Penulis : Sukadi
Tahun 1880, 6 Juni, Minggu Wage bertepatan dengan tanggal 27 Jumadilakhir, Wawu 1809 Angka Jawa, Wuku Kuningan, masa Karolas, Windu Adi, di wilayah Kabupaten Berbek telah terjadi peristiwa bersejarah yang besar. Yaitu perpindahan pejabat (nayakapraja) dan ibukota Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk. Proses pemindahan pejabat dan ibukota ini dilaksanakan sesuai adat Jawa yang berlaku, demi keselamatan semuanya.
Bukti perpindahan pejabat dan ibukota Berbek tersebut ditemukan dalam dokumen salinan surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jenderal pada tanggal 8 Juni 1880, dengan nomor surat 3024a/4205.
Landasan perintah memindahkan ibukota Berbek ke Nganjuk Governements besluit van 8 Junij 1875 no. 20. (Surat keputusan pemerintah Hindia Belanda No. 20 tertanggal 8 Juni 1875) yang diterima Bupati Raden Sumowiloyo.
Peristiwa yang populer disebut boyongan tersebut terjadi pada era Bupati Sosrokusumo (III), saat menjabat sebagai Bupati Berbek pada tahun 1878 - 1901. Bupati Sosrokusumo (III) sendiri adalah putra Bupati Berbek Raden Tumenggung Sumowiloyo.
Artinya, pada 144 tahun yang lalu itu, ibukota Kabupaten Berbek yang semula bertempat di Kabupaten Berbek berpindah di Kota Nganjuk. Dengan keluarnya undang-undang No. 310 tahun 1928 tertanggal 9 Agustus 1928 No. 1x yang diundangkan pada 21 Agustus 1928 yang berlaku semenjak 1 Januari 1929 nama kabupaten Berbek yang beribukota di Nganjuk berubah menjadi Kabupaten Nganjuk beribukota di Nganjuk. Hal ini juga ditandai berdirinya Dewan Kabupaten Nganjuk (Regenchapsraad Ngandjoek). Hingga pada tanggal 1 Januari 1929, Kadipaten Berbek lebur menjadi Kabupaten Nganjuk dan beribukota di Nganjuk hingga sekarang.
Untuk selanjutnya, peristiwa boyong nayakapraja dan ibukota Berbek ke Kota Nganjuk ini dirayakan oleh pemerintah Kabupaten Berbek. Seperti ditemukan dalam dokumen berupa foto peringatan Boyong ke 50, pada tahun 1930. Peringatan Boyong ke 50 tahun tersebut dirayakan dengan mengarak replika pendapa Kabupaten Berbek, sejumlah peralatan kantor dan bedug. Perayaan dilakukan dengan jalan kaki, diikuti oleh pejabat Kabupaten Berbek, orang Belanda, warga Tionghoa, dan warga pribumi. Selanjutnya, dimeriahkan dengan berbagai perayaan, seperti mobil hias, kontes ternak sapi, kesenian tradisional, dan lain-lain di seputaran Alun-alun Nganjuk.
Setelah Indonesia merdeka, peringatan Boyong Kabupaten Berbek ke Nganjuk tidak pernah dirayakan.
Baru pada tahun 2023, tepatnya 6 Juni, Pemerintah Daerah Nganjuk merayakan dengan acara meriah. Ini setelah Plt. Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi mengeluarkan surat no 188/200/411.013/2022 tertanggal 17 Juni 2022 tentang penetapan hari boyongan pusat pemerintahan dari Kabupaten Berbek ke Nganjuk.
Perayaan mengadopsi dari data dokumen foto perayaan Boyong Berbek yang ke 50, tahun 1930.
Seperti halnya peringatan Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk tahun 2024 ini, pemerintah Kabupaten Nganjuk juga melaksanakan secara meriah dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat Nganjuk. Mulai dari pejabat Forum Pimpinan Daerah, OPD, Kepala Dinas, pelajar, dan warga masyarakat. Peringatan diawali dari Kotalama Berbek menuju Kotabaru Nganjuk.
