Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om dan Tante Penyebar Hoax?

23 September 2017   23:24 Diperbarui: 30 September 2017   14:46 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WhatsApp (WA) menjadi aplikasi chating terpopuler di dunia. CEO Facebook, Mark Zuckerberg menyampaikan pada triwulan kedua 2017  pengguna aktif  WA di seluruh dunia  mencapai 1 miliar tiap harinya. [1]

Bagaimana di Indonesia? Sama. WA menjadi aplikasi mobile dengan pengguna terbanyak. Data  comScore, bulan Januari 2017 ada sekitar 35,8 juta pengguna. [2] 

Indonsesia masuk 3 besar pengguna WA setelah  India dan  Tiongkok.

Tidak heran setiap hari berseliweran pesan WA baik melalui grup maupun pesan langsung (japri).  Saya merasa, kita hidup dalam lingkaran atau  -ketika kurang sreg-  saya menyebutnya  kepungan WA.

Dampaknya? Sisi positif pasti ada. Banyak. Keluarga dan teman di kejauhan bisa terasa dekat. Menjadi sarana berbagi informasi. Terhibur karena kisah humor serta gambar / meme lucu, dan sebagainya.

Tetapi jujur  -semoga demikian pula dengan Anda-     dampak negatif juga bertebaran.  

Terlalu banyak grup, terlalu ramai lalu lintas pesan. Akhirnya mengurangi nilai manfaat,  dan malah terasa "mengganggu".   

Postingan hanya bersifat meneruskan postingan orang lain, bukan karya sendiri. Sehingga sering terjadi penyebaran konten yang sama. Seragam dan berulang.

Parahnya, sebagian (besar) konten kemudian terbukti  hoax.  Tanpa sadar kita telah menjadi pelaku dan korban penyebaran berita palsu.

Berikut 7  gangguan WA versi saya. Semuanya berkaitan dengan kebiasaan Om dan Tante dalam ber- WA.   

Om dan Tante ??  Iya.., lha memang dalam habitat WA saya member nya pantas dipanggil begitu  je...

Lagian  hampir semua orang punya keponakan, to?  Baik yang dekat maupun jauuh, hehehe... 

1. Terlalu Mudah Percaya

Masih ingat video biskuit mudah terbakar? Opini yang disebarkan:  roti berlapis lilin. Berbahaya.

Belakangan iklan biskuit dimaksud menyampaikan  bahwa  berita / video tersebut  bohong. Disertai penjelasan BPOM :  beberapa makanan memang bisa terbakar jika disulut api. Terutama yang berukuran tipis, berpori dan bersalut gula/lemak, dst.

Masyarakat Indonesia telah mengkonsumsi biskuit itu selama 30 tahun dan terbukti aman.  

Mengutip Lim Sun Sun dalam artikel Want to tackle 'fake news'? Don't share,  The Straits Times,  29 Juli  2017, "perusahaan yang menjadi sasaran berita bohong , akan menanggung kerugian finansial dan reputasi".

Bagaimana jika kabar bohong itu menimpa perusahaan kita, atau ada keluarga yang menjadi korban PHK karena pabrik tutup gara-gara berita palsu?

2. Mengabaikan data

Postingan warning,  mulai jam 12 malam ini (tanpa  hari tanggal bulan  tahun)  sampai besuk pagi jangan gunakan atau buka  internet. Baik melalui smartphone maupun komputer karena akan berlangsung bla bla bla.  

Seolah berita gres, fresh from the oven. Padahal basi. 

Saya sudah memerima informasi itu berkali - kali. Buktinya tidak ada resiko apapun meski anjuran saya langgar.    Ambil Nafas panjang, buang jengkel.

3. Budaya latah.

Sejak Subuh, satu grup WA penuh ucapan ulang tahun untuk seorang anggota. Seratus lebih member meng-copy paste  pesan HBD ( Happy Birthday ).  Menjelang maghrib, orang yang di HBD muncul dengan kalimat : maaf,saya tidak sedang ulang tahun bro and bray...   tetapi terima kasih perhatian dan do'a nya.

Iseng saya japri salah satu pengirim ucapan, yang posting setelah ada ralat. Ternyata dia tidak tahu ada  bantahan dari yang "dituduh" ultah. Karena hanya melihat postingan yang dominan : HBD.

4. Menjadi yang Terdepan

Polri mengumumkan rencana penerapan E - Tilang  di wilayah Jakarta.  Tak berapa lama, viral di hampir semua grup WA saya, tilang elektronik akan dilaksanakan di kota kecil kami.  

Kabar sangat meyakinkan. Detail sekali. Menyebutkan beberapa lokasi uji coba tilang CCTV  lengkap dengan jadwal.

Seorang polwan di wilayah hukum polres kota, menyatakan tidak yakin pada informasi itu.  Belum ada tanda-tanda, katanya.

