Mohon tunggu...
Nico Sanjaya Praramadhani
Nico Sanjaya Praramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Textile Chemistry 2022

Whatever what they say, be yourself

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sang Pendiri dan Pejuang dari Jombang

21 November 2021   12:06 Diperbarui: 21 November 2021   12:20 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu malam yang tenang, suara jangkrik menemani malamku yang penuh dengan ketenangan, aku memikirkan pahlawan dalam disintegrasi bangsa yang harusku ceritakan dalam novel sejarah. Aku pun meresearch pahlawan pahlawan dalam disintegrasi bangsa. Lalu, aku terpikirkan tokoh pahlawan itu yakni Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari sang pendiri Nadhatul Ulama (NU).

Aku sungguh terkagum dengan perjuangannya dan pendiriannya yang membuatku ingin sepertinya.

Dia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja'tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada pemimpin Kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir.

***

  

Hari Selasa kliwon, 24 Zulkaidah 1287 Hijriah / 14 Februari 1871 Masehi berkat Allah yang Maha Kuasa lahirlah seorang pendiri dan pejuang yang berasal dari pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang.

Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari atau K.H. Hasyim Asy'ari pejuang dan pendiri NU. Aku sudah di didik dengan baik oleh kedua orang tuanya yang mempunyai ilmu keagamaan yang kuat dan berpengaruh.

Kiai siapakah nama anakmu itu? Panggil saja Hasyim.

"Ayah! Sejak kapan aku harus bersikap mandiri dan menimba ilmu sebanyak mungkin?" Ucap Hasyim.

"Sejak dinilah kamu harus menuntut ilmu sebanyak banyak nya mungkin Hasyim! Maka itulah ayah dan kakek akan mangajarimu ilmu agama".

Sejak kecil hingga berusia 14 tahun, aku sudah mendapatkan pendidikan langsung dari ayah dan kakekku, Kiai Usman, yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.

            "Ayah bolehkah aku menjelajahi negeri ini dengan penuh kehausan akan ilmu?"

Pada usia 15 tahun, aku pun mulai meninggalkan rumah, menjadi santri dan tinggal di beberapa pesantren. Aku menimba ilmu dari berbagai pesantren di Jawa dan melanjutkan pendidikan ke Mekah pada 1892.

Guru yang mengajarkan ku saat aku menimba ilmu di berbagai pesantren di antaranya, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Husein Al-Habsyi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Shata, dan Syekh Daghastani.

Tak terasa umurku 21 tahun.

Aku menikah dengan bidadari surga yang Allah turunkan yaitu putri Kiai Ya'qub, Nafisah. Dan tak lama setelahnya saya bersama istri dan mertua berangkat ke rumah suci Mekkah. Aku pun memiliki murid dari berbagai negara.

KH. Hasyim Asy'ari pun memiliki seorang sahabat yakni panggil saja Mbah Umar, Mbah Umar adalah santri dan teman perjuangan Mbah Hasyim Asy'ari.

_ _ _

Perjuangan KH. Hasyim Asy'ari untuk Indonesia.

            "Hasyim apakah engkau akan berjuang untuk agama dan negara ini?"

            "Tentu saja ayah aku ingin islam berkembang agar kebaikan dan pemahaman antar manusia bisa berjalan dengan baik."

            "Hasyim mau kemana?" ucap Umar.

            "Aku akan membangun pesantren mar".

            "Ayo kita bangun bersama sama syim!" kata Umar.

Perjuangan KH Hasyim Asy'ari untuk Islam dimulai ketika mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng pada 1899.

"Aku membangun pesantren yang sederhana,dimana satu buku satu al-quran bisa membuat satu juta orang akan pintar akan ilmu dan juga tahfidz."

Pesantren yang beliau awalnya sangat kecil, hingga akhirnya berkembang dan menjadi pesantren terbesar di Jawa pada awal abad ke-20.

Kemudian pada 31 Januari 1926, Aku dan beberapa ulama mendirikan Nahdatul Ulama (NU). Berdirinya NU dilatar belakangi oleh situasi dunia Islam kala itu yang sedang dilanda pertentangan paham. NU hadir dengan pemikiran lebih moderat sehingga membuat interaksi dan komunikasi dunia Islam menjadi lebih mudah.

Saat itu, di Makkah terjadi peristiwa besar yang mengancam eksistensi Ahlu Sunnah wal-Jama'ah, terkait penghapusan khalifah oleh Turki dan berkuasanya rezim kaum Wahabi yang tidak membuka ruang bagi berkembangnya madzhab-madzhab di tanah suci.

"Peristiwa besar ini megancam madzhab-madzhab yang ada di tanah suci Mekkah pak Kiai".

"Maka dari itu kita akan mengadakan perkumpulan besar para ulama ulama wahai sahabatku". Ucap Habib Hasyim.

Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram. Para ulama menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunnah wal-Jama'ah. Setelah melakukan istiharah para ulama-ulama Haramain mengirim pesan kepada KH Hasyim Asy'ari untuk segera menemui dua ulama di Indonesia, dan jika dua orang tersebut menyetujui maka segera diteruskan. Dua ulama tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Toha  bin Yahya Pekalongan dan Syaikhona Kholil Bangkalan. KH Hasyim Asy'ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi dan KHR. Asnawi Kudus dengan diantar Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim.

Begitu Aku duduk dengan tegang, Habib Hasyim langsung berkata, "Kiai Hasyim Asy'ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunnah wal-Jama'ah, saya rela tapi tolong saya jangan ditulis".

Selanjutnya ketika sowan ke tempatnya Kiai Kholil Bangkalan beliau memperoleh wasiat untuk segera melaksanakan niatnya dan diridhoi seperti ridhonya Habib Hasyim.

Tapi Kiai Kholil juga berpesan "saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis".

Aku tertegun karena kedua ulama tersebut tidak mau ditulis semua. Namun, akhirnya Kiai Kholil membolehkan ditulis tetapi meminta sedikit saja.

Meskipun demikian, dalam perjalananku sangat berhati-hati dan kadang muncul keraguan. Kemudian pada tahun 1924, Kiai Kholil segera memanggil muridnya As'ad Syamsul Arifin Situbondo, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.

"As'ad" kata Kiai Kholil, "Ya, Kiai" Jawab As'ad santri.

"As'ad, tongkat ini antarkan ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy'ari" pesan Kiai Kholil sambil menyerahkan tongkat.

"Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha" pesan Kiai Kholil lebih lanjut, "Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu".

Setibanya di Tebuireng, As'ad menyampaikan "Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai". Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru.

Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As'ad, "Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil ?" As'ad lalu membaca hafalanya itu yang artinya "Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?

Dia (Musa) berkata, "Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain."

Allah berfirman, "Lemparkanlah ia, wahai Musa!" Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

Dia (Allah) berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu keketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar".

Aku menangkap isyarat bahwa gurunya memantapkan hatiku untuk segera merestui jam'iyah yang telah dipersiapkanoleh Kiai Wahab Hasbullah dan ulama-ulama lainnya. Langkah demi langkah dilakukan dengan sangat hati-hati karena tidak ingin terjebak dalam nafsu kekuasaan belaka, namun belum juga terwujud.

Setahun kemudian Kiai Kholil mengutus As'ad sowan lagi ke Tebuireng untuk menyerahkan tasbih dengan diikuti bacaan salah satu Asmaul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohha sebanyak tiga kali. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami'yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia.

Sebenarnya aku bersama beberapa kiai jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Kiai Kholil akan diresmikannya NU. Namun saat itu kesehatan Kiai Kholil sedang tidak baik dan tidak bisa menemui meski sudah tahu akan kedatangan rombongan KH Hasyim Asy'ari. Kiai Kholil hanya menitip pesan melalui Kiai Muhammad Thoha (menantunya, Pesantren Jangkibuan) jika telah memberi restu atas peresmian NU.

_ _ _

Jihad melawan Penjajah

Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diriku sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab (1994), aku pernah mengumpulkan kawan-kawanku, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.

Semangat itu aku bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya, Wahid Hasyim. Kelak, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama pertama pada era Presiden Soekarno.

"Anakku sebarkan semangat dan ilmu ilmu yang ayah ajarkan untuk membangun dan memmimpin negeri ini dengan jalan ridho Allah SWT." Ucap Hasyim kepada anaknya.

"Baik ayah aku akan melanjutkan perjuanganmu demi agama, bangsa, dan negara ini." Jawab anaknya.

Sikap anti penjajahan juga sempat membawaku masuk bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan 'Saikerei' yaitu menghormati Kaisar Jepang "Tenno Heika" dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.

Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Bisa ditebak, Hasyim Asyari menentang karena aku menganggapnya 'haram' dan dosa besar.

Membungkukkan badan semacam itu menyerupai 'ruku' dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.

Akibat penolakan itu, pada akhir April 1942, aku yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian aku dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, aku pun disiksa dengan begitu kejam hingga jari-jari kedua tanganku remuk tak lagi bisa digerakkan.

Waktu tak terasa terus berjalan 22 Oktober 1945, Aku ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda.

"Umar dan kawan kawanku semuanya, kita disini sebagai organisasi NU yang terbentuk di negara Indonesia. Negara ini adalah tempat kita bernaung dan membangun banyak pesantren untuk menyebarkan ilmu. Maka itu mari kita berjihad dalam jalan Allah untuk mengusir penjajah yang kian makin bertindak seenaknya, kita merdekakan bangsa ini dengan perjuangan." Ucap Hasyim dengan lantang.

            "TAKBIRR..."

            "(Allahuakabar)"

            "TAKBIRR..."

            "(Allahuakabar)"

            "TAKBIRR..."

            "(Allahuakabar)"

            Semua pengikut dan pejuang di NU dan di Surabaya merasa tergerak oleh perkataan Sang Kiai  Hasyim Asy'ari.

Akibat fatwa itu, meledak lah perang di Surabaya pada 10 November 1945. Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.

"Belanda takkan berani mengkap saya".

Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).

"Kiai Hasyim mohon maaf tapi segeralah mengungsi dari Surabaya karena kondisi sudah tidak lagi kondusif Kiai". Ucap Bung Tomo pada saat itu.

"Tidak, aku ingin berjuang bersama dengan umat dan teman temanku untuk mengusir penjajah." Kata Hasyim.

Aku dengan tegas menolak medali kehormatan dari Belanda dan mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda.

Karena sikap kerasku, Aku pernah akan dibunuh dan pesantrenku hampir dibakar habis.

Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.

Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.

Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ke lima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.

"Saya nyatakan lima butir fatwa tersebut sebagai resolusi jihad melawan penjajahan!" Ucap Hasyim.

"Tapi kiai bagaimana jika belanda tidak ingin ada fatwa tersebut dan malah terjadi peperangan yang mengancam pak kiai?"

"Tenang saja kita semua berjihad dijalan Allah, Allah melindungi kita."

Perjuanganku untuk Indonesia berlanjut saat Belanda dengan membonceng NICA kembali bermaksud menjajah nusantara. KH Hasyim Asy'ari bersama para ulama mengeluarkan resolusi jihad yang berhasil memunculkan gerakan perlawanan terhadap Belanda dan sekutu.

Aku Kiai Haji Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 dengan nama lengkapku Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan organisasi NU. Aku adalah Kakek dari almarhum Gus Dur.

Bumi, langit bersedih Sang Pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari wafat pada 25 Juli 1947. Jenazahku dikebumikan di Pesantren Tebuireng Jombang. meninggal di Jombang, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun.

Atas jasanya semasa hidup terhadap negara, Hadhratusy Syeikh Hasyim Asy'ari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964.

***

Tak terasa malam semakin larut, diluar hujan mulai turun rintik-rintik. Aku yang masih memandang laptopku aku memikirkan betapa luar biasanya tokoh pahlawan ini. Aku harap orang-orang terus mengingat dan mengenang jasa-jasa kepahlawanannya sebagai pahlawan Indonesia. 

Terimakasih KH. Muhammad Hasyim Asy'ari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun