"(Allahuakabar)"
      Semua pengikut dan pejuang di NU dan di Surabaya merasa tergerak oleh perkataan Sang Kiai  Hasyim Asy'ari.
Akibat fatwa itu, meledak lah perang di Surabaya pada 10 November 1945. Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.
"Belanda takkan berani mengkap saya".
Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
"Kiai Hasyim mohon maaf tapi segeralah mengungsi dari Surabaya karena kondisi sudah tidak lagi kondusif Kiai". Ucap Bung Tomo pada saat itu.
"Tidak, aku ingin berjuang bersama dengan umat dan teman temanku untuk mengusir penjajah." Kata Hasyim.
Aku dengan tegas menolak medali kehormatan dari Belanda dan mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda.
Karena sikap kerasku, Aku pernah akan dibunuh dan pesantrenku hampir dibakar habis.
Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.