Benar saja, esok hari melalui siaran radio lokal, Kasat Lantas Polres setempat membantah : jika melihat kesiapan teknis lapangan, seperti nya masih jauh waktu nya. Karena ibukota propinsi saja belum menerapkan E-tilang.    Nah lho....?

5. Semua Menjadi Ahli

Banyak sekali postingan bergaya serius dan maha benar,  hingga ada yang menyebut WA sebagai ajang bertemu nya guru, motivator, ahli kesehatan, ahli agama dan spesialis --spesialis lain. Tetapi sayangnya, tidak ada murid, tanpa audience, tanpa pasien, tanpa santri. [3] 

Semua memilih jadi subyek, sehingga tidak ada obyeknya.

6. Tidak Pernah Meralat Atau Meminta Maaf

Adakah anggota grup WA meminta maaf karena memposting atau menyebarkan berita yang ternyata bohong? Pengalaman saya, tidak ada sodara-sodara !!

Ketika kemudian terbukti keliru maka seperti ada sikap dan suara seragam : Oo.. ternyata enggak ya, ya sudah.

Lalu balik badan tanpa  rasa bersalah. 

Yang terbiasa setor jempol hingga muncul parade jempol pun, sepertinya tidak menyesal  pernah menjempol postingan, meskipun akhirnya terbukti "fake news". Mungkin jika ada yang rajin protes atau menyanggah, maka pengguna WA akan lebih hati-hati mengirim berita/info ya...,  takut maluuuu.

7. Kalimat Pembuka dan Penutup yang Konsisten

Satu lagi uniknya konten WA. Selalu diawali kalimat : copas dari grup sebelah, waspada lah, akhirnya terbongkar, belum pasti kebenarannya tapi boleh lah berhati - hati,  dsb.

Atau ditutup dengan : Jangan biarkan info ini berhenti di kamu, sebarkan, kirimkan kepada 10 orang maka anda akan dst, sebarkan kepada minimal sekian orang maka dalam hitungan jam hidupmu akan bla bla bla.

Jangan - jangan jika muncul dampak buruk postingan WA, maka Om dan Tante akan menuduh Grup Sebelah sebagai pihak yang  paling bertanggung jawab. Lalu grup sebelah ganti menuduh grup sebelah nya lagi. Dan seterusnya.  

Jadilah Lampu Merah Bagi Penyebaran Berita Bohong

Era internet memudahkan kita menguji / memverifikasi berita dan informasi melalui mesin pencari (browsing). 

Jika kurang puas dengan penjelasan yang diperoleh, bisa bertanya kepada ahlinya.

Di media sosial banyak tokoh dan pakar berbagai bidang yang aktif berinteraksi langsung dengan masyarakat dan telaten melayani tanya jawab.

Ah  serius amat??? Ini masalah  sepele.   Toh  isi berita juga tidak terlalu berbahaya. 

Jika pun ternyata salah, tidak menimbulkan kerugian atau menelan korban jiwa.  Akankah begitu seterusnya?

No, tidak. Sudah saatnya kita perbaiki pola pikir dan cara kita ber- WA ( media sosial lain).

Monggo   luaskan perhatian bukan hanya pada materi,  tetapi kepada kebiasaan  kurang baik : terima langsung sebarkan, telan langsung kabarkan. 

Tanpa ada upaya menahan diri: mencerna isi pesan, melihat kredibilitas sumber,  akurasi data  fakta dsb.

Jika pola lama  ber WA tetap dibiarkan, saya khawatir akan ada pihak - pihak yang memanfaatkan kecerobohan ini untuk memperalat puluhan juta pengguna WA di tanah air. Menjadikan kita penyebar berita bohong, provokator, pemfitnah dan tindakan negatif lain. 

Tanpa sadar kita menjadi pelaku. Lalu Siapakah korbannya ??  Ya kita-kita juga... 

Maman Suherman, atau Kang Maman, notulen dalam acara ILK Trans7, memberikan resep agar tidak terjebak penyebaran berita bohong. Kata kuncinya disiplin verifikasi dan melewati tiga saringan ketat: apakah BENAR apakah BAIK apakah BERMANFAAT, SEBELUM DISEBARKAN.[4]

Ayo jadi lampu merah, penghenti penyebaran berita bohong. Saya setuju dengan Lim Sun Sun,   Ingin menghentikan kabar bohong? Jangan ikut menyebarkan.  

Jika ragu terhadap isi pesan, cukup hentikan di Anda. Masih banyak cara menunjukkan eksistensi diri, tidak harus selalu aktif menyebarkan berita (bohong).

 

Sumber :

[1] TEMPO.CO, 31 Juli 2017

[2] techinasia.com  Apr 4, 2017

[3] Twit @RyuHasan

[4] Maman Suherman, Percik Permenungan Literasi, 21 September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun