Mohon tunggu...
Niken Anggraini
Niken Anggraini Mohon Tunggu... Wiraswasta - podcast: anchor.fm/saya-niken

Novel : Suweng Mbah Tukah (gratis di Fizzo), Numa Dan Benda Bertuah (gratis di Fizzo), Pangeran Gelatik (gratis di Fizzo), Dita dan Sena: Sang Penakluk (gratis di Fizzo), Berlabuh Di Sisimu (Kwikku), Oh My Beebu (Hinovel, Sago, Bakisah, Ceriaca), Diary Cinta Naelsa:Macaca (Hinovel, Bakisah, Ceriaca)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Suweng Mbah Tukah (3)

20 Mei 2022   13:12 Diperbarui: 20 Mei 2022   13:25 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tolongin Simbah, Nduk!
 
 
Panti Sosial Kasih Mulia - Blitar
Pukul 00.00 WIB
 
Tubuh perempuan renta itu terbaring di ranjang. Ia terlihat tengah nyenyak tidur. Tepat jam berdetak menunjukan pergantian hari, sesuatu terjadi. Mata tua itu spontan terbuka lebar. Mulutnya menyeringai. Bola matanya bergerak liar ke sana kemari.  


Seiring bunyi tiang listrik yang dipukul oleh tukang ronda malam sebanyak 12 kali, perempuan renta itu memulai aksinya.  


Ia duduk di ranjang. Matanya memandang jelalatan. Rambut putih mirip senar yang siang tadi digelung di belakang itu kini terurai. Perempuan itu menggaruk-garuk kepalanya. Rambut senarnya makin terlihat awut-awutan.  Mulut perempuan itu bergerak-gerak mirip monyet.  


Perempuan itu menarik selimutnya. Sesaat kemudian ia berdiri di ranjangnya. Selimut yang ia pakai melorot jatuh ke lantai.


Usai yang dikenakannya lepas, perempuan bertubuh ringkih itu menyambar cangkir lurik di meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Detik berikutnya ia melompat ke ranjang yang ada di sebelahnya. Tubuhnya tampak ringan saat melompat. Gerakannya pun cepat.


Perempuan berambut senar itu menggunakan cangkir lurik itu untuk memukuli perempuan yang tertidur di ranjang itu. Pekik kesakitan terdengar. Perempuan renta itu kembali melompat ke ranjang lainnya. Kembali tangannya yang memegang cangkir lurik menghajar perempuan yang tertidur pulas di ranjang itu. Begitu terus hingga semua yang tertidur terbangun dengan jerit kesakitan.


 
Kebayoran Lama - Jakarta
Pukul 00.15 WIB
 
"Tam....Tami!...tolongin mbah wedhok, Nduk," teriak seseorang.


Utami segera meletakan mainannya. Ia menghampiri suara yang memanggilnya. Itu suara neneknya, Mbah Mukiyati. Ibu dari ibunya. Biasanya ia memanggil neneknya itu dengan sebutan Mbah Dhok singkatan dari Mbah Wedhok. Sedangkan untuk kakeknya, Utami memanggilnya dengan sebutan Mbah Nang singkatan dari Mbah Lanang.  


Utami berjalan ke halaman depan rumah. Terlihat neneknya itu memegang sapu lidi usai menyapu halaman. Adiknya Mbah Dhok, Mbah Sarini, berdiri di sebelah Mbah Dhok. Ia menghampiri mereka.


"Kuwi simbah tulung jupukno jambu kuwi, Nduk," [Tolong simbah ambilkan jambu itu, Nduk]


Neneknya berkata seperti itu seraya menunjuk pohon jambu air yang sedang berbuah lebat di atasnya. Utami menatap buah jambu itu. Senyum sumringah mengembang di bibirnya. Buah jambu air di atasnya itu begitu ranum dan lebat. Tapi detik berikutnya senyum sumringah sirna, wajahnya terlihat bingung. 

Bagaimana bisa neneknya itu menyuruhnya mengambil buah jambu air itu? Tubuhnya kan lebih pendek dari neneknya. Kenapa neneknya itu justru menyuruhnya.


"Nggak isok Mbah Dhok. Aku kan pendek," sahut gadis kecil berumur hampir 7 tahun itu.


"Bisa, Ndhuk. Kamu bisa kok,"


"Nggak sampai Mbah Dhok tanganku. Nggak bisa lho! Liat nih,"


Tangan Utami terulur di udara.


"Isok isok, Tam. Kowe pasti isok kok," [Bisa, bisa Tam. Kamu pasti bisa kok]


Kali ini Mbah Sarini yang bersuara. Ia meyakinkan Utami kalau ia pasti bisa memetik jambu air itu.


Utami meski ragu tetap mengerakan tangannya ke udara seperti hendak meraih jambu air. Kakinya berjinjit. Tapi tetap saja tak sampai. Buah itu terlalu tinggi letaknya untuk anak seumurannya.


"Nggak bisa Mbah,"


"Bisa, Ndhuk. Bisa kok. Ayo terus usaha,"tandas Mbah Mukiyati.


Utami mencoba melompat sambil tangannya berusaha meraih jambu air di atasnya. Tetap saja tak bisa. Setelah beberapa kali usahanya gagal ia diam berdiri dengan tangan yang masih terulur ke atas.


Mendadak sesuatu terjadi. Utami memandang ke bawah. Ia terkejut manakala melihat kedua kakinya tiba-tiba saja memanjang. Ia bertambah tinggi pelan-pelan hingga tanpa terasa tangannya bisa menyentuh buah jambu air yang menggantung tadi.  


Mbah Mukiyati dan Mbah Sarini tertawa gembira.


"Njupuk sing akeh, Nduk!" [Ambil yang banyak, Nduk]


"Iyo sing akeh. Aku yo gelem," [Iya ambil yang banyak. Aku juga mau].


Suara Mbah Sarini menimpali. Utami memetik beberapa jambu air itu. Setelah dirasa cukup karena kedua tangannya sudah tak mampu membawa jambu air lagi, akhirnya Utami menyudahinya. Ia melihat ke bawah di mana kedua neneknya berada. Sesuatu yang aneh terjadi. 

Kedua kakinya menyusut memendek. Ia kembali pada tingginya semula. Tinggi anak umur hampir 7 tahun.  
"Ini mbah jambunya,"


Mbah Mukiyati dan Mbah Sarini girang. Keduanya buru-buru mengulurkan tangannya untuk mengambil jambu air itu.


Cieeeeeeeekkk....cieeeeeeeekkk....


Buuuuuukkkkkk


Sebuah suara hewan terdengar. Utami terjungkal menghantam tanah. Segera saja pekik kesakitan terdengar dari mulutnya. Seekor monyet berukuran cukup besar menubruknya hingga jatuh. 

Dan sekarang monyet itu mencoba meraih jambu air yang masih tersisa dalam genggaman Utami.


"Aaaahhhhhh!!"


Gadis cilik itu mengibas-ngibaskan tangannya yang dipegang oleh si monyet. Begitu si monyet lepas, Utami segera berdiri. Ia meraih sapu lidi yang tadi dipakai neneknya menyapu halaman. 

Gadis cilik itu langsung menggunakannya untuk memukuli si monyet tadi.


"Eeehhh, Nduk ojok digepuki!!" [Nduk, jangan dipukuli!]


Teriak Mbah Mukiyati melarang. Utami tak menggubris. Ia terus memukuli monyet yang tadi sempat mendorongnya hingga jatuh dan merebut jambu di tangannya itu.  


Mbah Sarini segera merebut sapu lidi yang dipegang Utami untuk memukuli monyet itu. Utami kini mencoba menendang monyet itu.


"Eeehhh...ojok!"


Mbah Mukiyati langsung menarik badan Utami dengan kasar. Utami kesal karena tak berhasil menendang monyet yang kini duduk menghadap ke arahnya.


"Coba kamu lihat dengan baik. Lihat monyet itu!" kata Mbah Sarini menyuruh Utami.  


Utami yang kesal sambil cemberut  menurutinya. Ia memandang si monyet. Betapa terkejutnya ia. Monyet yang menyeringai itu tiba-tiba berubah wujud. 

 
"Mbah Tukah?!" serunya tak percaya. 

Bagaimana bisa monyet tadi berubah menjadi adik neneknya. Mbah Tukah, adik dari Mbah Mukiyati yang tepat dibawahnya. Kakak dari Mbah Sarini, adik bungsu Mbah Mukiyati. 

Ya, mereka bertiga adik kakak. Mbah Mukiyati yang tertua. Disusul kemudian dengan Mbah Tukah dan Mbah Sarini. Utami terbeliak kebingungan menatap monyet yang kini berubah menjadi Mbah Tukah itu.  
 


Perak Barat - Surabaya
Pukul 00.17 WIB
 
"Hoaaahhhh...haahhh...haahhh...hush...hush...!!!"  


Tangan Wijayanti bergerak mengusir.  


"Aaahhhh....pergi monyeeeettt!!!!" teriaknya nyaring.


Utomo berlari ke arah ibunya.


"Buk...ibuk...buk....bangun!" katanya membangunkan ibunya.


"Haaahh!!! Husshh!"


Perempuan berambut ikal sepundak itu masih berteriak. Tangannya bergerak mengusir. Utomo menggoyangkan badan ibunya lebih kencang agar sang ibu segera terbangun.


"Buuuuukkkk!!! Ayo bangun!"


Goncangan Utomo dengan tenaga makin besar itu pelan-pelan menyadarkan Wijayanti. Matanya terbuka menatap sekeliling.


Utomo membantu ibunya agar bisa duduk dengan posisi yang enak. Melihat ibunya mulai sadar sepenuhnya, Utomo mengajaknya bicara.


"Nonton sinetron apaan sih, Buk? Sampai kebawa mimpi gini?"protes Utomo.

Lelaki yang sedang mengerjakan skripsinya itu mengambil remote televisi untuk mematikan televisi yang entah sedang menayangkan apa. Layar televisi sedang iklan saat ini.


"Nggak usah nonton tv sampai malam, Buk. Apalagi kalau horor. Jadi terbawa mimpi kan?" imbuhnya memprotes.


Wijayanti tak bersuara. Ia masih sibuk menata nafasnya yang terlihat ngos-ngosan itu. Terlihat ia begitu kecapekan.
Utomo berjalan ke ruang makan. Ia mengambil gelas minum ibunya. Setelah diisi air minum, ia berjalan membawa gelas itu ke ibunya.


Wijayanti menerima gelas itu dan meneguk isinya. Beberapa saat waktu berlalu dalam keterdiaman.


"Mimpi ngeliat monyet lagi?"


Ibunya mengangguk kuat.  


"Oalah Buk...Buk....kemarin malam teriak-teriak mimpi ketemu monyet yang menggigit dahi Mbak Tami. Lha tadi monyetnya menggigit apa lagi?"


"Tangan. Tangan kanannya mbakmu, Tom. Ada monyet dewasa, badannya gede. Dia nggigit tangannya mbakmu!"


Utomo menghembuskan nafas panjang mendengar perkataan ibunya itu.


"Baca doa sebelum tidur, Buk! Biar nggak mimpi buruk,"


Wijayanti diam. Ia kembali meneguk air minum. Ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia meletakan gelasnya di meja. Setelah itu ia menyandarkan punggungnya ke sofa yang tadi ia pakai untuk tidur saat menonton televisi.


"Ayo, Buk pindah ke kamar aja! Tidur. Sudah malam. Jangan nonton tv lagi. Biar nggak mimpi-mimpi aneh lagi,"


Wijayanti menurut. Ia bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke kamarnya.  
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun