Malam belumlah larut, Rita masih duduk di hadapan komputernya. Sebuah proposal presentasi harus ia selesaikan malam ini juga. Ia benci harus membawa pulang urusan kantor, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Baginya, itulah resiko yang harus ia ambil sebagai seorang public relation di sebuah perusahaan kosmetik besar.
Berlahan ia menghela nafas, mencoba melepas kejenuhan yang berkali-kali menyergapnya.
Pintu kamar terbuka saat ia hendak kembali konsentrasi pada pekerjaannya. Sejenak ia menoleh, menatap pintu tempat Damar-suaminya--berdiri, sedetik kemudian ia kembali menatap layar komputernya.
Damar melangkah mendekat. "Aku pergi dulu, Ta," dengan lembut dikecupnya kening Rita. Rita mengangguk paham tanpa sedikitpun mengalihkan pendangan dari llayar komputer.
"Nanti pulang kamu ingin dibelikan apa?"
Kali ini Rita menatap suaminya, menatap Damar yang sedang menenteng tas biola, dan lelaki itu mencoba tersenyum semanis ia bisa. Tapi tetap saja terasa hambar di mata Rita. Walaupun begitu, Rita tetap membalas senyum itu. "Makasih, Mas. Aku sedang tidak ingin dibelikan apa-apa."
Rita mengantar suaminya sampai di pintu pagar, lalu ia bergegas kembali masuk ke dalam rumah setelah yakin suaminya telah pergi. Sambil melangkah ia bergumam dalam hati, Aku tahu matamu tidak dapat mendustaiku, namun itu membuatku lebih sakit. Mengapa kamu tidak bisa mendustaiku? Mengapa matamu selalu berkata jujur terhadapku?
Rita tidak bisa lagi berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dipilihnya duduk santai di depan televisi meski acaranya tidak sedikitpun menarik perhatiannya. Pikirannya masih terpaku pada suaminya.
Dulu Damar adalah orang yang biasa-biasa saja. Rita menyukainya sejak mereka sama-sama duduk di bangku kuliah. Damar berada dua tingkat di atas Rita. Hal yang paling disukai Rita terhadap Damar adalah kejujurannya. Dan ia termasuk
mahasiswa yang tidak banyak tingkah.
Bahkan sejak Damar menjadi pacarnya, Rita tidak banyak diliputi rasa cemburu seperti layaknya pasangan yang baru jadian. Memang tidak banyak. Rita hanya cemburu terhadap biola kesayangan Damar. Ia merasa dinomor-duakan dengan biola itu.
Mesikpun demikian, Rita masih bisa menerima Damar apa adanya sampai mereka dihadapkan pada sebuah permintaan dari kedua orang tua mereka.
"Kalian sudah pacaran lebih dari dua tahun, kenapa kalian belum berniat untuk menikah? Damar kan sekarang sudah kerja, dan kamu sudah lulus kuliah. Apa lagi yang kalian tunggu?" Pertanyaan seperti itu yang kerap kali disodorkan ibu Rita saat Damar bertandang ke rumah Rita dimalam minggu.
Dan nada serupa pun dikumandangkan orang tua Damar setiap kali ada kesempatan. Lama-kelamaan kalimat itu bukan lagi basa-basi, canda, sekedar menggoda, atau bujukan, tapi sudah menjadi desakan hingga perintah.
"Mas Damar, apa yang harus kita lakukan?"
Damar masih diam membisu. Semangkuk bakso hanya ia main-mainkan dengan sendok di tangannya.
Rita menghela nafas resah melihat laki-laki di sebelahnya tidak juga berkomentar. "Mas Damar, aku tidak tahan lagi didesak bapak-ibu."
Damar memasukkan bakso ke dalam mulut, dan mengunyahnya dengan penuh tenaga. Sebutir bakso itu menjadi korban pelampiasan kekesalannya.
"Ini masalah serius, Mas."
"Aku tahu ini masalah serius."
"Lalu...?" Rita menanti jawaban Damar dengan penasaran.
"Kamu kan tahu bagaimana keadaanku sekarang. Keadaan kita. Aku masih harus--."
"Harus apa lagi?" potong Rita cepat. Ia sudah menduga paling-paling Damar akan mengatakan kalau dia belum mendapat pekerjaan yang sesuai, pekerjaan yang sekarang belum bisa diandalkan, atau dia tidak kerasan dengan pekerjaannya yang sama-sama di bidang public relation itu. "Sampai kapan kita seperti ini terus, Mas?"
Kali ini Damar benar-benar tidak berselera lagi dengan semangkuk bakso di hadapannya. Dan ia menjadi sulit menahan emosi. "Kok kamu malah mendesakku sih?!"
"Aku juga terdesak, Mas," balas Rita dengan tatapan tajam.
Dan tidak ada lagi pancaran mesra dari kedua mata mereka saat itu. Yang ada hanya sorot mata tajam yang menghujam hati mereka untuk saling melukai.
Namun mereka sadar luka itu perih. Luka itu menyakitkan. Dan luka itu tak perlu ada di hati. Berlahan timbul rasa malu di antara mereka. Bukan tindakan dewasa bila hanya saling menyalahkan atau merasa paling benar untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Damar mengulurkan tangan, menggenggam lembut jemari Rita. "Kamu ingin kita menikah?" tanyanya denga lebih tenang.
Rita mengangguk pelan tanpa berani membalas tatapan Damar.
Damar sebisa mungkin tersenyum. "Mungkin memang itu jalan keluarnya," dengan pikiran galau ia mendesah.
Malam itu Rita pulang dengan perasaan lega, terbebas dari masalah yang selama ini membebaninya. Dan ia pun menjawab dengan pasti saat orangtuanya menanyakan hal yang sama saat ia tiba di rumah.
Sedangkan Damar, ia memilih mengasingkan diri di dalam kamarnya. Sendiri. Dan menghabiskan sisa malam itu dengan mengalunkan nada dari gesekan biolanya.
Jam menunjukkan pukul delapan seperempat saat Rita menyadarkan diri dari lamunannya. Sebuah iklan pembersih muka di televisi menyadarkannya kembali pada tugas kantor. Ia kembali memasuki kamar dan kembali berhadapan dengan komputernya. Tinggal sedikit lagi, gumamnya dalam hati sembari meneguk secangkir kopi yang sudah dingin.
Pekerjaannya memang melelahkan dan menyita waktu, tapi Rita amat menyukainya. Berbeda dengan Damar. Meskipun ia kuliah di bidang yang sama, dan ia mendapat pekerjaan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, tetapi ia tidak menikmatinya. Dorongan untuk menjadi pemain biola yang handal selalu terngiang-ngiang di benaknya. Ia menyadari untuk meraih cita-citanya itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dan waktunya sudah banyak tersita oleh bidang yang tidak ia minati. Hingga pada saat yang tepat ia memutuskan untuk mengejar ketertinggalannya itu.
Tapi sayang, pikiran Damar tidak sejalan dengan Rita. Ia tidak ingin Damar mempertaruhkan apa yang sudah dimiliki untuk hal yang belum pasti.
Rita menghempaskan tubuhnya ke pembaringan bertepatan dengan dentang jam dinding pukul sepuluh malam. Damar belum pulang. Belakangan ini Damar memang sering pulang malam. Bahkan kadang sampai pagi bila memang benar-benar mendesak. Rita tidak paham kebiasaan pekerja seni.
Rita masih ingat saat mendapati suaminya sedang menghitung hasil keterlibatannya pertama kali bermain musik di sebuah kafe, jumlahnya tidak seberapa.
"Mas, kenapa masih dipertahankan juga kerja dengan hasil sedikit begitu? Coba bandingkan dengan hasil kerja mas di kantor, kan jauh lebih besar."
Damar hanya memandang istrinya pasrah. Semua yang dikatakan isterinya memang benar. "Bersabarlah, Ta. Untuk permulaan ini sudah termasuk lumayan"
"Hasil kerja Mas di kantor jauh lebih lumayan, Mas."
"Iya, benar. Tapi..."
Rita beranjak meninggalkan suaminya. Ia tidak mau lagi mendengar alasan apapun.
Sampai suatu ketika Damar menghampiri Rita dengan wajah berbinar-binar. "Rita, aku diajak ikut pegelaran konser musik."
Dan sejak itu Damar banyak menghabiskan waktu untuk persiapan pergelaran tersebut. Rita jadi sering kesepian di rumah, sehingga ia lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor.
Pernah Rita mampir ke studio saat jam kantor istirahat, di sana terdapat pula kesibukan seperti halnya di kantor. Hanya saja yang mereka tangani adalah segala jenis instrumen musik. Damar nampak duduk di sana diantara deretan pemain musik lain yang sibuk memainkan alat musik mereka. Ada satu orang yang tampaknya memimpin latihan yang berdiri di depan mereka sembari memberi komando dengan gerakan tangannya.
Hampir lima belas menit Rita berdiri memperhatikan mereka latihan, tapi Damar sepertinya tidak menyadari kehadirannya.
Damar baru menyadari setelah pimpinan mereka memberi aba-aba untuk istirahat. Tetapi sebelum Damar menghampiri, ia telah disapa lebih dulu oleh seseorang yang duduk satu deret dengannya. Siapa orang itu Rita belum tahu sampai Damar mengenalkannya.
"Ini Naya. Dia yang mengajakku ikut konser ini," ucap Damar sembari memberi kesempatan pada istrinya untuk bersalama. Rita terlihat biasa saja menyambut uluran tangan Naya, namun kedua matanya menyelidik tajam perempuan di depannya itu.
Naya nampaknya perempuan biasa. Bukan tipe perempuan genit atau perebut suami orang. Dan Rita pun tidak menangkap sinar mencurigakan dari mata Damar.
"Selama ini Naya-lah yang mengajak aku bermain musik di kafe dan tempat lain," tambah Damar. Rita hanya bisa menanggapi dengan senyum dan anggukan.
"Ah, aku sedikit membantu saja, Mbak. Kebetulan ayahku memang membutuhkan pemain biola seperti mas Damar ini."
Ayahku? Oh, berarti yang memiliki grup musik ini adalah ayahnya, pikir Rita sembari mengangguk-angguk. Dan seperti tidak mau mengganggu akhirnya Naya pamit permisi meninggalkan mereka.
"Dia manis, ya," Rita berkomentar. Dan raut wajah Damar berubah curiga dengan maksud ucapan isterinya.
"Aku dengan dia nggak ada hubungan cinta, Rita."
Rita menatap mata Damar lekat. Tidak ditemukan kebohongan di sana. Rita tersenyum. "Jangan panik begitu," ucapnya sembari menepuk lembut pipi suaminya.
Rita bangkit dari tempat tidur. Malam ini begitu dingin. Diperiksanya kembali jendela
dan pintu. Semuanya telah terkunci. Kemudian ia mematikan lampu ruang tamu dan ruang tengah. Lalu ia kembali masuk ke kamar tidurnya dan kembali berbaring. Kedua matanya menatap lurus langit-langit kamar. Ia belum ingin tidur. Ia masih menanti suaminya pulang.
Akhirnya rasa penasaran melangkahkan kakinya ke ruang tengah. Diangkatnya gagang telepon dan kemudian menekan tombol-tombol angka. Setelah terhubung dengan studio, Rita mengucap salam dan menayakan suaminya kepada satpam jaga yang menjawab teleponnya itu.
"Wah, pak Damar tidak ada di sini, Bu," jawab satpam itu. "Di sini tidak ada siapa-siapa, Bu. Sudah pulang semua. Tadi sore memang pak Damar di sini, tapi cuma sebentar, Bu. Setelah itu pergi lagi."
Rita membisu mendengarnya.
"Memangnya ada apa, Bu?"
"Oh, nggak... nggak ada apa-apa, Pak. Terima kasih. Selamat malam," Rita segera mengakhiri percakapan.
Dengan jantung berdegup kencang, Rita kembali menekan tombol-tombol angka telepon. Kali ini menghubungi handphone suaminya. Sesaat kemudian terdengar sapaan dari orang yang sangat dikenalnya, "Ha-halo... Rita, ada apa, Ta?"
Sangat jelas kegugupan suamiya di telinga Rita. "Nggak ada apa-apa kok, Mas. Mas masih sibuk di studio?"
"Eh, iya... iramanya masih ada yang harus dipoles lagi. Mmm... nanti pulang kamu ingin aku belikan--."
"Nggak usah, Mas," potong Rita cepat. "Aku... aku hanya ingin Mas hati-hati pulang selarut ini."
Damar mengangguk sungguh-sungguh meski tidak mungkin Rita melihatnya, "Iya, Ta, aku akan hati-hati. Mmm.. sebaiknya kamu tidak perlu menungguku, Ta. Kamu tidur duluan saja."
"Mas..."
"Apa?"
"Aku..."
Damar menanti kelanjutan kalimat Rita, tapi hanya ucapan "selamat malam"
yang terdengar di telinga.
Tidak sampai satu jam kemudian Rita mendengar suaminya tiba di rumah. Rita enggan beranjak dari tempat tidur. Dalam gelap, Damar mengendap-endap masuk ke dalam kamar.
Rita jadi serba salah antara berpura-pura tidur atau menyambutnya. Hingga ia tak tahan lagi saat suaminya telah berbaring di sampingnya.
"Mas...," suara lembut itu mampu mengejutkan Damar.
"Rita? Kamu belum tidur?" Damar hanya bisa memandang wajah istrinya samar-samar dalam gelap. Berlahan Damar memeluknya. "Ma-maaf, Ta, aku... aku membuatmu menunggu."
Tanpa sepengetahuan Damar, tetes demi tetes butiran bening keluar dari sudut mata Rita. Damar hanya tahu Rita pernah mengunjunginya sekali di studio. Sesungguhnya Rita sering ke sana. Sering memandang suaminya akrab dengan Naya. Sering mendapati cara memandang suaminya terhadap Naya yang lama-kelamaan berubah seperti saat Damar memandang dirinya dulu.
Damar, aku tahu kamu mulai menyukai dia. Menyukai orang yang mengerti tentang keinginanmu. Aku tahu kamu sulit menghindari perasaanmu itu sampai kamu merasa bersalah dan tersiksa karenanya, hingga kamu sering menutupinya dengan memberi perhatian lebih terhadapku.
Rita membalas pelukan suaminya dengan dekapan erat. Mungkin suatu saat nanti tak bisa ia lakukan lagi. Namun ia bersyukur, saat nanti bukan malam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H