memikirkan Mbak. Ini belum pernah terjadi seumur hidupku!" 

Aku terhenyak. Aku tak bisa menjawabnya. Aku juga memundurkan posisi kursiku, lalu menoleh padanya.

"Aku sedang menunggu panggilan tes di suatu kantor. Tolong bantu mendoakan, ya... agar aku diterima di sana. Aku janji, aku akan setia menunggu sampai Mbak bersedia menjadi calon istriku!" katanya dengan bergetar. "Apakah aku yang miskin ini tidak layak mengatakan hal itu?" tanyanya pelan sekali.

 "Aku hargai kejujuran dan ketulusanmu, tetapi aku juga harus menyelesaikan kuliahku seperti nasihatmu!" jawabku tak kalah pelan. 

"Iya, aku sanggup menunggu sambil mempersiapkan masa depan!" katanya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu!" lanjutnya. Beberapa saat kemudian, "Bagaimana, apa aku diterima?" tanyanya nanar sambil menatap langsung netraku.

Aku tersenyum mengangguk. Dengan terbata-bata ia berkata, "Aku berjanji akan setia dan mempersiapkan masa depan dengan lebih bersemangat!" katanya sambil mengambil kedua telapak tanganku untuk dibawanya ke dadanya.

"Terima kasih, Mbak!" lalu diciumnya kedua punggung tanganku.  

Aku tertawa bahagia. Ada getar yang tak dapat kutahan, "Mulai saat ini jangan pernah ubah panggilanmu padaku ya Mas ...'Mbak' ... !" kataku manja. Dia pun tersenyum malu.

Dua hari kemudian, Prima dipanggil tes di salah satu kantor bank ternama. Tes tersebut akan berlanjut sepuluh kali. Karena itu, dia datang kepada ayah untuk memohon izin dan sekalian memohon restu agar semuanya berjalan lancar. 

Maka, beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti serangkaian tes, dia pun dipanggil dan diterima sebagai karyawan bank ternama di ibukota. Sebelum melaksanakan tugasnya, sekali lagi dia datang kepada kedua orang tua kami untuk memohon restu, sekaligus mengemukakan keinginannya hendak mempersunting aku setelah persiapannya matang.

Orang tua kami menyerahkan semuanya padaku. Ketika aku mengangguk, dia pun mendatangi tempat dudukku. Sambil berjongkok di depan lututku, dia mengatakan, "Aku berjanji akan mempersiapkan masa depan kita. Aku juga berjanji di depan kedua orang tua kita bahwa aku berniat akan membahagiakanmu! Berjanjilah padaku untuk setia menungguku!" aku mengangguk tanpa menjawab sambil berurai air mata.

Lalu dia datang pula ke pangkuan kedua orang tuaku untuk meminta doa sambil menitipkan adiknya karena dia merasa tidak mungkin mengawasinya dari kejauhan. Orang tuaku menyanggupinya. Sejak saat itu, atas inisiatif orang tuaku, rumah Prima disewakan dan Pamungkas diminta tinggal bersama kami. Pamungkas yang sudah menduduki bangku sekolah menengah atas menyetujuinya, apalagi jarak sekolahnya juga dekat dengan rumah kami sehingga dia tinggal berjalan kaki sekitar satu kilometer saja. Pamungkas tahu bahwa Prima sudah menjadi calon suamiku sehingga di antara kami sudah ada ikatan batin yang kuat.

Dua tahun berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku. Saat wisudaku, ternyata Prima beroleh cuti dan bisa menghadirinya tanpa memberitahuku sebelumnya. Lengkaplah kebahagiaanku. 

Kami berfoto ria bersama. Lengkap. Ada kedua orang tuaku. Ada Mas Prima yang tiba-tiba saja hadir, dan ada juga Pamungkas adiknya yang setia membersamainya. Saat berfoto bersama itulah akhirnya aku tahu bahwa ternyata Rianti dan Mas Dewo pun sudah sampai tahap akhir. Mereka berdua akan segera melangsungkan pernikahan. 

Maka, aku bersyukur sekali ada Mas Prima, yang ternyata lebih tampan dari Mas Dewo, selalu berada di sampingku dengan mesra. Bahkan, sesekali Mas Prima melingkarkan tangannya ke pundak atau pinggangku. Memelukku mesra seolah tidak ingin berpisah lagi.

"Selamat ya, Nin. Pacarmu tampan sekali!" bisik Rianti sambil memelukku tatkala mereka berdua terpisah dari Mas Dewo. 

Aku hanya tersenyum dan memintanya datang ke rumah untuk merayakan syukuran. Aku juga memperkenalkan Mas Prima kepada Rianti. 

"Ini, Mas Prima, calon suami aku!" kataku kepada Rianti, "Dan ini Rianti, teman aku Mas!" kataku kepada Mas Prima saat terpisah dari Mas Dewo yang sedang berfoto bersama keluarga besarnya. 

Setelah  wisuda usai, kedua orang tuaku ternyata memprakarsai dan mengacarai kami untuk melangsungkan pernikahan sederhana. Ternyata, diam-diam orang tua kami telah mendaftarkan pernikahan kami tersebut sehingga benar-benar merupakan surprise bagi kami berdua. 

 Setahun berikutnya. Aku sedang menunggu persalinan di sebuah rumah sakit bersalin. Hujan mengguyur bumi sejak semalam. Ibuku menungguiku dengan sabar, sementara Mas Prima masih belum bisa datang. Urusan kantor belum beres katanya dan baru besok bisa memperoleh izin.

Hujan begitu derasnya. Bunyi dentingnya riuh di atap seng beranda rumah sakit itu. Aku sedang berjalan-jalan menunggu pembukaan jalan lahir. Tiba-tiba rasa rindu menyergapku. Aku rindu dan teringat saat Mas Prima menyatakan cintanya di dalam mobil kala itu. Aku rindu sekali. Pria santun yang telah setahun menikahiku dan tiga bulan terakhir harus terpisah dariku ini sungguh membuatku tersanjung bagai seorang ratu. Aku harus rela menahan rindu hanya karena ingin lahiran di kota asalku. 

Tiba-tiba seorang pasien baru datang. Semua nakes tergopoh-gopoh mempersiapkan kedatangannya yang dirujuk dari tempat lain. Ya, ampun! Pasien itu Rianti diantar Mas Dewo!

"Ya, Tuhan. Dunia begitu sempitnya!" bisikku.

Aku tak dapat menemui mereka karena rupanya kondisi Rianti kurang baik. Rianti  segera didorong dilarikan ke ruang operasi. Beberapa jam kemudian, bayi Rianti lahir dengan cara operasi caesar. Namun, kudengar kondisi Rianti kritis karena pendarahan dan hipertensi.

Pembukaan jalan lahirku satu jam yang lalu sudah mencapai angka tujuh. Rasa sakit luar biasa tetap menyerangku. Aku bersyukur sebab dengan demikian, putra kami akan segera lahir. Aku tetap berjalan-jalan ditemani ibuku. Hanya di seputaran halaman rumah sakit karena hujan masih belum reda juga. 

Pamungkas sudah mampu mengantar jemput kami sehingga bisa kami mintai tolong ini itu. Maka aku memintanya untuk membelikan makanan favoritku: aneka sayur di Depot Santai. 

Setelah Pamungkas datang, aku pun makan dengan lahap sekali. Aneh. Rasanya sangat enak. Ibuku senang karena dengan demikian aku punya tabungan energi untuk melahirkan putraku dengan cara biasa. Lima jam setelah itu, putra pertamaku lahir dengan lancar. Putraku lahir di senja hari! Sempurna! Syukur kusampaikan kepada-Nya.

Keesokan harinya Mas Prima datang dari ibukota.  Saat di ruang rawat inap, diciumnya keningku dengan penuh syukur dan haru, katanya, "Terima kasih, ya Mbak. Aku telah beroleh seorang kesatria darimu!" aku tertawa. 

"Ahh, ... nggak mau dipanggil Mbak lagi!" seruku sambil kupukul badan kekarnya. Suamiku yang suka bercanda, "Katanya harus tetap dipanggil Mbak?" kami pun tertawa berderai. Di saat kami bercanda, muncullah Mas Dewo mengucapkan selamat kepada kami dengan muka sedih. 

"Semoga Mbak Rianti segera pulih, Mas!" kusambut tangan Mas Dewo di hadapan suamiku. Mas Dewo hanya mengangguk lemas. Namun, ternyata beberapa saat setelah itu kudengar kabar duka. Rianti, sahabatku, telah meninggalkan suami dan anaknya yang baru dilahirkannya.

Atas izin suami dan seluruh keluargaku, aku memberikan ASI-ku untuk bayi sahabatku Rianti yang telah berpulang. Bersyukur, ASI-ku melimpah sehingga bisa dikonsumsi oleh bayiku dan bayi sahabatku. Ketika saatnya membawa bayiku pulang, yang oleh suami dan ayahku diberi nama Anugrah Prima Putra, aku kepikiran dengan bayi Rianti. 

Kulihat Mas Dewo pun seperti masih shock dan trauma. Aku ingin membawanya pulang juga. Maka, aku merajuk kepada suami dan seluruh keluargaku untuk membawanya serta agar aku tidak kesulitan untuk memberinya ASI. Untunglah, suamiku mengizinkan dan Mas Dewo pun membolehkannya. Maka, selain membawa Nugi, sulung kami, kami juga membawa pulang ke rumah kami bayi Mas Dewo yang belum diberinya nama itu. 

Hujan mengguyur bumi sangat derasnya. Kami sampai di rumah dengan selamat membawa dua orang bayi sekaligus. Sungguh, tak kuduga bahwa aku bisa menerima dua orang bayi sekaligus. Apalagi satu di antanya adalah putra mantan pacarku. Sesuatu yang aduhai, bukan? 

Sebulan kemudian, Mas Dewo dan ibunya datang ke rumah kami hendak menjenguk bayinya. Dengan menangis, ibu Mas Dewo mengucapkan terima kasih kepadaku. Di situlah Mas Dewo jujur kepada ibunya bahwa akulah yang beliau tolak saat itu. Dipeluknya aku sambil meminta maaf. Aku hanya tersenyum, kataku, "Semuanya ada yang mengatur, Bu! Ibu tidak perlu khawatir. Saya tulus mencintai anak ini sebagaimana anak kandung saya sendiri! Biarkanlah dia bersama kami sampai suatu saat Mas Dewo memperoleh pengganti ibunya!" 

Mereka menyetujui ketika kuberikan nama 'Nugroho Karunianto' kepada bayi mungil yang biasa kupanggil Nugo itu. Jadi, ada Nugi putra kandung kami, dan Nugo putra sulung Mas Dewo. Beruntung sekali, suamiku sangat menyetujui niat baikku untuk mengasuh Nugo walaupun akhirnya kuberitahu bahwa Mas Dewo itulah orang yang sengaja kutinggalkan saat itu. Suamiku yang hatinya luar biasa itu sangat respek dan justru merasa bersyukur karena aku mau menerima dan mengasuhnya sebagaimana anak kandungku! Entah terbuat dari apa hatinya itu sehingga baiknya luar biasa! Dan anehnya lagi, wajah kedua bayi itu sangat mirip seolah dua bayi kembar! 

Karier Mas Prima pun semakin melejit.  Dua tahun kemudian, suamiku memperoleh kesempatan berkuliah program magister ke mancanegara yang diprediksi akan berlangsung selama dua tahun. Karena itu, aku dan dua jagoanku yang sudah mulai pandai berceloteh siap hendak mengikutinya. Aku tidak mau kesepian. Aku akan mendampingi suamiku walaupun harus mengurus sendiri dua balitaku di negeri orang. Suamiku pun sangat mendukung keputusanku sebab dengan hadirnya dua balita tersebut pasti akan menjadi penyemangatnya.

Ayah dan ibu yang mengantar kami hingga pintu keberangkatan sempat menitikkan air mata, "Kami akan merindukan kalian!" demikian pula Mas Dewo dan ibunya yang mengantarkan kami pun menciumi pipi jagoan kami dengan mesra. 

"Doakan kami, ya ... !" bisikku sambil memeluk mereka. Mas Prima yang menggendong Nugo dan aku menggendong Nugi segera meninggalkan mereka. 

"Sampai ketemu dua tahun mendatang. Semoga Mas Dewo sudah beroleh istri, ya!" kataku sambil berjalan meninggalkan mereka. Dua balita kami pun berceloteh riuh mengangkat tangan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun