Sikap anti penjajahan juga sempat membawaku masuk bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan 'Saikerei' yaitu menghormati Kaisar Jepang "Tenno Heika" dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Bisa ditebak, Hasyim Asyari menentang karena aku menganggapnya 'haram' dan dosa besar.
Membungkukkan badan semacam itu menyerupai 'ruku' dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.
Akibat penolakan itu, pada akhir April 1942, aku yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian aku dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, aku pun disiksa dengan begitu kejam hingga jari-jari kedua tanganku remuk tak lagi bisa digerakkan.
Waktu tak terasa terus berjalan 22 Oktober 1945, Aku ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda.
"Umar dan kawan kawanku semuanya, kita disini sebagai organisasi NU yang terbentuk di negara Indonesia. Negara ini adalah tempat kita bernaung dan membangun banyak pesantren untuk menyebarkan ilmu. Maka itu mari kita berjihad dalam jalan Allah untuk mengusir penjajah yang kian makin bertindak seenaknya, kita merdekakan bangsa ini dengan perjuangan." Ucap Hasyim dengan lantang.
      "TAKBIRR..."
      "(Allahuakabar)"
      "TAKBIRR..."
      "(Allahuakabar)"
      "TAKBIRR..."