Mohon tunggu...
ninja berkarya
ninja berkarya Mohon Tunggu... -

Tempat berkumpulnya karya para penulis sastra yang tergabung di dalam komunitas Ninja Berkarya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - puisi Ninbera Edisi 3 : Kang Arief

25 Januari 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SAYANG,  MARI KITA BERSUMPAH

Bulan tak lagi muda, saat langit bimbang mengarak malam

Bulan memang sudah tua, ketika kau rantingkan sepi ke gugus awan

Lantas, angin-angin yang di siurnya kau labuh gelisah

Terusir, telusuri tanah gersang di negeri bersebut entah

Kau rindu, sayang ?. Serinduku pula

Pada kelebatan bendera yang gagah tengger di pucuk tiang

Pada pemuda-pemuda yang di puluhan tahun silam seru ajakan bersatu

Sayang, masihkah kau hafal bunyi sumpah keramat itu

Saat memaklumkan kesukuan, dan kebahasaan

Demi terciptanya ruang rahim untuk keindonesiaan

Lalu, kini menangiskah mereka ketika kebangsaan kian lapuk terkerat waktu

Dan sekian seremonial hadir, hanya lahirkan peringatan-peringatan bisu

Dari hari ke hari, laut yang menyatukan pulau-pulau kita menangis

Saksikan satu demi satu daratan teriris

Keluar dari peta, menjadi bagian negara tetangga

Sedang nelayan-nelayan dan anak-anak petani tak henti bertatap ratap

Menikmati garam dan beras yang di dulang dari seberang lautan

Bulan memang tak lagi muda, ketika waktu tuliskan usia ke tubuhnya

Sudah, sudah puluhan tahun yang lalu

Tapi kurasa rindumu masih berasa sama denganku

Terhadap ucapan lantang seorang pemuda. Bahwa :

Dari Sabang sampai Merauke bukanlah empat rangkaian kata

tanpa makna (*).  Dan tentunya bersumpah setia

tak cukup pula: hanya kata.

***

(*) Kutipan Pidato Ir Soekarno Presiden Pertama Indonesia saat Pidato GESURI HUT RI tahun 1963

....

P U I S I  K  I T A

Saat senja aku selalu mengajakmu duduk di beranda

Menikmati semburat jingga sembari membaca puisi di sana

Puisi yang menjadi perangkum biji-biji asa

Agar kelak tersemaikan dan tumbuh di dada anak-anak kita

Sayang, tentu kau masih mengingat lekat,  bunyi puisi itu

Yang karenanyalah kau dan aku, memutuskan berikrar untuk bersatu

Menjadi satu yang tak semata karena di paksa keadaan

Tetapi oleh lahirnya sebentuk kesadaran

Dalam satu yang tak di paksa-paksakan, demi alasan persatuan

Dalam satu yang tak saling menghilangkan, demi alasan keseragaman

Karena puisi itu bukanlah perjanjian untuk saling meniadakan

Melainkan kesepahaman untuk temukan kesatuan di dalam keberagaman

Sayang, meski kuyakin kau tak akan lupa isi puisi itu

Tetapi aku tak bosan mengulang membacanya di depanmu

Mengisikan bebisik batin jadikannya bak doa-doa

Yang mengikat janji kita dalam sumpah setia

Maka kembali kupinta dengarkanlah puisi yang kubaca :

Soempah Pemoeda (*)

Pertama : Kami poetera dan poeteri Indonesia

Mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia

Mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga : Kami poetera dan poeteri Indonesia

Mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Perlahan kau pun serta iringiku membaca puisi, pada senja

Dalam kilatan-kilatan kenangan yang terus menjauhi kita

“ Aku takut berpindah negara

Karena  harga beras yang terus memanjat ke langit biru,”

Itu alasanmu, saat kutanyakan mengapa

Dan entah, senja kurasa menjadi sedemikian terluka

Saat  kusaksikan wajahmu membayang

Di sebalik kata-kata dalam puisi itu, sayang.

***

(*) Sumpah Pemuda versi lama sebagaimana rumusan  yang ditulis  oleh Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres ( hari kedua Konggres Pemuda, Minggu 28 Oktober 1928)

Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh M. Yamin

Ngawi, 31 Oktober 2011.

....

YANG BERTANYA dan YANG BERSERU

Seperti malam yang bergugur di mulut fajar

Pada akhirnya siang pun akan terlipat ke balik malam

Burung yang kita kagumi lantaran ketekunannya membangun sarang

Senja ini kusaksikan sayap mereka berpatah

Di kala menutup langlang ceritanya yang panjang

Lantas apa yang tersisa dari penggalan-penggalan waktu

Apakah sekadar cetak tetilas lawas yang berkisah dari lontar bercendawan

(?)

Maka sebenarnya tubuh adalah kuas dan pena yang bermata dan bertelinga

Yang kan terus tuliskan tentang nama-nama

Hingga pada satu masa tulisan itu akan bercerita

Tentang nama-nama kita pula

(!)

***

PESAN ILALANG PADA  ANAK BURUNG

Hembus angin merobohkan dinding-dinding mendung

Rintikkan gerimis saling pendar

Di sisa garis senja yang kian memudar

Titiknya mengurung anak burung bak jeruji penjara

Ketika menanti berpulangnya kabar dari balik awan

Apakah yang tercetak di matamu dari langit di kejauhan

Pelangi yang lengkung membusur di horison dengan warna-warna

Ataukah bebau tanah di penghujung kemarau, yang

teriknya acap kelabui arah terbang burung-burung ?

Jika keabadian adalah milik perubahan

Maka kepastian ada pada ketetapan hati

Di kala menentukan pilihan dari beragam kemungkinan.

***

KETIKA AKU MELUKISMU

Malam masih bersetia menjadi kanvas

Bagi asap cigaretku di kala melukiskan wajahmu

Ya, aku telah memilih untuk melukiskanmu saja

Setelah kata kehabisan ungkap

Tersebab sering digunakan untuk mendusta

Meski telah bertudung sebutan janji atau bahkan prasetya

Begitulah manusia yang sedemikian cendikia

Menggusur kejujuran makna dengan kepiawaian berkata-kata

Mencipta kata menjadi luka menyesaki bilik-bilik dada

Seberapa panjang malam kan terus berjaga. Entah

Tapi ruangnya masih teramat luas

Untuk menampung jurai rambut dan lentik bulu matamu

Demi terbitnya kembang bibirmu yang secantik garis pesisir

Serupaku yang tetap bersetia berjaga untuk melukiskanmu

Hingga kepulan asap terakhirku

***

TANGISAN REMBULAN.

Malam begitu tajam, serupa paruh gagak

Mencabikku di dalam sepi

Dan ialah perih ini yang serupa luka-luka rembulan

Ketika mega-mega menyorongnya dalam kesendirian

Dingin ini terasa kian menyayat saat bulan berkaca kisah

Tentang Nawang dan jejaka bumi di ratusan tahun silam

Menelisik tentang musabab tumbuhnya cinta

Tentang rindu yang menimbulkan luka

Tentang sebulir padi yang tak lagi mengenyangkan

Ketika terkuak dusta atas selembar selendang

Menangiskah rembulan ??

Saat kurasakan dingin turut mengurungku, yang

tak jua usai menulis ulang satu cerita

Tentang rembulan yang pecah di bubungan malam

Oh Dewi, jika berkenan mari menangis bersamaku

Bersama Bumi.

***

PESAN

: Gempa Denpasar

Sayup-sayup kudengar

Geletar dari rimba kering dan sungai berbatu-batu

Tuturkan hijau dedaun yang lelap ke dalam lukisan

Dan wangi lumpur yang terusir dalam dongeng pengantar tidur

Sayup-sayup kurasa

Lautan yang gemetar melalui debur gelombang

Di senandung gemuruh dari dalam kepundan

Tiadakah itu :

Gelegak suara yang terbit dari dalam panasnya perut bumi

Gelegar yang buncahkan percik gelombang di hadapan gugus karang

Adalah teriakan suara-suara keangkuhan

Yang telah gugurkan bunga-bunga sebelum semi menjadi puisi

Seperti kecongkakan yang terbitkan gempa di bumi dada kita yang sepi

(?)

Pada kehadiran daun-daun kering, batubatu bisu

Dan gelegar gelombang

Mari kita kembali belajar mengeja aksara

Berkaca rupa.

***

KABAR LAMA DAN MASIH HINGGA KINI

Kawan:

Kukirimkan sepucuk risalah yang dituliskan jurang-jurang

Ketika tebing menanti jamahan kabut ke tubuhnya yang terjal

Surat perih dari gunung yang kehilangan sebagian hutan

Dan di paksa tergusur menghuni bingkai lukisan

Satu kabar yang bercerita

Tentang sawah dan ladang yang meratapi riwayat kesuburan

Yang kini hanya bisa dinikmati dalam syair bertembang kenangan

Bukan cerita dan lagu baru memang

Apalagi di negeri yang kebijakannya : serba gamang

***

ADA PUISI PADA GERIMIS

Di gerimis ini ada puisi

Kutulis di kala segala mati

Ketika manusia ciptakan dunia

Untuk penjarakan kebebasan mereka yang nyata

Pada gerimis ini ada puisi

Kubacakan di kala segala sepi

Teriaknya nyaring melindas deru taufan

Ketika keangkuhan menelikung jernihnya kesadaran

Di gerimis pada hujan

Alamat puisi yang kutulis dan kubacakan

Diketika segala mati, menuju

Sepi.

***

KEPADA MUSIM AKU TAK ENGGAN

Apakah yang terlipat di kaki langit

Di sanakah sembunyi sisa-sisa gerimis

Yang berhari kucari untuk membayar dahaga kepada sepi

Tak lelah kuraup guguran dedaun mendung

Yang hempas dari dahan-dahan mega

Dan merupakan kataku selaiknya derai hujan

Dalam harap untuk merahimkan sunyi pada keheningan

Terus kan kutuliskan berbait puisi tentang segala musim

Untuk kemarau untuk hujan

Bahkan bagi musim yang diam-diam telah terusir

***

LAGI, TENTANG KERINDUAN

Kadang serupa kabut

Melayang melingkupi ladang-ladang

Hinggap di pucuk-pucuk ilalang

Membasahi batang-batang perdu

Untuk kemudian pendar

Kala menabrak ranting-ranting cemara hutan

Mencari tempat berpasrah

Kulai di basah rerumput

Menunggu mentari menjemput

Demi hadirkan sebentuk kerinduan

Yang senantiasa berasa baru

Tak harus berwujud embun

Kabut ataupun harus berupa hujan

Tetapi hadir dalam sebentuk kesejukan.

***

SEKATA PUISI SAJA, JIKA MASIH ADA.

Pada gugus awan yang manakah bebayangmu merahim

Setelah repih wajahmu tergulung butir embun pagi tadi

Bersama bumi aku tak letih mengharap

Kau kan kembali hadir mendekap pada malam yang hitam;

pada senyap yang pekat

Semusim sudah jalan dan tanah-tanah kita berkesah lelah

Rindui bulan yang tak bersegera mencapai purnama

Demi damba sesaji kelopak bebunga puisi

Di wangi pembakaran garu dan puja setanggi

“Sekata puisi saja, ” bisik rembulan.

“Tentang gerimis, tentang hujan

Kalimat cinta mega-mega kepada lautan

Yang telah mengisi tubuhnya dengan uapan gelombang”

Hanya sekata saja yang ia minta

Tentang cinta yang telah jarang terucapkan

Oleh mulut kita kepada alam

Meski isi perutnya tunai sudah kita keruk, demi kemasyuran.

Pada gugus awan yang manakah bulan kan kembali tersenyum

Bersama kembang gurat bibirmu, sayang

Tanyaku saat embun penghabisan luruh dari pucuk dedaun

Ketika perlahan mentari merangkak menyayat halimun

Dan rumput-rumput beku oleh mimpi-mimpi bisu

Di jalanan, tempat hujan bergenang-genang risau

***

PADA : KABUT

Pada segala musim yang berkabut semalam

Waktu hendak berkisah, tentang segenap niscaya

Yang  hinggap ke tubuhnya

Untuk kemudian raib menghuni loker-loker nasib

Sementara kita, tak sedang berlari ke mana

Melainkan mendatangi dan memungutnya

Di mana pun arah dan wajah hendak berhadap

***

DI TOKO BUKU

Nayla :

Malam bersedekap di sela dedaunan

Menahan gigil rinai dan derai hujan

Dari teras mata kita terpaku

Demi menyaksi tumpukan buku, yang

lembarnya mulai usang termakan jaman

Dan ribuan kata larut bak genang hujan ke selokan

tak meninggalkan bekas meski sekolom catatan.

Aku menuntunmu pada petang

menyusur lorong-lorong remang

Mencari jendela masa yang masih sudi terkuak

Untuk ajarkanmu mengintip perjalanan

di sepinya lalulalang pada cetak tulisan

***

SUARA-SUARA.

Suara-suara menuruni gigir bebukitan

Gema di antara semak dan rerumputan

Menyibak alang-alang menyisir jurang-jurang terjal

Demi temukan sungai dan bertanya pada muaranya

“ Apa kabar air yang terbit dari sendang

setelah sekian jauh menempuh perjalanan ?”

“ Masih bergemericik ketika menimpa kerikil-kerikil kali.

Sebening suara itu pula air yang bersumber dari tubuhmu,”

Jawab yang timbul tenggelam di kelok-kelok sungai.

Suara-suara merayap di atas tanah-tanah basah

Melayang bak kabut dan hinggap di salah satu pematang

Dan bertanya kepada ladang

“Apa kabar air yang terbit dari sendang,

setelah turut meliatkan tanah menjadi lumpur ?”

“ Masih sewangi tanah yang telah menghidupkan bebijian.

Sesegar sawah yang hijau menghampar,” jawab ladang-ladang

Suara-suara terbang bersama angin

Menyapa lembut dahan-dahan jati

Melesat di antara gugusan mega

Menyelusup di megahnya bubungan-bubungan mewah

Dan mendarat di satu tepi lautan, bertanyalah ia

“Apa kabar air yang terbit dari sendang

setelah sekian panjang menjadi cerita ?”. lautan terdiam

Suara-suara pun terdiam, saat ia saksikan

Air laut keruh bersampah. Berbau minyak berwarna hitam

Tak jernih, sebening suara ricih air di kali

Tak segar seperti hamparan hijau di ladang

Tak lagi wangi seperti aroma bongkah tanah di sawah

Suara-suara melayang, melesat ke awan

Membujuk matahari agar bersinar lebih terik

Di leburnya tubuh ke gumpal awan

“ Menjadi mendung, jadikanlah aku mendung

biar mampu kujernihkan air  yang terlanjur hitam.

Bersama hujan.” Bisik suara-suara.

***

MAAF SAYANG JIKA BUKAN PUISI INDAH, UNTUKMU

Maaf sayang , lelakimu ini bukan penyair

yang mampu lukiskanmu dalam kata dengan berjuta  tafsir

Tak pula pujangga, yang kan abadikanmu di ribuan karya indah

dengan lautan kalimat berhiaskan gulung gelombang madah

Aku lelakimu ini, hanya bisa menyusun sedikit aksara

saat ketajaman rindu menghunjam ke balik dada

coba mengusir  kesenyapan yang menubuh ke bilik-bilik kita

tersebab segala ucap  yang  tiba-tiba murca

Aku lelakimu,

yang hanya mampu melukismu di atas lembar kering dedaun jati

Lelaki yang mengikat anak rambutmu dengan batang alang-alang

dan bukan tali ikat bermahkotakan singgasana kembang

Aku lelakimu,

yang  tak kan berlelah-lelah memperdebatkan diksi

sementara periukmu risau oleh keterjaminan nasi, dan

anak-anak kita  mengigau gelisah

oleh mahalnya harga buku dan bangku-bangku sekolah

Maaf sayang, maaf

Jika aku tak pernah menuliskan puisi untukmu

Karena aku tak tega membuaimu dengan kata yang mengharu biru

Sedang dari hari ke hari segala timpang masing terjadi

Dan keadilan atas kesejahteraan kita, masih terus saja dicurangi

Maka maafkan aku sayang

Jika bukan kalimat-kalimat  indah yang kuberikan

Melainkan panasnya kata yang lahir dari kerasnya kenyataan

Kerana puisi dan syair adalah tandu perubahan jaman

Di ketika retorika gagap, tertelikung kepentingan

Maka, perempuanku

tak usah galau jika karena itu aku tak tersebut penyair

Karena benar, aku memang bukan seorang penyair

Hanya sekedar lelaki penutur, yang kerab mewakilkan rindu di sebaris kata

Yang bertekad untuk tak letih bersuara

Untukmu, untuk anak-anak dan untuk banyak lagi yang lain di negeri kita.

Ngawi, 24102011

( diperbaiki dari catatan pendek status Fb, supaya lebih mirip puisi)

...
Kang Arief ( seorang petani ) di ngawi Jatim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun