SAYANG, MARI KITA BERSUMPAH
Bulan tak lagi muda, saat langit bimbang mengarak malam
Bulan memang sudah tua, ketika kau rantingkan sepi ke gugus awan
Lantas, angin-angin yang di siurnya kau labuh gelisah
Terusir, telusuri tanah gersang di negeri bersebut entah
Kau rindu, sayang ?. Serinduku pula
Pada kelebatan bendera yang gagah tengger di pucuk tiang
Pada pemuda-pemuda yang di puluhan tahun silam seru ajakan bersatu
Sayang, masihkah kau hafal bunyi sumpah keramat itu
Saat memaklumkan kesukuan, dan kebahasaan
Demi terciptanya ruang rahim untuk keindonesiaan
Lalu, kini menangiskah mereka ketika kebangsaan kian lapuk terkerat waktu
Dan sekian seremonial hadir, hanya lahirkan peringatan-peringatan bisu
Dari hari ke hari, laut yang menyatukan pulau-pulau kita menangis
Saksikan satu demi satu daratan teriris
Keluar dari peta, menjadi bagian negara tetangga
Sedang nelayan-nelayan dan anak-anak petani tak henti bertatap ratap
Menikmati garam dan beras yang di dulang dari seberang lautan
Bulan memang tak lagi muda, ketika waktu tuliskan usia ke tubuhnya
Sudah, sudah puluhan tahun yang lalu
Tapi kurasa rindumu masih berasa sama denganku
Terhadap ucapan lantang seorang pemuda. Bahwa :
Dari Sabang sampai Merauke bukanlah empat rangkaian kata
tanpa makna (*). Dan tentunya bersumpah setia
tak cukup pula: hanya kata.
***
(*) Kutipan Pidato Ir Soekarno Presiden Pertama Indonesia saat Pidato GESURI HUT RI tahun 1963
....
P U I S I K I T A
Saat senja aku selalu mengajakmu duduk di beranda
Menikmati semburat jingga sembari membaca puisi di sana
Puisi yang menjadi perangkum biji-biji asa
Agar kelak tersemaikan dan tumbuh di dada anak-anak kita
Sayang, tentu kau masih mengingat lekat, bunyi puisi itu
Yang karenanyalah kau dan aku, memutuskan berikrar untuk bersatu
Menjadi satu yang tak semata karena di paksa keadaan
Tetapi oleh lahirnya sebentuk kesadaran
Dalam satu yang tak di paksa-paksakan, demi alasan persatuan
Dalam satu yang tak saling menghilangkan, demi alasan keseragaman
Karena puisi itu bukanlah perjanjian untuk saling meniadakan
Melainkan kesepahaman untuk temukan kesatuan di dalam keberagaman
Sayang, meski kuyakin kau tak akan lupa isi puisi itu
Tetapi aku tak bosan mengulang membacanya di depanmu
Mengisikan bebisik batin jadikannya bak doa-doa
Yang mengikat janji kita dalam sumpah setia
Maka kembali kupinta dengarkanlah puisi yang kubaca :
Soempah Pemoeda (*)
Pertama : Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Perlahan kau pun serta iringiku membaca puisi, pada senja
Dalam kilatan-kilatan kenangan yang terus menjauhi kita
“ Aku takut berpindah negara
Karena harga beras yang terus memanjat ke langit biru,”
Itu alasanmu, saat kutanyakan mengapa
Dan entah, senja kurasa menjadi sedemikian terluka
Saat kusaksikan wajahmu membayang
Di sebalik kata-kata dalam puisi itu, sayang.
***
(*) Sumpah Pemuda versi lama sebagaimana rumusan yang ditulis oleh Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres ( hari kedua Konggres Pemuda, Minggu 28 Oktober 1928)
Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh M. Yamin
Ngawi, 31 Oktober 2011.
....
YANG BERTANYA dan YANG BERSERU
Seperti malam yang bergugur di mulut fajar
Pada akhirnya siang pun akan terlipat ke balik malam
Burung yang kita kagumi lantaran ketekunannya membangun sarang
Senja ini kusaksikan sayap mereka berpatah
Di kala menutup langlang ceritanya yang panjang
Lantas apa yang tersisa dari penggalan-penggalan waktu
Apakah sekadar cetak tetilas lawas yang berkisah dari lontar bercendawan
(?)
Maka sebenarnya tubuh adalah kuas dan pena yang bermata dan bertelinga
Yang kan terus tuliskan tentang nama-nama
Hingga pada satu masa tulisan itu akan bercerita
Tentang nama-nama kita pula
(!)
***
PESAN ILALANG PADA ANAK BURUNG
Hembus angin merobohkan dinding-dinding mendung
Rintikkan gerimis saling pendar
Di sisa garis senja yang kian memudar
Titiknya mengurung anak burung bak jeruji penjara
Ketika menanti berpulangnya kabar dari balik awan
Apakah yang tercetak di matamu dari langit di kejauhan
Pelangi yang lengkung membusur di horison dengan warna-warna
Ataukah bebau tanah di penghujung kemarau, yang
teriknya acap kelabui arah terbang burung-burung ?
Jika keabadian adalah milik perubahan
Maka kepastian ada pada ketetapan hati
Di kala menentukan pilihan dari beragam kemungkinan.
***
KETIKA AKU MELUKISMU
Malam masih bersetia menjadi kanvas
Bagi asap cigaretku di kala melukiskan wajahmu
Ya, aku telah memilih untuk melukiskanmu saja
Setelah kata kehabisan ungkap
Tersebab sering digunakan untuk mendusta
Meski telah bertudung sebutan janji atau bahkan prasetya
Begitulah manusia yang sedemikian cendikia
Menggusur kejujuran makna dengan kepiawaian berkata-kata
Mencipta kata menjadi luka menyesaki bilik-bilik dada
Seberapa panjang malam kan terus berjaga. Entah
Tapi ruangnya masih teramat luas
Untuk menampung jurai rambut dan lentik bulu matamu
Demi terbitnya kembang bibirmu yang secantik garis pesisir
Serupaku yang tetap bersetia berjaga untuk melukiskanmu
Hingga kepulan asap terakhirku
***
TANGISAN REMBULAN.
Malam begitu tajam, serupa paruh gagak
Mencabikku di dalam sepi
Dan ialah perih ini yang serupa luka-luka rembulan
Ketika mega-mega menyorongnya dalam kesendirian
Dingin ini terasa kian menyayat saat bulan berkaca kisah
Tentang Nawang dan jejaka bumi di ratusan tahun silam
Menelisik tentang musabab tumbuhnya cinta
Tentang rindu yang menimbulkan luka
Tentang sebulir padi yang tak lagi mengenyangkan
Ketika terkuak dusta atas selembar selendang
Menangiskah rembulan ??
Saat kurasakan dingin turut mengurungku, yang
tak jua usai menulis ulang satu cerita
Tentang rembulan yang pecah di bubungan malam
Oh Dewi, jika berkenan mari menangis bersamaku
Bersama Bumi.
***
PESAN
: Gempa Denpasar
Sayup-sayup kudengar
Geletar dari rimba kering dan sungai berbatu-batu
Tuturkan hijau dedaun yang lelap ke dalam lukisan
Dan wangi lumpur yang terusir dalam dongeng pengantar tidur
Sayup-sayup kurasa
Lautan yang gemetar melalui debur gelombang
Di senandung gemuruh dari dalam kepundan
Tiadakah itu :
Gelegak suara yang terbit dari dalam panasnya perut bumi
Gelegar yang buncahkan percik gelombang di hadapan gugus karang
Adalah teriakan suara-suara keangkuhan
Yang telah gugurkan bunga-bunga sebelum semi menjadi puisi
Seperti kecongkakan yang terbitkan gempa di bumi dada kita yang sepi
(?)
Pada kehadiran daun-daun kering, batubatu bisu
Dan gelegar gelombang
Mari kita kembali belajar mengeja aksara
Berkaca rupa.
***
KABAR LAMA DAN MASIH HINGGA KINI
Kawan:
Kukirimkan sepucuk risalah yang dituliskan jurang-jurang
Ketika tebing menanti jamahan kabut ke tubuhnya yang terjal
Surat perih dari gunung yang kehilangan sebagian hutan
Dan di paksa tergusur menghuni bingkai lukisan
Satu kabar yang bercerita
Tentang sawah dan ladang yang meratapi riwayat kesuburan
Yang kini hanya bisa dinikmati dalam syair bertembang kenangan
Bukan cerita dan lagu baru memang
Apalagi di negeri yang kebijakannya : serba gamang
***
ADA PUISI PADA GERIMIS
Di gerimis ini ada puisi
Kutulis di kala segala mati
Ketika manusia ciptakan dunia
Untuk penjarakan kebebasan mereka yang nyata
Pada gerimis ini ada puisi
Kubacakan di kala segala sepi
Teriaknya nyaring melindas deru taufan
Ketika keangkuhan menelikung jernihnya kesadaran
Di gerimis pada hujan
Alamat puisi yang kutulis dan kubacakan
Diketika segala mati, menuju
Sepi.
***
KEPADA MUSIM AKU TAK ENGGAN
Apakah yang terlipat di kaki langit
Di sanakah sembunyi sisa-sisa gerimis
Yang berhari kucari untuk membayar dahaga kepada sepi
Tak lelah kuraup guguran dedaun mendung
Yang hempas dari dahan-dahan mega
Dan merupakan kataku selaiknya derai hujan
Dalam harap untuk merahimkan sunyi pada keheningan
Terus kan kutuliskan berbait puisi tentang segala musim
Untuk kemarau untuk hujan
Bahkan bagi musim yang diam-diam telah terusir
***
LAGI, TENTANG KERINDUAN
Kadang serupa kabut
Melayang melingkupi ladang-ladang
Hinggap di pucuk-pucuk ilalang
Membasahi batang-batang perdu
Untuk kemudian pendar
Kala menabrak ranting-ranting cemara hutan
Mencari tempat berpasrah
Kulai di basah rerumput
Menunggu mentari menjemput
Demi hadirkan sebentuk kerinduan
Yang senantiasa berasa baru
Tak harus berwujud embun
Kabut ataupun harus berupa hujan
Tetapi hadir dalam sebentuk kesejukan.
***
SEKATA PUISI SAJA, JIKA MASIH ADA.
Pada gugus awan yang manakah bebayangmu merahim
Setelah repih wajahmu tergulung butir embun pagi tadi
Bersama bumi aku tak letih mengharap
Kau kan kembali hadir mendekap pada malam yang hitam;
pada senyap yang pekat
Semusim sudah jalan dan tanah-tanah kita berkesah lelah
Rindui bulan yang tak bersegera mencapai purnama
Demi damba sesaji kelopak bebunga puisi
Di wangi pembakaran garu dan puja setanggi
“Sekata puisi saja, ” bisik rembulan.
“Tentang gerimis, tentang hujan
Kalimat cinta mega-mega kepada lautan
Yang telah mengisi tubuhnya dengan uapan gelombang”
Hanya sekata saja yang ia minta
Tentang cinta yang telah jarang terucapkan
Oleh mulut kita kepada alam
Meski isi perutnya tunai sudah kita keruk, demi kemasyuran.
Pada gugus awan yang manakah bulan kan kembali tersenyum
Bersama kembang gurat bibirmu, sayang
Tanyaku saat embun penghabisan luruh dari pucuk dedaun
Ketika perlahan mentari merangkak menyayat halimun
Dan rumput-rumput beku oleh mimpi-mimpi bisu
Di jalanan, tempat hujan bergenang-genang risau
***
PADA : KABUT
Pada segala musim yang berkabut semalam
Waktu hendak berkisah, tentang segenap niscaya
Yang hinggap ke tubuhnya
Untuk kemudian raib menghuni loker-loker nasib
Sementara kita, tak sedang berlari ke mana
Melainkan mendatangi dan memungutnya
Di mana pun arah dan wajah hendak berhadap
***
DI TOKO BUKU
Nayla :
Malam bersedekap di sela dedaunan
Menahan gigil rinai dan derai hujan
Dari teras mata kita terpaku
Demi menyaksi tumpukan buku, yang
lembarnya mulai usang termakan jaman
Dan ribuan kata larut bak genang hujan ke selokan
tak meninggalkan bekas meski sekolom catatan.
Aku menuntunmu pada petang
menyusur lorong-lorong remang
Mencari jendela masa yang masih sudi terkuak
Untuk ajarkanmu mengintip perjalanan
di sepinya lalulalang pada cetak tulisan
***
SUARA-SUARA.
Suara-suara menuruni gigir bebukitan
Gema di antara semak dan rerumputan
Menyibak alang-alang menyisir jurang-jurang terjal
Demi temukan sungai dan bertanya pada muaranya
“ Apa kabar air yang terbit dari sendang
setelah sekian jauh menempuh perjalanan ?”
“ Masih bergemericik ketika menimpa kerikil-kerikil kali.
Sebening suara itu pula air yang bersumber dari tubuhmu,”
Jawab yang timbul tenggelam di kelok-kelok sungai.
Suara-suara merayap di atas tanah-tanah basah
Melayang bak kabut dan hinggap di salah satu pematang
Dan bertanya kepada ladang
“Apa kabar air yang terbit dari sendang,
setelah turut meliatkan tanah menjadi lumpur ?”
“ Masih sewangi tanah yang telah menghidupkan bebijian.
Sesegar sawah yang hijau menghampar,” jawab ladang-ladang
Suara-suara terbang bersama angin
Menyapa lembut dahan-dahan jati
Melesat di antara gugusan mega
Menyelusup di megahnya bubungan-bubungan mewah
Dan mendarat di satu tepi lautan, bertanyalah ia
“Apa kabar air yang terbit dari sendang
setelah sekian panjang menjadi cerita ?”. lautan terdiam
Suara-suara pun terdiam, saat ia saksikan
Air laut keruh bersampah. Berbau minyak berwarna hitam
Tak jernih, sebening suara ricih air di kali
Tak segar seperti hamparan hijau di ladang
Tak lagi wangi seperti aroma bongkah tanah di sawah
Suara-suara melayang, melesat ke awan
Membujuk matahari agar bersinar lebih terik
Di leburnya tubuh ke gumpal awan
“ Menjadi mendung, jadikanlah aku mendung
biar mampu kujernihkan air yang terlanjur hitam.
Bersama hujan.” Bisik suara-suara.
***
MAAF SAYANG JIKA BUKAN PUISI INDAH, UNTUKMU
Maaf sayang , lelakimu ini bukan penyair
yang mampu lukiskanmu dalam kata dengan berjuta tafsir
Tak pula pujangga, yang kan abadikanmu di ribuan karya indah
dengan lautan kalimat berhiaskan gulung gelombang madah
Aku lelakimu ini, hanya bisa menyusun sedikit aksara
saat ketajaman rindu menghunjam ke balik dada
coba mengusir kesenyapan yang menubuh ke bilik-bilik kita
tersebab segala ucap yang tiba-tiba murca
Aku lelakimu,
yang hanya mampu melukismu di atas lembar kering dedaun jati
Lelaki yang mengikat anak rambutmu dengan batang alang-alang
dan bukan tali ikat bermahkotakan singgasana kembang
Aku lelakimu,
yang tak kan berlelah-lelah memperdebatkan diksi
sementara periukmu risau oleh keterjaminan nasi, dan
anak-anak kita mengigau gelisah
oleh mahalnya harga buku dan bangku-bangku sekolah
Maaf sayang, maaf
Jika aku tak pernah menuliskan puisi untukmu
Karena aku tak tega membuaimu dengan kata yang mengharu biru
Sedang dari hari ke hari segala timpang masing terjadi
Dan keadilan atas kesejahteraan kita, masih terus saja dicurangi
Maka maafkan aku sayang
Jika bukan kalimat-kalimat indah yang kuberikan
Melainkan panasnya kata yang lahir dari kerasnya kenyataan
Kerana puisi dan syair adalah tandu perubahan jaman
Di ketika retorika gagap, tertelikung kepentingan
Maka, perempuanku
tak usah galau jika karena itu aku tak tersebut penyair
Karena benar, aku memang bukan seorang penyair
Hanya sekedar lelaki penutur, yang kerab mewakilkan rindu di sebaris kata
Yang bertekad untuk tak letih bersuara
Untukmu, untuk anak-anak dan untuk banyak lagi yang lain di negeri kita.
Ngawi, 24102011
( diperbaiki dari catatan pendek status Fb, supaya lebih mirip puisi)
...
Kang Arief ( seorang petani ) di ngawi Jatim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H