"Harus apa lagi?" potong Rita cepat. Ia sudah menduga paling-paling Damar akan mengatakan kalau dia belum mendapat pekerjaan yang sesuai, pekerjaan yang sekarang belum bisa diandalkan, atau dia tidak kerasan dengan pekerjaannya yang sama-sama di bidang public relation itu. "Sampai kapan kita seperti ini terus, Mas?"
Kali ini Damar benar-benar tidak berselera lagi dengan semangkuk bakso di hadapannya. Dan ia menjadi sulit menahan emosi. "Kok kamu malah mendesakku sih?!"
"Aku juga terdesak, Mas," balas Rita dengan tatapan tajam.
Dan tidak ada lagi pancaran mesra dari kedua mata mereka saat itu. Yang ada hanya sorot mata tajam yang menghujam hati mereka untuk saling melukai.
Namun mereka sadar luka itu perih. Luka itu menyakitkan. Dan luka itu tak perlu ada di hati. Berlahan timbul rasa malu di antara mereka. Bukan tindakan dewasa bila hanya saling menyalahkan atau merasa paling benar untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Damar mengulurkan tangan, menggenggam lembut jemari Rita. "Kamu ingin kita menikah?" tanyanya denga lebih tenang.
Rita mengangguk pelan tanpa berani membalas tatapan Damar.
Damar sebisa mungkin tersenyum. "Mungkin memang itu jalan keluarnya," dengan pikiran galau ia mendesah.
Malam itu Rita pulang dengan perasaan lega, terbebas dari masalah yang selama ini membebaninya. Dan ia pun menjawab dengan pasti saat orangtuanya menanyakan hal yang sama saat ia tiba di rumah.
Sedangkan Damar, ia memilih mengasingkan diri di dalam kamarnya. Sendiri. Dan menghabiskan sisa malam itu dengan mengalunkan nada dari gesekan biolanya.
Jam menunjukkan pukul delapan seperempat saat Rita menyadarkan diri dari lamunannya. Sebuah iklan pembersih muka di televisi menyadarkannya kembali pada tugas kantor. Ia kembali memasuki kamar dan kembali berhadapan dengan komputernya. Tinggal sedikit lagi, gumamnya dalam hati sembari meneguk secangkir kopi yang sudah dingin.