Tujuan dilaksanakan perpindahan pejabat pemerinhan dan pusat kota Kabupaten Berbek ke Nganjuk lantaran letak geografis Kabupaten berbek yang kurang strategis sebagai pusat pemerintahan. Selain letaknya berada di dekat lereng Gunung Wilis, juga jauh dari akses transportasi. Sehingga menghambat perkembangan pembangunan dan perekonomian apabila pusat pemerintahan tetap dipertahankan di Kabupaten Berbek.
Pada tahun 1875, Bupati Berbek Raden Tumenggung Sumowiloyo, ayah dari Bupati Berbek Sosrokusumo (III) mengusulkan kepada Residen Kediri agar pusat pemerintahan Kabupaten Berbek dipindah ke Kota Nganjuk. Sambil menunggu persiapan pembangunan infrastruktur rel kereta api, kantor pos, pegadaian, perkantoran, rumah sakit, dan lain-lain, lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 6 Juni 1880, perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk dapat terealisasi.
Berikut adalah urut-urutan peringatan Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk.
Bedol Pusaka
Prosesi bedol pusaka dilaksanakan di Pendapa Kabupaten Nganjuk, diawali dengan penyucian pusaka pada Rabu malam, 5 Juni 2024. Petugas membawa dua pusaka Tombak Kyai Jurang Penatas dan Songsong Kyai Tunggul Wulung untuk dibersihkan. Lantas mengganti tutup pusaka dan memasang selongsong sekar rinonce.
Usai prosesi penyucian pusaka, dilakukukan pembakaran dupa atau kemenyan, peletakan sejaji dan ubarampe untuk selanjutnya dibacakan doa keselamatan.
Selanjutnya Bupati Nganjuk menyerahkan dua pusaka kepada petugas untuk dibawa menuju Balai Desa Kacangan, Kecamatan Berbek. Petugas pembawa pusaka adalah para trah Kanjeng Jimat Sosrokusumo dan trah bupati-bupati terdahulu di Nganjuk.
Setiba di Balai Desa Kacangan, dua pusaka diserahkan kepada pemangku Desa Kacangan untuk diinapkan.
Budalan Boyong NataprajaÂ
Prosesi Boyong Natapraja diawali dari Alun-alun Berbek menuju Pendapa Kabupaten Nganjuk pada Kamis, 6 Juni 2024 pukul 13.00 WIB. Terlebih dahulu mem-bedol dua pusaka Tombak Kyai Jurang Penatas dan Songsong Kyai Tunggul Wulung dari tempat "palereman" Balai Desa Kacangan menuju Pendapa Alun-alun Berbek. Dua pusaka diistirahatkan sementara sebelum kemudian diarak bersama-sama prosesi Boyong Natapraja.
Selanjutnya dilaksanakan upacara pemberangkatan yang dipimpin oleh Kepala Dinas Porabudpar Nganjuk, dihadiri oleh sejumlah pejabat Forpimda Nganjuk, Perangkat Desa Kacangan, Pegawai Kecamatan Berbek, Sesepuh Desa Kacangan, trah Kanjeng Jimat Sosrokusumo, trah bupati-bupati terdahulu di Nganjuk, dan warga masyarakat setempat.
Upacara pemberangkatan diisi dengan sambutan-sambutan, dintaranya Kepala Dinas Porabudpar dan PJ. Bupati Nganjuk. Selanjutnya dilakukan penyerahan dua pusaka untuk dikirap bersama prosesi Boyong Natapraja oleh PJ Bupati Nganjuk kepada pembawa pusaka.
Usai penyerahan dua pusaka, PJ. Bupati Nganjuk bersama-sama Forpimda dan tamu undangan menuju kereta kuda yang sudah disiapkan di garis pemberangkatan. Di belakang berderet - menyusul kereta kuda-kereta kuda yang hendak ditumpangi oleh pejabat Forpimda, pengendara mobil antik, mobil dinas, pembawa ubarampe boyongan, dan peserta lain. Ubarampe yang hendak menjadi properti prosesi bukak lawang terdiri dari damar ublik, sapu gerang, bunga setaman, banyu panguripan, janur kuning, cengkir gading, tebu, padi, tikar, dan bantal/guling.
Sebagai tanda pemberangkatan Prosesi Boyong Natapraja, Kepala Dinas Porabudpar Nganjuk memberikan sebuah cemethi kepada kusir kereta kuda dan menabur bunga melati, sebagai tanda, arak-arakan Boyong Natapraja siap diberangkatkan menuju Pendapa Kabupaten Nganjuk.
Sementara di Stadion Anjukladang sudah siap para peserta prosesi Boyong Natapraja, diantaranya Grup Drumband, para Bregada, Para Tokoh Bukak Lawang, Masyarakat dan Peserta Boyong, dan sejumlah kesenian tradisional.
Para peserta prosesi boyongan tertsebut menunggu kedatangan para pejabat Forpimda dari Kecamatan Berbek untuk bersama-sama menyambung menuju pendapa Kabupaten Nganjuk melewati sepanjang Jalan A. Yani Nganjuk.
Susulan dan Sasrahan
Di tengah Jalan A. Yani Nganjuk sempat terjadi prosesi sasrahan dan susulan, yaitu prosesi penurunan dua pusaka  untuk dikirap dan penyerahan ubarampe. Prosesi ini dilakukan bersamaan para pejabat Forpimda saat turun dari kereta kuda masing-masing untuk kemudian berjalan bersama peserta kirap yang lain menuju Pendapa Kabupaten Nganjuk. Pada prosesi sasrahan dan susulan ini sempat terjadi adegan, dua bocah kakak beradik. Kakak perempuan bernama Denok dan adik laki-lakinya bernama wujil. Mereka ditemani oleh kedua orang tuanya, Ki Saraya Jati dan Nyi Saraya Jati sedang menunggu arak-arakan Boyong Natapraja lewat. Di tengah asyiknya bermain, kedua bocah tersebut tiba-tiba lari ke tengah jalan sambil teriak menunjuk arah Selatan," Pak Bupati teka..., Pak Bupati teka."
Arakan Boyong Natapraja
Setelah prosesi sasrahan, mereka dijemput oleh seorang cucuk lampah, para peserta bukak lawang, dan anak lanang wedok. Baru kemudian disambung dengan peserta prosesi Boyong Natapraja, dimulai dari :
Grup Drumband
Grup drumband yang berada pada posisi paling awal prosesi Boyong Natapraja ini dimainkan oleh grup drumband Satpol PP Nganjuk. Brigade drumband ini bertujuan untuk mengundang perhatian masyarakat agar berkumpul turut menyaksikan arak-arakan Boyong Natapraja. Di depan grup drumband terdapat seorang pembawa pataka.
Pembawa Bendera Merah Putih
Bendera merah putih turut mewarnai kemeriahan prosesi Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk. Jumlah pembawa bendera merah putih sebanyak 11 orang dengan formasi seorang di tengah, dan di belakangnya sebanyak 10 orang berjalan beriringan (kanan -- kiri).
Bendera merah putih pada prosesi Boyong Natapraja Berbek ini mengandung makna yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Warna merah melambangkan keberanian dan semangat perjuangan, sedangkan warna putih melambangkan kesucian dan kejujuran. Kedua warna gula klapa ini juga merefleksikan jati diri bangsa Indonesia yang berani berjuang untuk kemerdekaan dan kedaulatan, serta hati bersih dan tulus dalam menjalin persatuan dan kesatuan.
Cucuk Lampah
Dalam bahasa Jawa, "cucuk" berarti pemimpin pasukan, sementara "lampah" berarti berjalan. Oleh karena itu, Cucuk lampah adalah pemimpin dari pasukan yang berjalan di barisan terdepan. Biasa diperankan oleh seorang yang berpenampilan gagah dan berani.
Spanduk Tema Acara
Tema prosesi Boyong Natapraja Berberk ke Ngasnjuk ini adalah "Boyong Natapraja Bersinergi Membangun Negeri."
Pataka Kabupaten Nganjuk
Pataka Kabupaten Nganjuk ini menggambarkan bahwa Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk merupakan bagian sejarah peradaban yang beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan dan bupati. Dimulai dari pemerintahan Kadipaten Berbek hingga menjadi Kabupaten Nganjuk setelah terjadinya perubahan nomenklatur, 5 nama eks kadipaten di Nganjuk menjadi 1 wilayah sejak tahun 1833. Lima kadipaten yang dimaksud adalah eks Kadipaten Pace, Godean, Kertosono, Berbek, dan Nganjuk lebur menjadi Kabupaten Berbek dan beribukota di Berbek. Pada tahun 1880, terjadi perpindahan pejabat pemerintahan dan ibukota Berbek ke Nganjuk, dan pada tahun 1885, Gubernur Hindia Belanda mengukuhkan Kabupaten Berbek dengan ibukota di Nganjuk. Selanjutnya, pada tanggal 1 Januari 1929, Kadipaten Berbek lebur menjadi Kabupaten Nganjuk dan beribukota di Nganjuk hingga sekarang.
Tokoh Bukak Lawang
Sebaimana tertulis pada dokumen salinan surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jenderal pada tanggal 8 Juni 1880, dengan nomor surat 3024a/4205, yang menyatakan bahwa proses pemindahan pejabat dan ibukota ini dilaksanakan sesuai adat Jawa yang berlaku, demi keselamatan semuanya. Untuk itu pada prosesi Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk ini tetap mempertahankan adat Jawa tentang tradisi boyong sebagai warisan budaya yang ditandai dengan prosesi bukak lawang (kula nuwun, Bahasa Jawa). Tokoh bukak lawang sebanyak 9 orang dengan membawa ubarampe sendiri-sendiri yang dibawa dari kediaman lama (Kabupaten Berbek) ke kediaman baru (Kabupaten Nganjuk).
Replika Pendapa Berbek
Mengacu kepada sumber dokumen berupa foto peringatan Boyong Berbek ke Kota Nganjuk yang ke 50 tahun, pada 6 Juni 1930, dengan jelas diperagakan adanya kirap replika bangunan pendapa. Replika pendapa yang dimaksud adalah pendapa Kabupaten Berbek yang diarak dengan cara di-pikul, kemudian diikuti oleh perserta kirap yang lain. Hanya saja, untuk sajian budaya kali ini, replika pendapa tidak diarak dengan jalan kaki, melainkan dengan cara diangkut dengan mobil hias dari Kecamatan Berbek ke Pendapa Kabupaten Nganjuk.
Replika Perlengkapan Natapraja
Selain mengusung replika pendapa Kabupaten Berbek, pada dokumen foto juga terlihat peralatan kantor yang juga diangkut dengan cara di-pikul. Perlengkapan yang diusung berupa telpon kuna, mesin ketik kuna, buku-buku, perabot, gamelan, bedug, dan pohon beringin. Seperti halnya replika pendapa, replika perlengkapan natapraja tersebut diusung dengan mobil hias.
Bregada Umbul Warna
Bregada Umbul Warna adalah pasukan pembawa umbul-umbul. Ada 4 pasukan dengan membawa umbul-umbul yang berbeda warna, yaitu umbul-umbul warna merah, putih, kuning dan hitam. Masing-masing bregada berjumlah 36 orang, sehingga total 144 orang. Angka ini menggambarkan jumlah hari peringatan boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk yang ke 144 pada 6 Juni 2024. Empat warna berbeda tersebut memiliki makna 4 nafsu manusia. Yaitu warna merah berarti amarah (sifat emosional), hitam berarti aluamah (sifat biologis) , warna kuning berarti sufiyah (duniawi), dan warna putih berarti mutmainah (spiritual).
Bregada Ungel-Ungelan Keraton Surakarta
Bregada Ungel-Ungelan sengaja didatangkan dari Keraton Surakarta, karena antara Keraton Surakarta dengan Nganjuk memiliki hubungan sejarah yang melekat. Pasalnya, pada era Kolonial Belanda, Nganjuk masuk wilayah Keraton Surakarta, sehingga banyak seni budaya dan tradisi di Nganjuk yang menyerupai Keraton Surakarta.
Bregada ungel-ungelan adalah pasukan yangg selalu ada dalam setiap korps pasukan. Kehadiran bregada ungel-ungelan untuk membangkitkan semangat juang para prajurit sendiri, dan juga sebagai penanda bagi lawan bahwa di sini telah siaga pasukan lengkap yang siap bertempur membela bangsa dan negara
Jumlah peraga yang membawa bregada ungel-ungelan sebanyak 20 orang.
Bregada Prawira Anom
Bregada Prawira Anom yaitu pasukan pembawa pedang. Yaitu pasukan yang tediri para pemuda yang tangguh dalam olah bela negara bumi kelahiran.
Jumlah pasukan pembawa pedang 6 orang. Angka 6 melambangkan tanggal.
Bregada Jemparing Langenastra
Bregada jemparing langenastra yaitu sepasukan khusus yang terdiri dari wanita perkasa ahli memainkan senjata panah. Di kraton menjadi pasukan elite pengawal sultan dan ditempatkan dalam tembok kraton dengan nama kampung Langenastran.
Jumlah pasukan pembawa panah 6 orang. Angka 6 menggambarkan bulan ke-6, yaitu Juni.
Bregada Jayeng Sekar
Bregada Jayeng Sekar yaitu pasukan pembawa tombak, memiliki arti pemuda yang unggul dalam setiap perjuangan. Dengan bersenjata tombak (waos) yang mampu melempar sasaran dari jarak jauh maupun jarak dekat. Pasukan Jayeng Sekar juga unggul dalam krida gebug dan suduk.
Jumlah pasukan pembawa tombak 18 orang. Angka 18, menggambarkan angka abad tahun 1800.
Bregada Songsong Buwana
Bregada Songsong Buwana yaitu pasukan pembawa payung. Payung sebagai simbol kedudukan pemimpin yang harus bisa mengayomi dan melindungi dunia. Maka bregada Songsong Buwana mengambarkan tugas para natapraja untuk mengayomi melindungi dunia beserta seluruh isinya.
Jumlah pasukan payung 80 orang. Angka 80 menggambarkan angka tahun.
Sehingga, apabila digabung akan terbaca 6 Juni 1880, yaitu waktu dilaksanakan Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk untuk pertama kali sesuai dokumen salinan surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jenderal tertanggal 8 Juni 1880, dengan nomor surat 3024a/4205.
Pembawa Dupa dan Ubarampe Sesaji
Dupa yang dimaksud adalah kemenyan yang dibakar untuk melengkapi jalannya kirap Boyong Natapraja agar tampak sakral. Pasalnya, tradisi membakar dupa ini juga dilakukan oleh nenek moyang kita jaman dahulu untuk memanjatkan doa yang membubung tinggi serta haruman mewangi bagaikan aroma wangian surgawi yang membawa persembahan doa kepada leluhur. Hanya saja dalam prosesi kirap Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk ini, membakar dupa tidak dimaknai sebagai kebutuhan ritual, melainkan sebagai kebutuhan budaya yang bersifat universal. Sedangkan yang dimaksud ubarampe adalah cok bakal lengkap.
Pembawa Pusaka
Pusaka yang turut dikirap pada prosesi boyongan ada dua jenis, yaitu Tombak Kyai Jurang Penatas dan Songsong Kyai Tunggul Wulung. Pusaka Kyai Jurang Penatas dan Kyai Tunggul (Wulung) sebagai pusaka andalan Nganjuk. Memiliki filosofi menghancurkan jurang pemisah, meratakan perbedaan yang ada.Tunggul (Wulung) memiliki makna mengayomi dan melindungi. Seperti dalam pewayangan pusaka negara Amarta adalah Songsong Tunggul (Wulung) yang dijaga para kesatria Pandawa.
Natapraja Kadipaten Berbek
Natapraja Kadipaten Berbek adalah para pejabat pada masanya yang turut berpindah dari Kabupaten Berbek ke Nganjuk. Mereka digambarkan sebagai tokoh Bupati Berbek dan istri, Patih dan istri, Jaksa dan istri, 6 wedana dan istri, seorang Penghulu dan istri, seorang Letnan China dan istri, 21 Asisten Wedana dan istri, dan pendamping pembawa payung natapraja.
Berikut adalah pejabat-pejabat Natapraja Berbek yang turut prosesi Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk tahun 1880; Residen Kediri, Asisten Residen Kediri, RMA. Adipati Sosrokusumo (III), RAy. Sosrokusumo (III), Patih Mangunkusumo, Jaksa, Wedana Berbek, Wedana Lengkong, Wedana Warujayeng, Wedana Nganjuk, Wedana Kertosono, Wedana Siwalan, Wedana Gemenggeng, Penghulu, Letnan Cina Kertosono, Pemimpin Masyarakat Cina Berbek, Kontrolir Nganjuk, Kontrolir Kertosono, Asisten Wedana Loceret, Asisten Wedana Pace Wetan, Asisten Wedana Ngabar, Asisten Wedana Sukomoro, Asisten Wedana Kacangan, Asisten Wedana Babadan, Asisten Wedana Trayang, Asisten Wedana Prambon, Asisten Wedana Kutorejo, Asisten Wedana Kota Lama, Asisten Wedana Gondang Kulon, Asisten Wedana Genjeng, Asisten Wedana Baron, Asisten Wedana Baleturi, Asisten Wedana Ngronggot, Asisten Wedana Rejoso, Asisten Wedana Wilangan, Asisten Wedana Ngujung, Asisten Wedana Munung, dan Asisten Wedana Kertosono.
Keluarga Trah Bupati-Bupati Nganjuk
Trah Bupati-Bupati Nganjuk adalah para keturunan bupati-bupati dan keluarga bupati dari lima eks kabupaten di Nganjuk. Yaitu keturunan dari eks Bupati Pace, Godean, Kertosono, Berbek, dan Nganjuk.
Peserta Kirap (Masyarakat dan Instansi)
Peserta kirap adalah masyarakat dan pejabat instansi di Nganjuk yang turut merayakan jalannya kirap Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk. Masyarakat yang dimaksud adalah penduduk pribumi, Belanda, dan Tionghoa.
Gunungan
Gunungan berupa tumpeng raksasa dari bahan hasil bumi, menggambarkan kesejahteraan rakyat Nganjuk. Gunungan sebanyak 32 buah ini turut dikirap yang nantinya diperebutkan beramai-ramai oleh penonton kirap.
Kesenian Tradisional
Pertunjukan kesenian tradisional sebagai ungkapan kegembiraan. Ada empat jenis kesenian tradisional yang turut meramaikan prosesi kirap. Mereka adalah seni reog, jaranan, leang leong/barongsai.
Bukak Lawang dan Penyerahan Pusaka
Bukak Lawang
Setelah tiba di depan pintu gerbang Pendapa Kabupaten Nganjuk dilakukan upacara slup-slupan atau membuka pintu (bukak lawang) dan prosesi penyerahan pusaka.
Slup-slupan adalah tradisi adat Jawa yang dilakukan ketika terjadi pindah rumah, yaitu sebuah tradisi masyarakat Jawa ketika akan menempati rumah baru. Tradisi slup-slupan dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rejeki yang telah diperoleh. Pemilik rumah baru atau seseorang yang sedang pindah rumah mengundang sanak keluarga, kerabat, dan orang-orang di sekitarnya.
Tradisi slup-slupan diawali dengan seorang memegang sapu lidi untuk menyapu, seorang membawa damar ublik (lampu minyak) dan tempat air. Selanjutnya kedua orang tersebut berdoa memohon keselamatan. Lantas, prosesi dilanjutkan dengan mengitari rumah baru sambil menyapu dan menyiram bangunan rumahnya dengan air panguripan.
Kegiatan menyapu menggunakan sapu lidi memiliki filosofi untuk mengusir segala bentuk kotoran, baik kotoran yang tampak maupun tidak tampak.
Lampu minyak (damar ublik)Â yang dinyalakan dan turut mengitari rumah baru agar selalu mendapatkan pencerahan dalam hidup. Sedangkan air panguripan yang disiramkan pada keliling bangunan agar rumah yang hendak ditempati memiliki rasa aman dan nyaman, adem (sejuk), ayem (senang) dan tenteram.
Selanjutnya, juga ada ubarampe berupa seikat padi, batang tebu, kelapa dan kain merah putih. Ubarampe tersebut biasanya dipasang pada atap rumah baru. Makna dari pemasangan ubarampe seikat padi, batang tebu, kelapa dan kain merah putih  tersebut agar pemilik rumah baru mendapatkan kehidupan yang baik dan terjamin.
Sementara ada kain warna merah putih yang dipasang tepat di tengah atas atap rumah. Warna gula kelapa tersebut memiliki makna perjuangan. Pasalnya, pada pemerintahan Belanda pemasangan bendera merah putih secara terang-teranga adalah dilarang. Namun memasang bendera merah putih bersama seikat padi, batang tebu, dan kelapa pada tradisi slup-slupan tidak dicurigai.
Jadi, tradisi boyongan tidak hanya mengajarkan rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa rumah baru dan keluarga yang menempati agar dijauhkan dari segala celaka dan mendapat keselamatan, juga secara implisit memiliki nilai nasionalisme agar tetap terjaga.
Sementara  pada tradisi Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk ini terdapat adegan slup-slupan sebagai berikut:
Nenek: Kulanuwun... kulanuwun... kulanuwun
Kakek: Inggih, sinten niki ?
Nenek: Kula tiyang ngumbara
Kakek: Panjenengan niki sejatose saking pundi lan bade tindak pundi? (Sang kakek sambil membukakan pintu)
Nenek: Kula niki saking tlatah Berbek. Menapa leres niki tlatah Nganjuk?
Kakek : Lah nggih leres, menika ingkang kawastanan Nganjuk. Gadhah tujuan menapa tindak saking Berbek Nyi?
Nenek: Oalah, sanget kaleresan menawi mekaten. Tebih saking Berbek menawi kepareng, kepingin ngengeraken anak kula wonten papan mriki
Kakek: Oo... ngaten, saged dipun tampi nangin wonten syaratipun
Nenek: Menapa Ki tumbasanipun?
Kakek: Klasa bantal, piranti tetanen lan sandang pangan sak cekape mboten kantun
Nenek: Inggih Ki, menika sampun dipun cekapi sedayanipun
Kakek: Menawi mekaten, mangga kula aturi mlebet sedaya!
Penyerahan Pusaka
Usai adegan bukak lawang, dilanjutkan dengan prosesi penyerahan pusaka dari pembawa pusaka kepada bupati di Pendapa Kabupaten Nganjuk. Pusaka diterima bupati untuk dikembalikan pada tempat semula. Sementara para peserta kirap dan tamu undangan turut menyaksikan jalannya prosesi penyerahan pusaka. Sebagai penutup, dilakukan pembacaan doa.
Porakan Gunungan
Usai pembacaan doa, dilanjut dengan acara porakan gunungan (grebegan). Gunungan berupa tumpeng raksasa dari bahan hasil bumi tersebut di-purak (diperebutkan) ramai-ramai oleh warga Nganjuk yang sedang menyaksikan jalannya kirap. Porakan gunungan ini menggambarkan kesejahteraan rakyat Nganjuk. Makna yang tersirat sebagai rasa syukur masyarakat Nganjuk kepada sang pencipta telah diberi rejeki yang melimpah.
*) Kostum peserta kirap didominasi dengan sentuhan warna lurik (hitam putih), sebagai motif kain khas Nganjuk.
*) Pakem Kirap Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk juga melibatkan masyarakat Nganjuk yang turut menyaksikan jalannya kirap. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa lurik sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya tradisional di Nganjuk.
*) Pakem Kirap Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk disusun di Nganjuk pada 24 Mei 2024 oleh Sukadi, S.Pd., MM.Pd., Amin Fuadi, MM., Rudy Handoko, S.S., Didik Wahyu Hariyanto, Rizal Cahayarama, dan Afrizal Laksita Akbar.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI